Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dilema Indonesia: Kuasai Nuklir Sekarang atau Jadi Bulan-bulanan di Masa Depan

10 Maret 2022   15:40 Diperbarui: 11 Maret 2022   23:28 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                                                           

"Insya Allah dalam waktu dekat ini, Kita akan berhasil membuat bom atom sendiri."-- Soekarno, Juli 1965.

                         -----

Thomas Robert Maltus--pakar demografi Inggris-- pada 1798 sudah memprediksi ancaman kelangkaan pangan. Menurut Malthus, pertumbuhan pangan mengikuti deret hitung, sedangkan pertumbuhan  penduduk mengikuti deret ukur.

Kelaparan akan terjadi, potensi rebutan tidak terhindarkan. Ancaman perang membayang. Jika rebutan maka yang kuat akan menang, yang lemah tersingkir: Mesin survival of the fittest bekerja.

Pada 2022 menurut data Wordometer, jumlah manusia mencapai 7,9 milyar. Orang yang tidak mendapatkan nutrisi layak pada 2020 menurut rilis PBB mencapai 2,4 milyar orang.

Pada 2050 dalam World Population Prospects 2019, populasi manusia diprediksi mencapai 10 milyar. Angka kritis bagi lingkungan dan juga ancaman bagi manusia itu sendiri. Besarnya populasi adalah bom waktu. Sebagaimana karakter gunung Krakatau: menciptakan dirinya dan menghancurkan dirinya.

Setiap negara berusaha sekuat tenaga menyuapi mulut rakyatnya. Memberi karbohidrat, protein hewani dan juga asupan energi. Saat kenyang manusia lebih mudah diatur. Politik akan  cenderung stabil. Orde Baru sudah membuktikan. Untuk mencapai itu, dibutuhkan banyak ruang dan sumberdaya pastinya.

Faktanya, ruang daratan semakin sempit. Maka, laut dan ruang udara menjadi ajang rebutan baru. Perang perbatasan semakin meningkat, klaim laut dan ruang udara yang imajiner semakin seru--menegangkan dan mematikan.

Banyak Penduduk

Negara dengan jumlah penduduk besar; China, India, Indonesia dan Pakistan pastinya dibuat sibuk. Sedangkan negara maju tidak akan menurunkan tingkat kesejahteraan rakyatnya. 

Benturan kepentingan tidak akan terhindarkan. Prinsip "negara lain boleh kelaparan, rakyat sendiri harus tetap kenyang", dianut banyak negara. Prinsip mengamankan kepentingan nasional berada di atas segalanya.

Distribusi sumberdaya tidak lagi bermotif saling menguntungkan, tapi perilaku menang kalah. Sama dengan model begal:  todongkan senjata lalu ambil.

Hukum rimba sudah ada di depan mata. Irak, Libya, Syria sebagai contoh.  Tidak menutup kemungkinan berpindahnya "ring tinju kelas berat" ke kawasan Laut China Selatan. Pastinya menyeret  Indonesia, supaya berperan aktif menyalakan mesin perangnya.

Tidak ada waktu lagi untuk bengong dan merenung sambil menulis puisi indah tentang nyiur melambai. Peralatan tempur mematikan sudah standby di kepulauan Spratly tidak terlalu jauh dari Natuna.

Dari arah selatan dengan kesenyapan hantu, dari bawah air berpatroli kapal selam AUKUS bertenaga Nuklir. Rutenya pastinya menerabas Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Indonesia seolah terkepung, mau tidak mau harus terlibat.

Maka tidak ada alasan lagi Indonesia alergi dengan nuklir. Dengan melihat kecenderungan ke depan, Indonesia harus punya alat untuk menjaga tumpah darah Indonesia: NUKLIR!

Belajar dari Korea Utara

Nuklir identik dengan permainan kasar. Siapa yang punya nuklir seolah menjadi preman dengan bersenjata AK-47 di tengah masyarakat yang membawa pentungan kayu. Kompetisi yang tidak berimbang. 

Gambaran itu betul, tidak salah. Tapi tujuan bernegara salah satunya adalah memberi jaminan perlindungan: keamanan dan kenyamanan masyarakatnya. Maka, salah satu hal yang harus dimiliki  adalah punya benteng kuat agar  rakyat bisa makan kenyang dan tidur pulas.

Menguasai nuklir sangat beresiko. Tidak punya nuklir lebih berisiko. Kolonialisme belumlah berakhir, dan tidak mungkin berakhir. Hanya bentuknya saja yang berubah. Ancaman selalu datang, lewat klaim teritorial, sanksi ekonomi atau atas nama pelanggaran HAM.

Narasi klasik yang sering didengungkan oleh Amerika dan sekutunya untuk menguasi sumberdaya alam. Demokrasi, sebagai alat pembenar adanya invasi. Anehnya, negara sekutu Amerika di Jazirah Arab, malah dilarang untuk berdemokrasi agar kepentingan Amerika tetap terwadahi.

Pakistan dan Korea Utara bukan negara maju. Bukan negara yang punya teknologi tinggi. Sama dengan Indonesia, boleh dikata negara berkembang. Indonesia dengan alasan apa pun layak untuk punya Nuklir. 

Pertama Indonesia adalah negara penduduk terbesar nomor empat di dunia. Kedua, wilayah luas dan kaya sumberdaya alam. Pastinya butuh asupan energi dan juga alat pelindung wilayahnya. Kenapa tidak boleh punya Nuklir? Bahkan untuk pengembangan roket jelajah 100 km saja sudah dicurigai tepatnya  dihalangi  oleh Missile Technology Control Regime (MTCR). 

