IFTITAH
Pada hakekatnya Allah swt menciptakan manusia, baik laki-laki maupun perempuan, semata-mata bertujuan untuk bermakrifat (mengenal) kepada-Nya.  Pada era mileneal ini sudah tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, baik dalam hal kedudukan, harkat, martabat, kemampuan dan kesempatan untuk bekerja. Secara biologis laki-laki berbeda dengan Perempuan, tetapi dari segi hak dan kewajiban sebagai manusia sama. Pembedanya kemuliaan satu sama lain adalah ketaqwaanya kepada Allah. Keberadaan keduanya sebagai mitra sejajar dalam berbagai aspek kehidupan. Tulisan ini mencoba memahami peran Bapa dari perspektif  keluarga dan kearifan lokal Sunda.
MABAHIS
Bapa Dalam perspektif Keluarga
"Like father, like son" yang berarti "perilaku anak diduga serupa dengan Bapanya". Ungkapan tersebut mengacu pada gambaran tentang apa yang dilakukan orangtua berkaitan dengan Ke-Bapaan (fatherhood). Berikut ini beberapa peran Bapa dalam keluarga adalah: (a) provider, sebagai penyedia dan pemberi fasilitas, (b) protector, sebagai pemberi perlindungan, (c) child specialiser & educator, sebagai pendidik dan menjadikan anak sebagai makhluk sosial, (e) nurtured mother, sebagai pendamping ibu, Â (f) friend & playmate, sebagai teman bermain dan memberikan stimulasi fisik kepada anak, (g) caregiver, dianggap sebagai pemberi stimulasi afeksi sehingga memberikan rasa nyaman, (h) role model, bertanggung jawab menjadi teladan yang baik bagi anak, (i) monitor and disciplinary, sebagai pengawas terhadap tanda-tanda awal penyimpangan sehingga disiplin dapat ditegakan, (j) advocate, menjamin kesejahteraan anak terutama ketika anak berada di institusi di luar keluarga, (k) resource, mendukung keberhasilan anak dengan memberikan dukungan di belakang layar.
Bapa Dalam Perspektif Kitab Sanghiyang Siksa Kandang Karesian (SSKK).
Salah satu ayat dalam kitab ini menjelaskan pentingnya nasehat seorang BAPA kepada isteri dan anak, mengingat perannya sebagai pendidik dan  pencari nafkah bagi istri dan anak. Hubungan dalam kekeluargaan ini tentu berbeda bila dibandingkan dengan perlakuan terhadap orang lain.
Simbut-cawet mulah kasarataan, hakan-inum ulah kakurangan, anak-ewe pituturan sugan dipajar durbala siksa. Yatnakeun sanghyang siksakandang karesian (selimut dan pakaian jangan kekurangan; makan dan minum jangan kekurangan; anak dan istri dinasihati agar tidak dikatakan merusak kesusilaan. Perhatikanlah sanghiyang siksakandang karesian).
Setelah BAPA dapat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan keluarganya, tugas selanjutanya adalah menjaga kesusilaan dengan memberi nasehat yang baik. Apabila nasehat-nasehatnya tidak digubris, sang BAPA dibolehkan untuk tidak mengakui dan menceraikannya. Mengapa ? Bapa akan menderita rasa malu karena dianggap gagal dalam mendidik keluarganya.
"Hanteu ma nurut na pamagahan, ta sarua deungeun sakalih. Ngan lamun keudeu, wanak geus ma medeng diaku ku urang. Boa urang kabobotan, boa reujeung sasab ka naraka, leungit batri rang ngabakta, hilang beunang cakal-bakal." (bila tidak menuruti nasihat, mereka itu sama saja dengan orang lain. Namun bila tetap bandel, istri dan anak yang demikian, sudahlah jangan kita aku. Pasti kita mendapat beban, pasti tersesat masuk neraka, musnah hasil amal kita, hilang pahala leluhur).
Anomali terjadi bila kita melihat kehidupan bangsa Cina, Korea Selatan, dan Jepang yang menghormati kepada orangtuanya. Padahal di Cina sejak tahun 1949 haluan negaranya telah berubah dari nasionalis menjadi komunis, tetapi ikatan anak terhadap orangtuanya tidak berubah. Di Indonesia ikatan ini mulai terganggu dan semakin parah setelah lahirnya gerakan massa yang berbasis agama, khususnya sempalan agama Islam yang mengajar-kan pemisahan terhadap orang Islam yang tak sekeyakinan dengan gerakan mereka. Orangtuanya dianggap kafir dan ditinggalkan, jika tidak mau menerima keyakinan yang mereka pegang. Gerakan mereka terbagi sebagai gerakan bawah tanah dan terbuka.