"Seandainya Jaya Katwang saat menyerbu Singhasari pada 1292 M, berbekal mie instan dan minuman kemasan. Bisa jadi saat ini bungkus plastik yang dibuang masih bisa dilihat oleh generasi sekarang. Kalaupun tidak terlihat lagi bisa jadi berubah menjadi mikroplastik yang menyatu di air dan kita minum, lalu kita sakit. Abadinya plastik yang merentang zaman"
    --------------------
Volume air di Bumi ini cukup melimpah. Menurut the United States Geological Survey Water Science School , 71 % permukaan Bumi adalah air. Volume total diperkirakan 332,5 juta mil kubik. Dengan rincian 97% air asin, dan 3% nya adalah air tawar.
Dengan volume melimpah tersebut, cukup untuk memenuhi kebutuhan 8 milyar manusia yang melata di atas permukaan bumi dan semua makhluk yang menghuni. Mulai kangkung sampai jerapah.
Air merupakan zat vital bagi kehidupan. Tanpa air tidak  mungkin ada kehidupan. Cara menangani air pun tidak terlalu rumit sebenarnya, bukan sebuah teknologi yang susah dipelajari.
Namun, manusia selalu disibukkan oleh masalah air. Nyaris setiap hari. Ada tiga hal yang menjadi persoalan, kaitannya dengan air: Banjir, Kekeringan dan Polusi air. Saat hujan kebanjiran saat kemarau kekeringan. Kalaupun ada air, tidak layak konsumsi. Hitam pekat, penuh polutan serta beracun.
Krisis air bukan hanya masalah airnya menghilang. Namun lebih pada krisis perilaku manusia memperlakukan air. Menjadi keprihatinan bersama, di sebuah negeri tropis yang lembab dan hujan turun hampir sepanjang 6 bulan--dengan intensitas tinggi-- terjadi krisis air. Krisis air di negeri tropis menunjukkan krisis perilaku manusia.
Cara Memandang Air
Peradaban di muka Bumi sebagian besar berkembang dekat dengan sumber air. Mulai peradaban Delta Nil (Mesir kuno), sampai Batavia (Jakarta). Â Air menjadi elemen penting dari tumbuh kembang sebuah peradaban. Fungsi air sangat vital menunjang kehidupan, sama dengan fungsi udara untuk bernafas.
Namun masih banyak manusia tidak memahami hal ini. Masih banyak manusia yang membuang limbah dengan prinsip "asal hilang dari pandangan mata". Asal tidak terlihat lagi dan hidung tidak membau, dianggap beres.
Sebagai contoh perilaku manusia yang menjadikan sungai sebagai tempat sampah. Membuang plastik, pampers dan sampah rumah tangga. Perilaku ini sangat primitif, keterlaluan dan berbahaya. Tidak hanya bagi makhluk hidup di ekosistem air tawar dan air asin. Namun, juga untuk manusia.
Studi dari ilmuwan, ada 8 juta ton plastik yang masuk ke lautan setiap tahunnya. Sumbernya berasal dari aliran sungai. Riset dari Jenna Jambeck dari University og Georgia ada 3,2 juta ton plastik melayang-layang di perairan Indonesia awal dekade ini. Indonesia disebut sebagai negeri pencemar terbesar di Asia Tenggara.
Lebih memprihatinkan lagi, Maret 2017, Orbmedia bersama para peneliti dari University of Minnesota, AS, mendapati adanya kontaminasi mikroplastik di air tanah dan ledeng di Indonesia. Hampir 76% sampel mengandung mikroplastik.
Sampah plastik yang dilepas di alam, karena cuaca atau benturan saat terbawa arus sungai atau laut bisa terbelah menjadi ukuran kecil dan sangat kecil (mikroplastik). Mikroplastik akan melayang-layang di air. Karena berwarna warni akan menarik ikan, sotong dan organisme air lainnya, mengira itu makanan.
Mikroplastik tidak akan terurai di tubuh ikan atau organisme apapun. Kalau dimakan manusia atau predator diatasnya maka yang terjadi adalah sebuah akumulasi zat beracun di tubuh makhluk hidup. Akumulasi berlebihan, lambat laun merusak metabolisme makhluk hidup; berakhir kematian!
Akar Masalah
Apa sebenarnya akar dari masalah ini semua? Kenapa Hutan Hujan Tropis dibabat untuk diganti dengan tanaman perdagangan. Kenapa pula gunung dikeruk sampai ke dasar hingga mencipktakan lubang menganga? Mengapa pula diproduksi plastik yang akhirnya berakhir sebagai pollutan?
Jawabannya ada di meja makan dan peralatan di dalam rumah. Dari situlah sumber malapetaka kerusakan lingkungan: Hancurnya hutan, tercemarnya air, dan matinya satwa.
Semisal kegemaran mengonsumsi makanan digoreng. Menimbulkan permintaan dalam jumlah besar terhadap minyak sawit. Pakaian kita yang sering gonta-ganti meningkatkan produksi kain dengan limbah mengalir ke sungai. Perhiasan yang kita pakai meningkatkan penggunaan emas dan meningkatkan juga pengrusakan alam akibat penambangan emas. Mebel yang kita pakai  juga menjadi sebab adanya penebangan kayu besar di hutan yang harusnya dilindungi.
Kita semua (Homo sapiens) akhirnya  harus mengakui dan bertanggung sebagai pelaku kejahatan lingkungan. Meskipun dengan derajat berbeda, mulai rendah sampai tinggi.  Karena kita juga berperan sebagai rantai yang mendorong korporasi melakukan kejahatan terhadap lingkungan. Selain itu populasi manusia terlalu banyak, dan gaya hidup yang tidak sederhana menjadi sebab tekanan terhadap alam.
Solusinya adalah mengubah atau merevolusi pola pikir dan pola tindak. Agar perilaku seimbang dan selaras dengan alam. Air adalah sumberdaya alam yang seharusnya kita muliakan dalam arti kita jaga kita rawat dan kita hormati dengan sungguh. Mencemari air adalah kejahatan kemanusian yang harusnya hukumannya berat. Sebanding dengan pembunuhan terencana. Membuang zat pencemar ke air sama saja meracuni semua makhluk hidup: Mulai belut sampai manusia.
Air adalah zat yang lembut, memberi kesegaran pada setiap kesempatan. Memberikan kelegaan saat kita dahaga dan menghidupkan  tunas-tunas tanaman. Tak ada yang bisa menggantikan peran air  untuk kehidupan. Dengan pemahaman itu apakah Homo sapiens masih abai memperlakukan air dengan sembrono?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H