Tiongkok tidak mungkin sendirian. Beijing pastinya sudah berhitung dengan siapa dirinya akan melawan. Genderang perang yang ditabuh di LTS bukan kelas amatiran sebagaimana konflik di Afghanistan yang polanya, ya begitu-begitu saja. Konflik Afganistan adalah konflik AK-47.Â
Konflik laut Tiongkok Selatan adalah Big Match. Amerika Serikat VS Tiongkok. Kelas Nuklir! Jika pecah perang, ambyar semua. Mulai manusia sampai ubur-ubur mati. Tidak ada pemenang. Pemenangnya malaikat maut.
Posisi Indonesia
Indonesia sebenarnya gerah dengan manuver pembentukan AUKUS. Sebuah pakta persekutuan tiga sekawan; Australia, United Kingdom dan United States. Tujuannya adalah mengimbangi manuver Beijing di Laut Tiongkok selatan. Tiga negara ini sebenarnya membuat keruh di luar pagar rumah mereka.Â
Apa hubungannya LTS dengan mereka? Persekutuan tersebut tak lain hanya memancing polemik lebih besar. Australia  merasa terancam sampai terlihat paranoid dengan manuver Tiongkok yang harusnya bisa disikapi dengan cara wajar terukur.Â
Toh kampung halamannya berada di dunia lain. Dekat dengan kutub selatan, lebih dekat bertetangga dengan pinguin. Jauh dari LTS.
Sehingga menjadi keanehan. Banyak pemain yang memperkeruh suasasan Laut Tiongkok Selatan. Dan sebagian besar adalah negara sekutu Amerika.Â
Memang Pandemi ini membuat Amerika terlihat terpukul. Daya gebuknya seakan loyo akibat dana militernya yang harus berbagi dengan Covid-19.Â
Maka Amerika perlu sekutu untuk menghadang Tiongkok. Hengkangnya Amerika dari Afganistan bisa jadi karena kehabisan semangat juang, terutama uang.
Lalu bagaimana dengan raja Asia Tenggara, Indonesia? Garis politik luar negeri Indonesia adalah non-blok, tidak memihak di antara negara yang berseteru.Â
Tapi sejarah membuktikan bahwa tahun 1960-an Indonesia memilih ikut Blok Timur sebagai upaya mengembalikan Papua ke Pangkuan NKRI. Jika pada 1960-an Indonesia bersikukuh pada posisi Non-Blok, kemungkinan besar Papua masih menjadi Provinsi Belanda di seberang lautan.