Mohon tunggu...
Agus Salman
Agus Salman Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati politik, sosial, seni, budaya

mahluk yang terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Autoctaric Legalism dalam Putusan PN Jakarta Pusat tentang Penundaan Pemilu 2024

7 Maret 2023   08:29 Diperbarui: 7 Maret 2023   10:07 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Autocratic legalism dalam putusan PN Jakarta Pusat tentang penundaan Pemilu 2024

 

Putusan yang tuai kritik

"Menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua ) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari," demikian bunyi diktum kelima amar putusan PN Jakarta Pusat memenangkan Prima atas gugatan perdata Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU).

PN Jakarta Pusat memenangkan Prima atas gugatan perdata Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kamis (2/3/2022). Dalam putusan atas gugatan 757/Pdt.G/2022 yang dilayangkan pada 8 Desember 2022, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memerintahkan KPU menunda Pemilu 2024.

Putusan ini membuat geger dan memicu respon dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menyebut putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang penundaan Pemilu 2024 dinilai aneh karena melampaui yurisdiksi. Menurut Feri, dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 Pasal 10 dam Pasal 11 telah diatur yurisdiksi pengadilan negeri dalam penanganan perkara perbuatan melanggar hukum (PMH). Menurut aturan tersebut, jika ada pihak yang mengajukan perkara PMH ke Pengadilan Negeri, maka pengadilan negeri bakal melimpahkannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena bukan yurisdiksinya.

Begitu pun Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) yang merupakan wadah perkumpulan para ahli-ahli, peneliti dan pengajar ilmu politik menilai Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga telah melanggar UUD Negara RI Tahun 1945 yang telah menyatakan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Dengan adanya UUD ini, maka vonis Pengadilan cacat karena melanggar konstitusi.

AIPI menyampaikan beberapa pandangan: Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak memiliki kewenangan hukum untuk menguji produk-produk pejabat tata usaha negara. Adapun yang berwenang adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN); Putusan yang dikeluarkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah putusan yang menyimpang karena di luar aturan Undang Undang Pemilu. Karena Undang Undang Pemilu menegaskan bahwa ujung dari penanganan sengketa proses pemilu menjadi kewenangan PTUN yang terlebih dahulu harus melewati proses sengketa pemilu di Bawaslu RI.

Partai Prima menjelaskan terkait gugatan sengketa pemilu yang berujung putusan PN Jakpus menunda pemilu menurut Ketua Umum Partai Prima Agus Jabo Priyono menggelar jumpa pers untuk melakukan klarifikasi di markas Partai Prima, Jakarta, Jumat (3/3/2023). Agus menegaskan pihaknya sebetulnya tidak menginginkan pemilu ditunda.

Autocratic legalism

Kim Lane (2018) istilah autocratic legalism diartikan, suatu tindakan kepentingan diri sendiri untuk menghasilkan sesuatu yang sebetulnya tidak sejalan dengan hukum, akan tetapi dalam melakukan tindakannya berlindung di balik atas nama hukum. Singkatnya, mereka menggunakan hukum untuk mengesampingkan hal-hal yang telah disepakati, atau memakai hukum untuk membenarkan tindakan yang sebenarnya melanggar prinsip-prinsip umum.

Kim Lane menunjukkan bagaimana tanda-tanda untuk mengetahui bekerjanya autocratic legalism, yaitu dengan sengaja melakukan serangan terhadap institusi yang kelak akan mengawasi dirinya. Bahkan, secara spesifik, Zainal Arifin Mochtar (2022) mengemukakan, mengetahui munculnya autocratic legalism caranya dengan memerhatikan apa yang disebut sebagai the undermined judicial independence (independensi peradilan yang dirusak).

Dalam 2 tahun terakhir, kalangan masyarakat sipil kerap menyoroti beberapa kebijakan yang diterbitkan pemerintah dan DPR. Misalnya, revisi UU KPK, UU Minerba, dan terbitnya UU Cipta Kerja. Terbitnya, tiga UU itu diwarnai penolakan dari sejumlah elemen masyarakat. Terakhir, terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No.75 Tahun 2021 tentang Statuta UI. 

Dosen STHI Jentera, Bivitri Susanti memberikan contoh revisi PP Statuta UI yang saat ini Rektor UI bisa merangkap jabatan sebagai komisaris di badan usaha. Padahal, PP Statuta UI sebelumnya melarang rektor merangkap jabatan tersebut. Bivitri melihat fenomena ini ada indikasi autocratic legalism yakni penggunaan serangan yang terencana dan berkesinambungan oleh penguasa pada institusi yang tugasnya justru untuk mengawasi tindakannya, dalam kerangka mandat demokratiknya.

Konsep itu melonggarkan ikatan-ikatan dan batasan konstitusional pada eksekutif melalui reformasi hukum, dimana itu merupakan penanda pertama hadirnya seorang autocratic legalist. "Dia berjalan sesuai hukum, tetapi sebenarnya sudah melanggar prinsip negara hukum, bahkan ke arah otoritarianisme," kata Bivitri dalam webinar bertema "Masa Depan Demokrasi Kita: Membaca Situasi Politik dan Hukum Indonesia", Kamis (29/7/2021).

Bivitri mencatat setidaknya ada 3 indikator autocratic legalism: Pertama, pelemahan DPR, ditandai dengan partai politik koalisi yang mendukung pemerintahan sangat kuat. Bahkan, Capres-Cawapres yang sebelumnya menjadi lawan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin malah ditarik menjadi Menteri di kabinetnya. Untuk mendukung pemerintahan ada juga pembagian jabatan, seperti komisaris BUMN dan Duta Besar. Akibat pelemahan itu, justru DPR yang dikontrol, mudah meloloskan berbagai UU, serta nyaris tidak ada hak angket yang substantif, kecuali soal konflik aktor dan terhadap KPK; Kedua, pelemahan masyarakat sipil melalui penerapan UU ITE dan penegakannya. Kebebasan akademik di kampus pun dilemahkan melalui "penguasaan" pejabat kampus. Begitu juga daya kritis sebagian kaum intelektual melalui pemberian jabatan dan pekerjaan; Ketiga, pembunuhan KPK, salah satunya melalui revisi UU KPK di tahun 2019 dan berlanjut sampai sekarang. Masuknya pimpinan KPK tahun 2019 yang dinilai menghancurkan lembaga anti rasuah itu dari dalam. Saat ini, KPK berpotensi menjadi alat penguasa. "Semua dilakukan dalam koridor hukum melalui pembentukan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum.

Tarik simpul

Ditahun politik jelang pemilu 2024 fenomena autocratic legalism terus merebak dan mesti segera diatasi agar tidak semakin terus mengancam demokrasi. Terkait putusan PN Jakarta Pusat yang memenangkan gugatan Partai Prima dengan salah satu poinnya adalah menunda Pemilu harus segera di usut tuntas terutama Mahkamah Konstitusi (MK) hadir untuk meredam kekegegeran ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun