Tiga belas kali sejak  merdeka pada 1945, Indonesia mengganti rencana belajar (curriculum). Pada era Orde Lama (kurikulum 1947, 1952, dan 1964). Era Orde Baru ( 1968,1975,1984,1994). Era Reformasi (Kurikulum 2004, 2006, 2013, 2015, 2020, 2021). Kalau melihat rentang perubahannya, Orde Lama setiap enam tahunan, Orde Baru 7 tahunan, dan Orde Reformasi 3 tahunan. Menarik mencermati perubahan kurikulum yang boleh dikata selalu berubah. Seolah setiap kali berganti menteri pendidikan, berganti pula kurikulum.
Ukuran
Kurikulum sudah bergonta ganti, namun cita-cita menjadi bangsa yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945; menjadi masyarakat yang cerdas, adil dan makmur, belum sepenuhnya terwujud. Ini menjadi sebuah tanda tanya besar kaitannya proses pendidikan Indonesia.
Kalau ukuran kesuksesan sebuah negara diukur dengan tingginya pendapatan, kesehatan dan pendidikan maka Indonesia belum bisa dikatakan berhasil. Menurut BPS tahun 2020, kemiskinan masih berada di angka 5,09% atau 26,42 juta orang. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia menurut United Nations Development Program tahun 2019 berada di posisi 111 dari 189 negara. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2017,  penduduk Indonesia yang menyenyam pendidikan tinggi hanya 8,5 %. Berdasarkan Global Nutrition Report pada  2018, prevalensi stunting Indonesia peringkat 108 dari 132 negara. Di Asia Tenggara tertinggi ke-2 setelah Kamboja.
Dalam konteks pembangunan negara, berhasilnya pendidikan akan dikaitkan dengan keberhasilan ekonomi. Pendidikan bagus berkorelasi positif dengan ekonomi maju. Sebagian besar bangsa yang punya daya saing tinggi diawali dengan memajukan pendidikannya. Tahun 2019 menurut data BPS, tingkat melek huruf Indonesia berada di angka 98%. Namun laporan dari Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) tahun 2019 tingkat literasi berada di peringkat 74 dari 79 negara yang diteliti. Artinya budaya baca bangsa Indonesia masih rendah. Ini adalah paradoks.
Untuk menilai pembangunan Indonesia berhasil atau tidak, maka harus ada pembanding.  Kondisi Indonesia bisa dibandingkan dengan negara China, India, Korea Selatan. Alasannya  selain jumlah penduduk besar, situasi tahun 1945-an sama terpuruknya dengan Indonesia.
India sudah menjadi salah satu kekuatan teknologi dalam eksplorasi ruang angkasa yang cukup diperhitungkan. Sedangkan China, sebuah negara dengan keajaiban ekonomi yang paling dramatis. Menurut Center for Economics and Business Research (CEBR), diprediksi tahun 2028, China akan menggeser raksasa ekonomi Amerika. Kekuksesan juga ditorehkan Korea Selatan, saat ini menjadi negara industri baru yang makmur di dunia. Pendapatan perkapitanya, tahun 2020 sudah mencapai 31,495 US$.
Dari ketiga negara tersebut kita fokuskan ke China. Sebuah negara dengan jumlah penduduk 1,4 milyar. China bertransformasi dari masyarakat miskin menjadi masyarakat makmur. Data dari World Bank, tahun 1990-an pendapatan perkapita China hanya 1.834 US$, sedangkan Indonesia sudah mencapai 2.930 US$. Tahun 2019 angka tersebut berubah dramatis, pendapatan perkapita China 10.218.714 US$ sedangkan Indonesia bergerak lambat dikisaran 4.174,9 US$. Tahun 2020 PDB China melejit setara 15,42 trilliun Dollar AS dan Indonesia 1,28 trilliun Dollar AS. Keberhasilan China tersebut ditunjang dengan memberi akses seluas luasnya bagi penduduk untuk mendapat pendidikan. Dana riset yang melimpah, 2% dari PDB --Indonesia 0,25% PDB-- serta ditunjang pemerintahan yang bersih dan iklim politik yang tidak terlalu gaduh.
Mau ke Mana
Prioritas utama pembangunan manusia adalah terbukanya kesempatan untuk mengakses pendidikan. Pendidikan harus disamakan dengan udara. Boleh diakses oleh siapa saja. Porsi anggaran pendidikan yang sudah 20% dari APBN, sesuai dengan amanat Undang-Undang, merupakan upaya positif dari pemerintah. Tahun 2021, anggaran untuk pendidikan mencapai Rp 550 trilliun. Namun, masih adanya kesenjangan mengakses pendidikan diberbagai wilayah menjadi sebuah PR bagi pemerintah yang belum selesai.
Anggaran pendidikan yang besar harus dibarengi dengan peningkatan kualitas pendidikan yang semakin baik. Pembenahan sarana prasarana maupun pembenahan stakeholder pendidikan agar kualitas anak didik mampu bersaing di tingkat global. Pendidikan juga harus berfungsi sebagai alat transformasi budaya. Dalam hal ini budaya sebagai negara yang maju, berfikir rasional dengan ditopang budaya baca, menulis dan meneliti yang tinggi.
Rendahnya minat baca di kalangan masyarakat terutama pelajar Indonesia bisa dijadikan cerminan kegagalan pendidikan Indonesia. Kalau budaya baca rendah akan berakibat pada budaya menulis yang rendah pula. Pada akhirnya akan mengurangi minat penelitian  Perubahan kurikulum yang bergonta ganti nyatanya belum berdampak signifikan bagi peserta didik, yang ada malah kebingungan.
Ada yang menarik saat pendidikan pada era Belanda yang mampu melahirkan tokoh-tokoh sekaliber Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, Agus Salim. Semua bermuara pada satu titik: suka membaca dan menulis. Kesulitan mengakses bacaan pada era  penjajahan malah melahirkan generasi cemerlang dengan budaya literasi yang mengagumkan.
Pada saat ini, pendidikan dihadapkan pada rendahnya budaya literasi. Padahal akses bacaan terbuka lebar. Ada perpustakaan sekolah, perpustakaan umum daerah dan juga ada perpustakaan nasional. Ekonomi Indonesia juga lebih baik dibanding era penjajahan. Rendahnya minat baca ibarat sebuah penyakit. Ini sangat berbahaya Karena akan lahir generasi gagal paham memahami sebuah informasi. Muncullah masyarakat instan yang dengan mudah mempercayai sebuah unggahan berita yang tidak jelas benar tidaknya, karena daya kritis yang rendah mencerna informasi.
Kalau mau dirunut kembali, peningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, harus diawali dengan "memaksa" anak didik suka membaca, sehingga menjadi sebuah budaya. Karena dari situlah kemajuan sebuah bangsa berawal. Â Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H