Alhamdulillah, namaku muncul diantara 10 pemenang Blog Competition Kompasiana yang bertema Sound of Borobudur. Pastinya seneng banget. Dalam hati ingin teriak kencang, sambil tangan mengepal impressif. Namun, saat itu aku berada di kantor di kelilingi teman sejawat. Kesadaranku sebagai orang dewasa yang slow harus tetap terjaga. Imej kalem harus tetap terbangun. Rontoklah reputasiku jika ekspresi ala-ala ABG itu tiba-tiba melingkupi diriku. Uups!
Merasa kurang yakin, benarkah itu aku? sengaja ku tekan exit, keluar dari website Kompasiana. Banyak orang yang terobsesi sesuatu sampai dirinya berhalusinasi. Ada banyak cerita seorang pemuda yang mendambakan motor, karena tidak bisa beli, dirinya naik sepeda dan mulutnya berbunyi seperti motor bruuum..bruuummm..bruummmm. Ada pula orang yang ingin menjadi Michael Jackson, pakaiannya, bahasanya dan cara berjalannya seperti apa yang diimajinasikan. Duh amit-amit jabang bayik, enggak deh! Aku hanya takut terkena sindrom semacam itu. Pastinya itu sungguh mengerikan, hehe
Aku masuk lagi ke website Kompasiana dengan penghayatan berlebih. Jantung tetap berdetak lebih kuat dari biasanya, ku cari pilihan EVENT, saya klik muncul Tulisan Pengumuman Pemenang. Dan ada tautan Selamat Kepada 10 Pemenang yang Berhasil Raih Kesempatan... . Saya klik mouse dua kali dengan jari telunjuk. Muncullah nama-nama sepuluh pemenang itu. Namaku ada di posisi nomor sembilan. Kutekan tautan,"Denting Peradaban Berbunyi di Borobudur" tak seberapa lama nyambung ke alamat blog saya, "yess" itu karyaku. Ku ambil ponsel, chat Istriku. Karena aku yakin yang dimaksud Kompasiana adalah diriku yang fana ini.
 "Ma, Papa menang Event Kompasiana" ku tambahi emo alay di belakang chat (mata mendelik satu dan satunya lagi terpejam, dan lidah terjulur)
 dua puluh menitan tidak ada balasan, mungkin istri lagi sibuk. Baru menit ke 25 ada balasan masuk
"Â Alhamdulillah Pa, mimpi Papa ingin dekat Borobudur tercapai"Â Balas istriku
Hari itu, Rabu 9 Juni 2021, pikiranku senang dan tenang. Entah, nantinya ikut tour apa tidak, aku tidak peduli. Bagiku terpenting, mampu berada di dalam "10 spesies terpilih" yang dipanggil ke Borobudur, untuk menyambangi dan mendengarkan alunan musik yang ribuan tahun terbungkam.
Kenapa Borobudur begitu istimewa buatku? Karena Borobudur memang istimewa. Saya yakin masyarakat yang menyukai Budaya Nusantara akan tergelak gairahnya kalau mengkaji candi Impressif dengan struktur khas punden berundak. Peradaban yang menggiring masyarakat Nusantara berlabel masyarakat kosmopolitan di zamannya.Â
Pusatnya peradaban! Ini bukan pandangan Chauvinis, ini realita dan fakta. Ada bukti, tinggalan peradaban yang bisa disuguhkan. Karena memang itu buktinya. Sebelum moment ini pun, diriku selalu bercerita ke anak didik;
"Abad ke-8 apa kamu tahu Amerika saat itu? Di sana hanya ada byson, gerombolan byson yang dikejar-kejar pribumi Amerika. Kamu tahu Australia--negara jiran kita di selatan itu--hanya dihuni oleh kangguru liar, dan kamu tahu Singapura, wilayah itu dihuni kalong dan trenggiling" Â
Apakah aku rasis dengan menguak fakta itu? Ku coba untuk menjawab sendiri, tidak! aku tidak rasis, aku hanya jengkel kenapa mereka lebih maju dari Nusantara saat ini.
Anak-anak malah tertawa. Saya tidak, saya mencoba serius bahwa apa yang saya paparkan adalah fakta dan nyata adanya.
" Dan wilayah yang kamu huni saat ini yang bernama Indonesia sudah membangun peradaban maju dengan meninggalkan bangunan berarsitektur mengagumkan, BOROBUDUR! Saat penduduk Australia membuat mahakarya bivak (gubuk dari dedaunan) nenek moyangmu ini sudah mampu menghitung dengan ketepatan mengagumkan. Membangun bangunan dari batu andesit, dengan presisi mencengangkan. Terciptalah candi megah di Magelang yang keindahannya bahkan membuat kagum Gubernur Jenderal Inggris, Raffles, pendiri Singapura. Dan Raffles menangis (sesenggukan) ketika harus meninggalkan Jawa, saat dimutasi ke Singapura"
Biasanya anak-anak melongo dan terdiam. Sebagian mungkin paham sebagian mungkin abstrak memahami apa yang aku bicarakan. Dan aku bisa menebak, sedikit dari mereka berada pada zona abstrak. Terlihat dari mukanya yang datar tanpa ekspresi terkejut atau kagum. Wajah yang menunjukkan ekspresi B aja. Spesies millenial tidak gampang kagum karena mereka juga punya akses yang sama terhadap informasi apa pun. Kadang saya berfikir jangan-jangan mereka memahami Raffles seperti mereka memahami Tukul Arwana!
Hari Rabu, tanggal 9 Juni 2021 informasi pemenang itu diumumkan. Berangkat atau tidak selalu menjadi dua sisi yang harus saya pertimbangkan  dengan matang. Jika tidak ikut saya kehilangan moment. Jika ikut kondisi pagebluk semakin menghawatirkan. Istriku yang menguatkan agar aku berangkat. Akhirnya dengan bulat kuputuskan, saya berangkat.
Sejak tanggal 11 Juni ketika hati saya memutuskan berangkat, konsumsi TV saya nolkan. Saya tidak mau nonton TV yang menyajikan berita pagebluk. Kuhindari semua jenis informasi yang mampu membuat pikiranku goyah. Yang kulakukan hanya fokus mepelajari Borobudur. Sebuah upaya untuk meneguhkan hati membulatkan tekad.Â
Selain itu, dalam pikiran, akan bertemu dengan 9 orang hebat yang punya minat yang sama. Maka saya print sepuluh karya tersebut--termasuk milikku--saya baca berulang-ulang untuk semakin menguatkan "Saya Harus ke Borobudur". Satu demi satu sebelum tidur saya membaca karya 10 orang tersebut.
Hari pertama kubaca karya Teh Nurul Mutiara, Blogger cerdas asal Pekalongan. Aku mengulas karyanya, menandai dengan stabilo, membuat coretan kecil. Sembilan puluh menit lebih ku habiskan untuk menikmati karyanya. Hari kedua Karya Mbak Vicky Laurentina, blogger energik asal Surabaya. Tulisannya mengulik tentang apa yang didapat bangsa ini terkait mahakarya Borobudur.
Hari ketiga karya Mbak Ratih Fitroh, blogger dan guru sejarah cerdas energik. Artikelnya tayang di AU, dirinya membahas kemegahan Borobudur dengan perspektif mendalam sebagai pengagum sejarah.  Hari keempat Pak Ang Tek Khun, beliau adalah pakar Storytelling. Beliau mengulas Sound of Borobudur harus dikemas dalam bingkai storynomic agar berdampak kuat bagi pariwisata Indonesia.Â
Hari kelima, karya Mas Hendra Wardana, ulasannya tentang pementasan musik masa lalu yang kemungkinan besar tak jauh beda dengan saat ini. Hari keenam Ibu Tety Polmasari, tulisannya membahas kekagumannya tentang relief alat musik dan lebih kagum lagi relief musik tersebut bisa diwujudkan dan didengarkan oleh para musisi tanah air.Â
Hari ketujuh membaca karya Mas Detha Arya, beliau dengan apiknya mengalirkan kemegahan Borobudur dari ujaran orang-orang terkemuka yang terpesona melihat Borobudur, sebut saja Naturalis Inggis, Russel Wallace. Hari kedelapan karya Pak Djulianto Susantio, saya lahap. Beliau Arkeolog independen yang tulisannya selalu bermuatan hal baru dan menarik. Beliau dengan detailnya, menggunakan mata elang arkeolog membiak-biak selaput tersembunyi relief dengan tutur renyah.Â
Hari kesembilan karya Mbak Riana Dewie, saya lahap karya blogger jogja yang smart ini. Tulisannya mengulas kekagumannya dengan fakta bahwa Borobudur adalah pusat musik dunia. Â Hari kesepuluh aku membaca karya Mas Indra Mahardika. Tulisan yang keren dan yang mengulas Borobudur sebagai media diplomasi antar negara. Sampai tanggal 20 Juni saya final membaca karya sepuluh orang dengan konsentrasi maksimal.
Tulisan luar biasa tersebut semakin menambah daya inginku untuk bercakap dan berbincang dengan mereka ini. Sayangnya Mas Indra Mahardika dan Mas Hendra Wardana berhalangan hadir. Intinya diriku siap bertemu mereka, menyapa mereka, dan memulai pembicaraan kalau kepepet dengan mengulik karya fenomenal mereka.
Aku sudah menyusun kalimat pembuka, kalau nanti ketemu Teh Nurul Mutiara dan saling diam setidaknya aku mampu memulai;
"Ehh Teh, karyamu keren sekali mampu mengilustrasikan kondisi Korea Selatan dengan masa Mataram Kuno? cerita dong sedikit tentang drama sageuk!
Atau saat ketemu Bang Detha Arya, saya siap dengan kalimat
"Bang, ada satu persamaan karyamu dengan karyaku. Kita sama-sama mengutip kekaguman Naturalis inggris, Wallacea"
Untuk memulai pembicaraan menarik dengan orang baru, salah satunya adalah mempelajari kesukaan lawan bicara kita. Jadikan tema pembicaraan terkait apa yang diminati, pastinya kita akan dikasih panggung berbicara juga. Ilmu ini aku dapat bukan dari guru spikologi berlisensi namun dari temanku, seorang pakar kehidupan aku sebut seniman kehidupan yang suka mengamati tingkah laku orang lain, walaupun terkadang dirinya jarang diamati oleh dirinya sendiri.Â
Aku juga belajar dari diriku sendiri, saat orang menanyakan kondisi Laut China Selatan dan Hukum Laut Internasional, aku begitu bersemangat, itu passion yang saya geluti dari dulu.
Sembilan orang yang karyanya saya baca, dengan khusuk, saya ulas, saya tandai dengan stabilo, dibagian point pentingnya, Â lama kelamaan menciptakan sensasi sebagai orang yang aku kenal. Setidaknya aku mengenal karyanya. Semakin hari tarikan untuk bertemu dan berkomunikasi semakin menarik egoku "Ayolah, datang ke situ temui mereka, mereka sumber pengetahuan dan kamu bisa menimbanya" sip! Aku setuju dengan pembicaraan diriku sendiri.
Hari Selasa tanggal 22 Juni, tas ransel dengan segala peralatan tempur selama lima hari adalah jawaban bahwa langkahku sudah final mengayun ke Borobudur.  Langkah yang di awali di depan pintu rumah, mengunci pintu, dan memandang rumah sebentar lalu berbalik dan  bersiap untuk Menerima Undangan Borobudur.Â
Kereta Wijayakusma membawaku bergerak ke barat tepat pukul 12.00 WIB dari setasiun Rogojampi. Mataku nanar melihat istri dan anakku. Di tengah perjalanan, ada chat masuk "Â Pa, Lendra nangis, dia sesenggukan lihat Papa berangkat" Anakku bernama Syailendra.Â
Di sepanjang perjalanan aku trenyuh, apa pun yang terjadi aku harus sampai menuntaskan jalan. Kereta melengking meninggalkan persawahan yang ada di kanan kiri wilayah Rogojampi. Namun, mata sembabku, nanar melihat hamparan padi yang menguning sebagian. Â Kereta bergerak penuh energi ke arah barat, Yogyakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H