Narasi dibangun, bahwa penguasaan nuklir atau roket jelajah dianggap illegal dan harus ditekan agar tidak berkembang.

Korea Utara satu sisi bisa dijadikan contoh. Postur militer Korea Utara tidak terlalu mengerikan. Angkatan lautnya diisi arsenal militer tahun 1960-an. Sudah tua dan ringkih, sama juga angkatan udaranya. 

Dengan mengandalkan pesawat-pesawat generasi lama yang sudah ketinggalan zaman. Namun, ada yang paling menggetarkan, rudal nuklir. Roket Taepodong-2 yang dikembangkan rezim Kim Jong Un, mampu mengangkut muatan 500 kg sejauh 6000 sampai 10.000 km. Saat berdiplomasi dengan Amerika pun pemimpin Korea Utara sering mendikte daripada didikte. Karena satu hal: Amerika fobia jika Jong Un berbuat nekat dengan "kembang apinya."

Tinggalkan politik polosan dengan senyam-senyum manis pada "predator" bernama negara adidaya. Kesetaraan harus dibangun. Duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Betapapun kuatnya pertahanan konvensional Indonesia, cukup dilibas dengan mengirimkan rudal balistik. Dan semua rata. Tanpa perlu susah payah bertempur di kancah becek lumpur berdebu sambil menenteng senapan serbu.

Manfaat Punya Senjata Nuklir

Siapa yang berani bermain-main dengan Korea Utara. Negara miskin, tertutup, punya satu partai --anehnya tetap ada pemilu. Korea Utara lebih tepat disebut negara anomali. Korea Utara adalah korban paling nyata dari ulah tak manusiawi kesepakatan global (kelompok Amerika) yang dinamakan embargo. Entahlah seandainya Korea Utara tidak punya senjata pemusnah massal maka sudah menjadi bancakan oleh Amerika dan kroninya: hancur lebur, perang saudara melanda lalu ditinggalkan.

Kasus terbaru, gertakan Vladimir Putin yang siap untuk perang nuklir membuat NATO dan ketua sukunya--Amerika--keringat dingin. NATO telah salah langkah mendorong Ukraina untuk nakal terhadap Rusia. Ternyata nyali Putin tidak main-main. Hancur satu hancur semua, jika Nuklir diluncurkan. Ancaman ini membuat negara barat harus menghitung ulang permainan politiknya.

Nah, ada daya tawar mahal berurusan dengan negara yang menguasai senjata nuklir. Inilah yang tidak dipunyai Indonesia saat ini. Melimpahnya sumberdaya laut, hutan, energi dan juga barang tambang akan berpotensi menjadi ajang rebutan yang pastinya akan menimbulkan perang. Entah kapan, dengan derajat yang pasti kelak itu terjadi.

Langkah Indonesia Menguasai Nuklir

Pada 1960-an riset Indonesia di bidang peroketan tumbuh subur. Puncaknya dengan diluncurkannya Roket Kartika-1 hasil karya gabungan dari ITB, AURI dan PINDAD. Roket tersebut mampu menjangkau jarak 60 km. Pencapaian luar biasa saat itu. Ada harapan cerah bagi dunia dirgantara. Setelah itu Indonesia semakin agresif, membeli 10 Roket Kappa-8 dari Jepang. Pada Agustus 1965, tiga roket diluncurkan. Roket pertama mencapai jarak 364 km. 

Namun, Impian itu buyar setelah Bung Karno tumbang. Orde Baru lebih melirik industri pesawat sipil dan "melupakan" riset yang dipandang dengan kacamata idiologis idiologis: terlalu ke kiri! Bagaimana nasib 7 roket Kappa-8? pastinya dibesituakan oleh rezim Orde Baru yang pro barat.

Gairah menguasai roket tidaklah padam seketika. Dengan tertatih-tatih LAPAN sebagai penjaga marwah ilmu peroketan, terus melakukan terobosan walaupun boleh dikata hanya muter-muter pada roket eksperimental.

Secercah harapan itu muncul saat LAPAN berhasil meluncurkan roket dengan diameter 450 mm yang diberi nama RX 450-5, pada Desember 2020. Roket ini mampu menjangkau jarak 82 km. Nah keberhasilan inilah yang sebenarnya perlu untuk dipacu agar penguasaan roket dengan daya jangkau minimal 200 km bisa terwujud.

Ilmu peroketan tidaklah mudah dipelajari. Banyak negara tidak mau memberi secara gratisan ilmunya. Negara yang ingin mengembangkan roket harus belajar sendiri. Persoalan terberat ada pada tekanan yang dilakukan oleh negara yang tergabung dalam MTCR.

Lebih dari itu, niat baik pemerintahlah yang paling utama untuk keberhasilan penguasaan roket. Dana yang terbilang minim tidak akan mencukupi untuk riset secara revolusioner. Kemandirian dan ketegasan serta keteguhan setiap rezim  menjadikan Indonesia akan diperhitungkan banyak negara.

Ilmu nuklir harus bersanding dengan pengusaan roket. Nuklir tanpa dukungan roket hanyalah benda berbahaya tanpa bisa ditakuti lawan.

Semoga Impian Bung Karno bahwa bangsa Indonesia dalam waktu dekat mampu menguasai nuklir bisa menjadi kenyataan. Agar tujuan bernegara melindungi segenap tumpah darah indonesia bisa terwujud.

Saatnya nuklir jadi bagian ketahanan energi dan juga pertahanan Indonesia.  

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun