Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Toleransi: Satu Anugerah Tuhan untuk Indonesia

17 April 2022   06:44 Diperbarui: 17 April 2022   06:53 2531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Arsitektur masjid Kudus yang khas bercorak Hindu-Budha. Sumber: National Geographic Indonesia

Setelah meninggalnya Josip Broz Tito, Yugoslavia bubar berantakan pada 1991. Tragedi ini dipicu, menguatnya ego kesukuan, agama, kedaerahan diramu dengan politik. Kata kuncinya; tidak menerima beragam perbedaan. Perang etnis dimulai. Senjata berbicara. Kekerasan  jadi panglima. Sembilan puluh tujuh ribu orang diperkirakan menjadi korban. Anak-anak pihak pertama yang menderita.

------

Jika tidak siap dengan perbedaan bersiaplah dengan peperangan--kekacauan, sampai rusak semua. Menderita semua. Perbedaan adalah keniscayaan, sunatullah, takdir yang harus diterima umat manusia: termasuk Indonesia.

Indonesia lahir dengan perbedaan. Jika diupayakan untuk bersama maka kesamaan itu harus tetap diikat oleh perbedaan. Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda tapi satu.

Bahasa persatuan boleh Bahasa Indonesia. Namun, bahasa daerah tetap dihormati dan dijaga kelestariannya. Bendera boleh satu. Namun, simbol daerah tetap dijaga. Tidak ada yang salah dengan model hidup bersama semacam itu.

Tuhan Yang Maha Esa menjadikan kita beragam pastinya ada maksud; untuk saling mengisi. Melengkapi satu sama lain. Hutan alami dengan beragam tumbuhan ternyata mengandung spesies flora fauna yang lebih banyak dibanding hutan homogen.

Sedangkan hutan Industri, dengan corak homogen, dari proses pembentukannya sudah menghancurkan beragam organisme dan kekayaan plasma nutfah. Hutan Industri adalah satu jenis hutan yang paling tidak menarik dilihat dari sudut pandang Biologi.

Itu hanya gambaran, keberagaman adalah sebuah tanda, sinyal sehatnya sebuah ekosistem. Tak luput pula ekosistem sosial budaya di masyarakat. Semakin beragam semakin sehat.

Jika ingin menjadikan Indonesia sebagai satu kelompok dengan corak yang sama, itu mustahil. Sama saja dengan merobohkan bangunan yang sudah berdiri. Ribuan tahun lalu, saat awal Nusantara dimasuki oleh berbagai kelompok manusia, maka perbedaan sudah muncul.

Maka tidak salah jika dikatakan, sebelum orang yang teriak "harus sama" muncul, keberagaman sudah menjadi tali pengikat di Nusantara.

Indonesia bisa tetap tegak berdiri dengan syarat, manusia Indonesia harus berdamai dan membiasakan berfikir luas dengan balutan perbedaan.

Dilihat dari orang luar, diri kita juga berbeda begitu juga sebaliknya. Maka menjadi penyempitan pemahaman jika ingin menyatukan Indonesia dengan bungkus "harus sama"--itu tidak mungkin dan sangat berbahaya.

Pengalaman Toleransi di Sekolah

Saat saya SMA pada 2001, satu kelas ada tiga agama yang dianut siswa: Kristen, Islam dan Hindu. Kami bergaul tanpa membedakan.

Saya dan juga teman lainnya, saat Made merayakan Hari Raya Galungan, kami bertandang ke rumahnya untuk ikut memberi selamat. Dan juga merasakan hidangan yang disuguhkan. Hal yang sama, saat teman saya, Shinta, merayakan Natal. Kami juga mengucapkan selamat merayakan Natal.

Saat kami yang Muslim merayakan Idulfitri, Shinta dan Made juga memberi selamat. Kami menjalin persahabatan tanpa sekat. Kami hanya menginginkan keselarasan hubungan: bertoleransi.

Saya merasa saat situasi semacam itu, hidup lebih nikmat. Berwarna dan menyenangkan. Bergaul dengan saudara yang berbeda. Saling sokong satu sama lain. Bahkan sampai saat ini, setelah 21 tahun ke luar dari bangku SMA, saya masih sering berkomunikasi untuk saling menjaga silaturohmi.

Bisa menjadi renungan bersama apa yang diucapkan Dalai Lama "kebanyakan orang selalu berfikir dilevel 2: perbedaan etnis, suku, negara, idiologi dll. Namun, jarang berfikir di level 1. Sama-sama sebagai manusia"

Manusia, apa pun coraknya ya sama saja! Merknya orang Jepang, namun perasaan ingin di hargai, ingin dianggap saudara, ingin dilindungi sama dengan orang dari Kutub Utara atau juga dari Asia Tenggara. Intinya tidak ada perbedaan!

Mengapa Intoleransi Merebak

Leluhur manusia Indonesia, bisa jadi sudah melalui proses adaptasi yang melelahkan dan berdarah-darah sehingga sampai pada satu kesimpulan: Kebhinnekaan dan toleransi sebagai obat mujarab.

Belajar dari peninggalan yang ada, tidak jauh dari Borobudur yang bercorak Budha muncul candi megah juga, yang bernama Prambanan bercorak Hindu. Satu sama lain saling berlomba. Namun, tidak saling menghancurkan.

Masjid kebanggan Indonesia pun--Istiqlal--arsiteknya adalah orang Kristiani: Frederich Silaban. Sebuah wujud nyata, bangunan keagamaan di Indonesia juga ditopang oleh keberagaman.

Ada ratusan bahasa, suku bangsa, kelompok etnis. Dan saat ini masih tegak sebagai NKRI. Seharusnya Indonesia layak dijadikan sebagai Laboratorium Kebhinnekaan terlengkap di dunia. Kita harusnya bangga, bukan malah mencari cara bagaimana keberagaman di Indonesia rusak.

Jika saat ini muncul adanya suara yang ingin membuat Indonesia homogen, dengan mengabaikan fakta sejarah bahwa kita dibangun dengan keberagaman bisa jadi ada yang harus dibenahi dengan cara memahami.

Pemahaman ada kaitannya dengan pola pikir, pola pikir dibangun oleh pengaruh dari luar dirinya: bisa bacaan atau interaksi dengan orang lain. Pemahaman yang menolak keberagaman.

Sekolah yang harusnya menjadi wahana untuk menggulirkan nilai keagungan keberagaman seolah tidak berfungsi banyak. Bisa jadi, harus ada yang perlu dibenahi.

Kurikulum pendidikan harus memberikan porsi tentang wawasan keindonesiaan dan seluk beluknya. Bagaimana negara ini berdiri dan sejarahnya, harus dipahami generasi muda saat ini.

Pembaharuan itu penting, boleh, tapi dilihat dulu apa yang diubah. Misal, dalam segi teknologi. Hal itu tidak masalah. Namun, jika mengotak atik yang namanya keselarasan, itu upaya merobohkan bangunan.

Saat bangunan sudah bediri megah, boleh kita mengecatnya, memberi dekorasi untuk menambah keindahan. Namun, jika sudah mengganti pondasi yang sudah mapan itu sama saya membongkar bangunan secara keseluruhan.

Radikalisme yang bermotif apa pun,  berbahaya jika dibiarkan. Untuk menangkal hal itu  harus ada ketegasan oleh pemerintah. Penanganan terbaik adalah pencegahan. Dan rekayasa sosial yang paling efektif adalah lingkungan sekolah.

Sejarah Indonesia dan idiologi Pancasila bisa diposisikan sebagai mata pelajaran elit, bukan sampingan. Sejarah harus dijadikan sebagai pelajaran premium bukan hanya sekedar ada.

Misal saat kelulusan tingkat SD-SMA siswa harus mendapat nilai bagus di pelajaran sejarah Indonesia dan juga idiologi Pancasila.

Calon raja Inggris saja menjadikan sejarah sebagai pelajaran kelas premium. Hal ini bisa digunakan untuk perbandingan. Bahwa pelajaran sejarah itu keren sekaligus memperluas sudut pandang.

Jika pemahaman sejarah kuat maka orang akan lebih terbuka pemahaman hidupnya. Menerima perbedaan dan bisa berdampingan hidup dalam harmoni dengan orang yang berbeda dengannya.

Allah SWT berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 13 bahwa perbedaan itu adalah alamiah agar menjadi berkah untuk saling mengenal satu sama lain.

"Hai manusia, sesungguhnya kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal"

   

Tidak ada yang salah dengan perbedaan. Kita bertanggung jawab merawat agar tercipta keselarasan. Agar tercipta kondisi yang rahmatan lilalamin. Rahmat untuk seluruh alam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun