Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Manifesto KAA, Konflik LTS, dan Politik Diskon Barang

27 April 2021   12:17 Diperbarui: 7 September 2021   15:47 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                                                                                                                             

"Delegasi Tiongkok datang dengan tujuan mencari persatuan, bukan untuk mencari perselisihan. Tidak ada gunanya menyodorkan ideologi atau perbedaan di antara kita. Kita datang kemari untuk menemukan persamaan pandangan," (Zhou Enlai, KAA :1955)

                                                                                                               ---------

Di atas adalah kutipan pidato yang diucapkan oleh Perdana Menteri Tiongkok, Zhou Enlai saat  memberikan "hak bela" di Konferensi Asia Afrika (KAA), Bandung tahun 1955. Pidato tersebut hakekatnya menepis polemik  layak tidaknya Tiongkok ikut serta dalam KAA. Mengingat Tiongkok adalah negara Komunis. Pada saat yang sama, gairah KAA adalah keluar dari perseteruan dua blok: Komunis dan Kapitalis.

Konferensi Tingkat Tinggi KAA yang berlangsung 18-24 April 1955, menghasilkan manifesto Dasa Sila Bandung. Sampai saat ini manifesto tersebut masih relevan untuk dijadikan norma internasional. Misal, sila 2; Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa. Sila 10; menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban Internasional. Manifesto tersebut ditandatangani oleh 29 negara, termasuk  Tiongkok yang diwakili langsung oleh Perdana Menterinya, Zhou Enlai.

Menarik sekali mengaitkan KAA dengan ketegangan yang terjadi di Laut Tiongkok Selatan (LTS). Sebagai ilustrasi bahwa Tiongkok berambisi menguasai 90% perairan LTS, yang mengiris teritorial: Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, Filiphina, Taiwan dan juga Overlapping dengan ZEE Indonesia. Klaim tersebut mengundang banyak negara di luar ASEAN untuk ikut terlibat seperti Amerika dan sekutunya.

Laut Tiongkok Selatan membentang seluas 2 juta km2 . Mengutip dari Council of Foreign Relation, Bank Dunia, LTS mempunyai cadangan minyak 7 milyar barrel, gas 900 trilyun kaki kubik.World Maritim Council memperkirakan 25% lalu lintas perdagangan dunia melewati LTS dengan valuasi barang mencapai USD 5,3 trilyun. Ini merupakan  wilayah yang kelewat strategis dan harta karun untuk negara yang menguasai.

Klaim Tiongkok atas LTS memang ambisius, namun bisa diprediksi. Masa lalu sebagai pewaris kekaisaran Mongol yang pernah melebarkan hegemoninya, jauh masuk ke Laut Jawa; bisa jadi pijakan membangun romantisme sejarah dan peruntungan teritorial. Sebagaimana istilah "relevant water" dan "historical  rights" yang digunakan Tiongkok untuk melegalkan klaimnya atas LTS.

Indonesia VS Tiongkok

Pada saat disahkannya hukum laut Internasional oleh PBB (UNCLOS 1982), batas laut, Indonesia-Tiongkok tidak ada masalah alias clear. Namun, saat Tiongkok mengeluarkan peta teritorial tahun 2014 dengan menyertakan garis imajiner Nine Dash Line; di situ mulai muncul singgungan. Laut Natuna Utara--sebagai ZEE Indonesia--teriris. Padahal statusnya sudah legal formal, dan sah menurut PBB.

Pastinya semua sudah diperhitungkan oleh Tiongkok. Dengan menarik Indonesia masuk ke dalam konflik LTS sebenarnya bisa menimbulkan ongkos politik lebih besar. Karena di kawasan ASEAN, Indonesia adalah negara dengan teritorial terluas, penduduk terbanyak dan juga sebagai pemimpin tradisional ASEAN. Nyatanya Indonesia memang dilibatkan. Namun, di sisi lain, penanganan konflik dengan Indonesia, Tiongkok sangat hati-hati, beda perlakuan saat bersinggungan dengan Vietnam atau Filiphina yang terkadang boleh dinilai brutal.

Strategi Tiongkok, menggunakan penyelesaian bilateral--mengajak berunding negara per negara. Sambil memainkan keunggulan ekonomi, dan imimg-iming investasi besar. Tidak terkecuali  strategi tersebut diterapkan untuk Indonesia. Menurut catatan BKPM, sepanjang tahun 2020 Investasi Tiongkok adalah yang terbesar setelah Singapura. Nilainya mencapai 8,3 milyar USD. Bagi Indonesia pun sama, Tiongkok adalah negara mitra dagang utama. Menurut data BPS, ekspor Indonesi sepanjang Maret 2021 mencapai 18,35 milyar USD. Kapitalisasi terbesar ke Tiongkok.

Politik Diskon Barang

Indonesia dan Tiongkok punya kepentingan strategisnya masing-masing. Dalam masalah LTS, Tiongkok akan terus memanasi Indonesia dalam skala konflik moderat. Namun, terkelola dengan baik. Tiongkok tidak akan secara serius mengajak Indonesia konflik terbuka. Ongkos ekonominya terlalu besar dan melelahkan. Indonesia adalah pasar dan sekutu potensial bagi Tiongkok. Maka kemungkinan skenarionya adalah: Politik Diskon Barang. Harga barang dibanderol dengan harga di atas normal, lalu diberi diskon besar. Namun, harga diskon tersebut masih menguntungkan secara ekonomis. Pembeli psikologisnya merasa diuntungkan, dan pedagang untung beneran.

Tiongkok melibatkan Indonesia ke dalam masalah LTS adalah kesengajaan. Namun sebenarnya tidak berambisi menguasai. Indonesia hanya dibuat berang dan gusar. Tiongkok akan bereaksi sewajarnya. Terus begitu sampai Indonesia benar-benar mendidih. Dan pada saatnya Indonesia mau diajak berunding. Pada akhirnya, Tiongkok akan menghapus garis imajinernya di Natuna. Tiongkok seolah bermurah hati dan Indonesia merasa menang diplomasi politiknya.

Dengan dicoretnya Nine Dash Line dari wilayah Natuna, Tiongkok mendesak agar Indonesia membayar dengan politik diam. Artinya Indonesia tidak perlu reaktif atau over acting dengan klaim Tiongkok atas wilayah ASEAN lainnya. Bagi Tiongkok ini akan melegakan, salah satu rival besar di ASEAN sudah takluk. Pada Akhirnya, negara ASEAN lainnya akan bertarung sendiri-sendiri dan kemungkinan tidak akan menang.

Tiongkok akan konsisten berupaya menyelesaikan lewat jalur bilateral dengan pancingan ekonomi; Investasi. Myanmar, Kambodja, Thailand, Timor Leste (belum jadi anggota ASEAN) dan Laos, sudah dibungkam dengan jeratan investasi, agar diam setidaknya abstain kalau ASEAN membicarakan masalah LTS.

Jika salah penanganan LTS bisa menjadi pemicu perang besar. Manifesto Dasa Sila Bandung harusnya bukan hanya romantisme sejarah namun bisa untuk pedoman bersopan santun antar negara.

Mungkin Tiongkok sudah lupa, apa yang dulu pernah digagas, yakni  menjaga persatuan dan bukan mencari perselisihan, sebagaimana Perdana Menteri Zhou Enlai ucapkan pada saat di Bandung 66 tahun silam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun