Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Teori Evolusi Mengajarkan Kompetisi, namun Bukan Sebuah Solusi

9 September 2021   15:21 Diperbarui: 9 September 2021   15:40 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 perkampungan kumuh (slum area) yang menjamur di pinggiran kota besar (gambar: Kompas.com)

Pernah mendengar sabda Darwin? Struggle for life. Perjuangan hidup. Intinya, spesies yang bertahan adalah spesies yang memenangkan kompetisi, melawan mesin evolusi; Alam! Di bukunya on the Origin of Species, yang terbit pada 1859. Darwin mengemukakan pandangannya bahwa spesies yang mampu beradaptasi, punya kesempatan untuk beranak pinak.

Mesin evolusi meloloskan spesies terbaik dan mengubur yang lemah. Misalnya Homo sapiens. Saat ini populasinya mendekati 8 milyar. Jumlah tersebut hanya bisa disamai oleh spesies tikus dan spesies lebah. Sebagai tanda, spesies tersebut mampu beradaptasi dan memenangkan sebuah kompetisi kehidupan yang bernama perjuangan untuk ada.

Evolusi manusia, mencapai tingkatan saat ini, dibarengi dengan upaya kompetisi yang ketat. Manusia mampu menyingkirkan banyak spesies lainnya dalam hal rebutan makanan dan juga rebutan wilayah. Pada akhirnya membalik keadaan; menjadi pemangsa. Predator puncak di kasta rantai makanan Planet Bumi. Apakah evolusi sudah selesai?Belum!

Manusia Modern

Tidak ada bedanya persaingan era manusia purba dan manusia modern. Esensinya masih sama, rebutan sumber daya. Individu bersaing dengan lainnya untuk memperoleh pekerjaan: ingin mendapatkan uang. Uang sebenarnya adalah energi yang tersimpan dalam kertas atau logam. Yang jadi pertanyaan adalah;

Masih relevankah Homo sapiens, berkompetisi memperebutkan sumber daya yang sebenarnya semua berhak mendapatkannya? Jika kompetisi diajarkan sebagai cara untuk eksis dan tidak punah, maka sebenarnya kompetisi berperan memusnahkan individu lainnya di satu spesies. 

Nantinya yang punya akses terhadap sumber daya saja yang mampu melanjutkan hidup sedangkan yang miskin, tidak berpendidikan, segera musnah ditelan mesin evolusi yang bernama persaingan ekonomi.

Bumi dan segala yang terkandung di dalamnya adalah milik umat manusia dan semua makhluk hidup yang berada di dalamnya. Termasuk cacing, semut, curut dan juga ular kobra. Filosofinya begitu. Realitanya, tidak begitu.

Perputaran uang di dunia hampir 90% bergerak di negara maju. Sepuluh persennya harus dibagi ratusan negara berkembang dan miskin di dunia. Menurut penelitian dari Oxfam pada 2017, jumlah kekayaan 61 orang kaya di dunia sebanding dengan jumlah kekayaan separoh populasi dunia. 

Pada 2016, Credit Suisse Reseach Institute dalam laporannya "Global Wealth Report 2016" sepuluh persen orang kaya dunia menguasai 89 aset yang tersedia di muka bumi.  

Data itu menjadi bukti, Homo sapiens seperti hidup di hutan rimba, siapa kuat dia dapat. Bukankah demikian adanya mekanisme pasar bebas? Pasar bebas dunia, bisa memunculkan ketimpangan ekonomi yang semakin dalam.

Gambaran di Indonesia, menurut Bambang Widianto--sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan-- yang dilansir Tempo,(10/10/2021), juga tidak jauh berbeda. Satu persen orang kaya RI menguasai 50% aset nasional. Menurutnya Indonesia adalah negeri paling timpang  setelah Rusia, India, Thailand.

Misal ada lomba lari sepanjang 2 km. Negara maju start di 1 km pertama, negara berkembang, di 500 meter dari titik awal dan negara miskin berada di titik 0 meter. Peluit belum dibunyikan pun, pemenangnya sudah bisa dipastikan, Negara Maju!

 Kerja Sama

Kompetisi sudah tidak asyik lagi untuk menjawab era peradaban modern saat ini. Kompetisi hanya layak untuk peradaban awal manusia yakni dalam era primitif. Ketika belum ada negara atau sistem yang mengatur masyarakat. Saat dunia terhubung, tidak ada lagi celah untuk sembunyi dari globalisasi; era kompetisi adalah kadaluarsa. Harusnya manusia sudah beralih ke kerja sama; dalam hal apapun.

"Manusia harus berevolusi dari kesadaran Kompetisi menuju kesadaran Kerjasama"

Harus ada upaya ekstra atau boleh dikatakan revolusi dalam distribusi sumber daya alam terhadap semua manusia. Justice not charity for the poor. Kemiskinan adalah sebuah produk dari tata kelola ekonomi yang gagal dan cacat ekologis.

Kemiskinan tak ubahnya gas buang kompetisi dari mekanisme perebutan sumber daya alam. Negara miskin di Afrika, Asia dan Amerika Latin akan terus mengalami kemiskinan abadi sepanjang model ekonomi adalah perlombaan bebas dengan posisi start yang berbeda.

Renungkan saja secara sederhana, dalam pasar bebas siapa sebenarnya paling diuntungkan? negara maju! itu pasti. Mereka menguasai arus modal dan teknologi. Negara ini akan memberi celah ekonomi sebagai hiburan bagi negara berkembang. Semisal, mengimpor hasil hutan, kerajinan, atau teknologi dasar yang bukan sumber produk ekonomi negara maju.

Tapi mereka juga menjual produk teknologi dengan harga jual mencengangkan: pesawat, satelit, mobil, dan perangkat teknologi yang kalau ditukar dengan sumberdaya alam negara berkembang akan terlihat timpang.

Jika kita berbangga mengekspor rotan, yakinlah bahwa negara maju juga berhasil mengekspor perangkat teknologinya.

Ini mekanisme pasar bebas. Kalau terus dijalankan, rantai kemiskinan akan memanjang. Dan dunia akan memproduksi segelintir milyader dan jutaan manusia miskin. Itu simbol kompetisi dan juga simbol keprihatinan.

Penguasaan sumber daya harus di batasi, untuk berbagi dengan yang lain. Jangan sampai, kita mengelu-elukan satu orang namun memunculkan banyak derita bagi lainnya.

Satu individu jelas tidak mampu mengubah sistem yang sudah ada ini. Namun dengan sangat jelas mekanisme perebutan SDA saat ini tidak adil. Jangan dipelihara, kasihan anak cucu kita. Kita mewariskan cara pandang kolonial, cara hidup predator pemangsa, berbungkus hal manis: Kompetisi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun