"war might come at any moment and at any place"
Setelah era Demokrasi Terpimpin, tidak terdengar lagi detterent  effect peralatan tempur militer Indonesia. Kiblat politik berubah. Blok Timur ditinggalkan, Blok Barat jadi sandaran. Pemutusan hubungan diplomatik dengan Moskow dan Beijing tahun 1967 salah satu bentuknya.
Alutsista (alat utama sistem senjata) gahar yang tidak sesuai mahzab Amerika CS di grounded. KRI Irian--kapal perang kelas penjelajah seberat 16.000 ton--, kapal selam kelas Whiskey, pesawat Mig-21, pelan namun pasti, lenyap !Â
Sebagai gantinya Indonesia mendapatkan alutsista Blok Barat. Persenjataan militer kelas dua! Tidak menakutkan, tidak menggentarkan. Cukup bisa terbang dan cukup bisa berlayar.
Cara pandang Orde Baru Sebagai pengganti Orde Lama, tidak lagi memfokuskan pada angkatan perang. Apalagi politik. Lebih fokus pada pembenahan ekonomi.Â
Membuka selebar-lebarnya keran investasi asing. Hasilnya tampak. Dana asing masuk dengan deras. Infrastruktur dibangun, kebutuhan pokok rakyat dipenuhi.Â
Bicara politik dikebiri. Menjadikan Rezim Orde Baru lalai  menerawang geo politik kawasan. Kawasan dianggap baik-baik saja. Nyatanya tidak. Indonesia kecolongan. Timor-Timur lepas, Sipadan Ligitan menyusul kemudian. Laut Tiongkok memanas.
Meskipun Indonesia sudah merapat ke Barat, Amerika sebagai kepala suku Blok Barat, setengah hati menerima Indonesia. Bagi Amerika, Indonesia bukan sekutu dekatnya.Â
Indonesia adalah kekuatan yang harus diwaspadai dan jangan sampai besar. Cukup didekati, tapi jangan terlalu akrab. Jangan dijauhi karena bisa berbuat nekat. Akan muncul ketidak seimbangan kawasan kalau Indonesia kuat. Begitu cara pandang Amerika terhadap Jakarta.
Cara pandang setengah hati itulah yang masih sering dipakai Amerika melihat Indonesia. Pandangan penuh kecurigaan. Apakah Indonesia tahu? Jelas! Indonesia menyadari sebaik apapun kita merapat ke Barat, mereka akan tetap setengah hati merangkul Indonesia. Bagi mereka, Indonesia anak macan.Â
Indonesia ancaman tersembunyi. Sama seperti Iran yang pernah dibesarkan Amerika, lalu menerkam.
Menjinakkan Indonesia.
Amerika berkepentingan menjinakkan Jakarta. Kepentingan geo politik dan geo strategisnya akan terancam jika Indonesia kuat.Â
Caranya, menaruh "negara penyeimbang" dengan kekuatan di atas Indonesia. Negara yang ditunjuk itu adalah Singapura dan Australia sebagai sekutu terdekat di Asia Pasifik.Â
Posisi dua negara ini sama seperti Israel. Amerika akan memelihara Israel, tujuannya menjadi penyeimbang dan pemecah konsentrasi kekuatan di Timur Tengah.
Dua negara ini punya misi, menjadi kekuatan yang menghadang hegemoni militer Indonesia. Terutama dalam kecanggihan peralatan tempurnya. Konggres Amerika akan senang hati menyetujui proposal pengajuan alutsista kelas satu untuk dua negara binaannya. Untuk Indonesia itu hanya mimpi.
Tahun 2021 menurut Global Fire Power anggaran militer Australia mencapai US$42,7 milyar, Singapura US$ 10,7 milyar dan Indonesia US$ 9,2 milyar.
 Meskipun secara ranking Indonesia mengungguli Australia dan Singapore namun secara kualitas senjata, Indonesia di bawah dua negara tersebut.
Ambil contoh Singapura, luas lautnya hanya 10 km2 atau 1/640.000 luas wilayah perairan Indonesia. Namun, anehnya mempunyai program kapal selam.Â
Negara itu mempunya empat kapal selam. Kelas Challenger dan Archer. Apa maksudnya? untuk menandingi negara di sekitarnya yakni Indonesia dan juga Malaysia.
Kalau Singapura berfikir wajar, akan terlihat  aneh jika membangun armada lautnya dengan kapal selam. Dengan laut sempit nyempil seukuran "kolam lele", alangkah bijaknya jika peralatan militernya tidak mencolok tetangganya.
Namun Singapura memerankan lakonnya. Penyeimbang raksasa di selatan, yakni Indonesia.Â
Sama juga dengan Australia, saat ada kabar Indonesia akan mengakuisisi kapal selam Kilo Class buatan Rusia, mereka sibuk memperbaharui peralatan bawah lautnya.
Saat dengan mudahnya Australia dan Singapura mendapatkan persetujuan pengadakan pesawat siluman F-35 Lightning. Pesawat tercanggih buatan Amerika saat ini.Â
Dipihak lain Indonesia berusaha mendapatkan Su-35 dari Rusia. Sukhoi SU-35 adalah predator udara mematikan. Akibatnya Indonesia malah diancam sanksi oleh Amerika dengan mencabut perlakuan Istimewa perdagangan, Countering America's Adversaries Through Sanctions Act. (CAATSA)
Dan saat Indonesia mengajukan proposal pembelian pesawat F-35 Lightning, parlemen menolak. Indonesia malah ditawari dengan pesawat generasi lama F-16 Viper dan F-15 Strike Eagle.Â
Sampai sekarang pengadaan Sukhoi-35, yang digadang-gadang sebagai penyeimbang kekuatan di kawasan belum terealisasi. Terkatung-katung tidak jelas.
Dengan perlakuan semacam itu, apakah Indonesia harus menaruh senyum manis terus terhadap Amerika?Â
Di tengah ancaman yang mengepung Indonesia. Tiongkok, Australia dan Singapura serta Amerika sendiri. Indonesia seolah sendirian berkejaran dengan waktu.
Satu hal yang harus menjadi perhatian. Iklim politik selalu berubah. Ancaman bisa muncul tiba-tiba. Tidak ada kawan yang abadi tidak ada musuh yang abadi.Â
Lepasnya Timor-Timur bisa jadi pelajaran berharga. Betapa mudahnya Amerika menendang Indonesia dan mengutus Australia maju membuat keruwetan dengan Indonesia.Â
Maka mempersenjatai diri untuk menjaga kedaulatan bukan hal yang salah. Karena perang dapat terjadi kapan saja dan di mana saja.
Keluar dari Bonsai Militer
Jika Indonesia mau keluar dari jebakan "bonsai militer", maka caranya harus berani mengambil resiko. Posisi Indonesia saat ini seperti anak emas. Kelewat strategis.Â
Diperebutkan oleh Amerika dan China. Jika Indonesia mampu memanfaatkan situasi untuk kepentingan nasional maka yang utama adalah membenahi pagar berduri rumahnya, yakni alutsistanya.
Jika Amerika berkeberatan memberi peralatan terbaiknya, ambil langkah ekstrem, belok kiri. Merapat ke Beijing.Â
Jika Indonesia dikejutkan dengan pakta pertahanan AUKUS, Indonesia bisa mengejutkan balik dengan membentuk Poros Jakarta-Beijing. Pastinya ngeri-ngeri sedap. Hal itu bisa dijadikan shock therapy bagi kekuatan Barat yang sering mendikte perpolitikan Indonesia.
Indonesia dan Prancis adalah dua negara yang kena prank Australia. Australia mengkhianati non-proliferasi nuklir kawasan.Â
Ngeprank perancis dengan membatalkan pembelian kapal selam senilai US$50 milyar. Dari pengalaman sejarah Australialah yang bicaranya sering berbeda antara janji dan fakta. Sepertinya demensia menjadi endemik di Australia.
Australia ibarat negara salah kostum. Berada di lingkaran Asia, budaya timur, tapi tabiet politik selalu berlagak barat. Memposisikan strata yang lebih tinggi dibanding negara di sekitarnya.
Kesimpulan
Saat ini kekuatan militer Indonesia kelas menengah. Dikatakan lemah tidak, kuat juga tidak. Posisi moderat, cukup untuk sekedar defensif. Indonesia berada di ranking 16 dunia menurut GFP 2021. Di atas Australia (19), dan Singapore (40).Â
Sedangkan situasi kawasan mensyaratkan negara sebesar Indonesia punya efek gentar yang lebih. Perlu kesadaran dari DPR memikirkan bahwa pembangunan alutsista TNI tidak bisa ditawar lagi. Anggaran pembelian peralatan mutakhir harus ditambah dan segera disetujui.
Kepentingan nasional harus yang utama. Melindungi segenap tumpah darah Indonesia tidak cukup lagi dengan bambu runcing dan jimat kebal peluru.Â
Indonesia harus punya senjata strategis mematikan, sebagai daya tawar komunikasi politik dengan kekuatan adikuasa bermental kolonial. Baik dari selatan maupun utara.
Politik luar negeri Indonesia jangan lagi polosan. Saat ada yang senggol dan itu sengaja maka bolehlah melotot dan menggertak. Apapun kondisinya, NKRI harga mati, dan tak ada lagi tawar menawar ulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H