Pengalaman Toleransi di Sekolah
Saat saya SMA pada 2001, satu kelas ada tiga agama yang dianut siswa: Kristen, Islam dan Hindu. Kami bergaul tanpa membedakan.
Saya dan juga teman lainnya, saat Made merayakan Hari Raya Galungan, kami bertandang ke rumahnya untuk ikut memberi selamat. Dan juga merasakan hidangan yang disuguhkan. Hal yang sama, saat teman saya, Shinta, merayakan Natal. Kami juga mengucapkan selamat merayakan Natal.
Saat kami yang Muslim merayakan Idulfitri, Shinta dan Made juga memberi selamat. Kami menjalin persahabatan tanpa sekat. Kami hanya menginginkan keselarasan hubungan: bertoleransi.
Saya merasa saat situasi semacam itu, hidup lebih nikmat. Berwarna dan menyenangkan. Bergaul dengan saudara yang berbeda. Saling sokong satu sama lain. Bahkan sampai saat ini, setelah 21 tahun ke luar dari bangku SMA, saya masih sering berkomunikasi untuk saling menjaga silaturohmi.
Bisa menjadi renungan bersama apa yang diucapkan Dalai Lama "kebanyakan orang selalu berfikir dilevel 2: perbedaan etnis, suku, negara, idiologi dll. Namun, jarang berfikir di level 1. Sama-sama sebagai manusia"
Manusia, apa pun coraknya ya sama saja! Merknya orang Jepang, namun perasaan ingin di hargai, ingin dianggap saudara, ingin dilindungi sama dengan orang dari Kutub Utara atau juga dari Asia Tenggara. Intinya tidak ada perbedaan!
Mengapa Intoleransi Merebak
Leluhur manusia Indonesia, bisa jadi sudah melalui proses adaptasi yang melelahkan dan berdarah-darah sehingga sampai pada satu kesimpulan: Kebhinnekaan dan toleransi sebagai obat mujarab.
Belajar dari peninggalan yang ada, tidak jauh dari Borobudur yang bercorak Budha muncul candi megah juga, yang bernama Prambanan bercorak Hindu. Satu sama lain saling berlomba. Namun, tidak saling menghancurkan.
Masjid kebanggan Indonesia pun--Istiqlal--arsiteknya adalah orang Kristiani: Frederich Silaban. Sebuah wujud nyata, bangunan keagamaan di Indonesia juga ditopang oleh keberagaman.