Dosen STHI Jentera, Bivitri Susanti memberikan contoh revisi PP Statuta UI yang saat ini Rektor UI bisa merangkap jabatan sebagai komisaris di badan usaha. Padahal, PP Statuta UI sebelumnya melarang rektor merangkap jabatan tersebut. Bivitri melihat fenomena ini ada indikasi autocratic legalism yakni penggunaan serangan yang terencana dan berkesinambungan oleh penguasa pada institusi yang tugasnya justru untuk mengawasi tindakannya, dalam kerangka mandat demokratiknya.
Konsep itu melonggarkan ikatan-ikatan dan batasan konstitusional pada eksekutif melalui reformasi hukum, dimana itu merupakan penanda pertama hadirnya seorang autocratic legalist. "Dia berjalan sesuai hukum, tetapi sebenarnya sudah melanggar prinsip negara hukum, bahkan ke arah otoritarianisme," kata Bivitri dalam webinar bertema "Masa Depan Demokrasi Kita: Membaca Situasi Politik dan Hukum Indonesia", Kamis (29/7/2021).
Bivitri mencatat setidaknya ada 3 indikator autocratic legalism: Pertama, pelemahan DPR, ditandai dengan partai politik koalisi yang mendukung pemerintahan sangat kuat. Bahkan, Capres-Cawapres yang sebelumnya menjadi lawan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin malah ditarik menjadi Menteri di kabinetnya. Untuk mendukung pemerintahan ada juga pembagian jabatan, seperti komisaris BUMN dan Duta Besar. Akibat pelemahan itu, justru DPR yang dikontrol, mudah meloloskan berbagai UU, serta nyaris tidak ada hak angket yang substantif, kecuali soal konflik aktor dan terhadap KPK; Kedua, pelemahan masyarakat sipil melalui penerapan UU ITE dan penegakannya. Kebebasan akademik di kampus pun dilemahkan melalui "penguasaan" pejabat kampus. Begitu juga daya kritis sebagian kaum intelektual melalui pemberian jabatan dan pekerjaan; Ketiga, pembunuhan KPK, salah satunya melalui revisi UU KPK di tahun 2019 dan berlanjut sampai sekarang. Masuknya pimpinan KPK tahun 2019 yang dinilai menghancurkan lembaga anti rasuah itu dari dalam. Saat ini, KPK berpotensi menjadi alat penguasa. "Semua dilakukan dalam koridor hukum melalui pembentukan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum.
Tarik simpul
Ditahun politik jelang pemilu 2024 fenomena autocratic legalism terus merebak dan mesti segera diatasi agar tidak semakin terus mengancam demokrasi. Terkait putusan PN Jakarta Pusat yang memenangkan gugatan Partai Prima dengan salah satu poinnya adalah menunda Pemilu harus segera di usut tuntas terutama Mahkamah Konstitusi (MK) hadir untuk meredam kekegegeran ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H