Autocratic legalism dalam putusan PN Jakarta Pusat tentang penundaan Pemilu 2024
Â
Putusan yang tuai kritik
"Menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua ) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari," demikian bunyi diktum kelima amar putusan PN Jakarta Pusat memenangkan Prima atas gugatan perdata Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU).
PN Jakarta Pusat memenangkan Prima atas gugatan perdata Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kamis (2/3/2022). Dalam putusan atas gugatan 757/Pdt.G/2022 yang dilayangkan pada 8 Desember 2022, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memerintahkan KPU menunda Pemilu 2024.
Putusan ini membuat geger dan memicu respon dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menyebut putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang penundaan Pemilu 2024 dinilai aneh karena melampaui yurisdiksi. Menurut Feri, dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 Pasal 10 dam Pasal 11 telah diatur yurisdiksi pengadilan negeri dalam penanganan perkara perbuatan melanggar hukum (PMH). Menurut aturan tersebut, jika ada pihak yang mengajukan perkara PMH ke Pengadilan Negeri, maka pengadilan negeri bakal melimpahkannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena bukan yurisdiksinya.
Begitu pun Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) yang merupakan wadah perkumpulan para ahli-ahli, peneliti dan pengajar ilmu politik menilai Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga telah melanggar UUD Negara RI Tahun 1945 yang telah menyatakan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Dengan adanya UUD ini, maka vonis Pengadilan cacat karena melanggar konstitusi.
AIPI menyampaikan beberapa pandangan: Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak memiliki kewenangan hukum untuk menguji produk-produk pejabat tata usaha negara. Adapun yang berwenang adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN); Putusan yang dikeluarkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah putusan yang menyimpang karena di luar aturan Undang Undang Pemilu. Karena Undang Undang Pemilu menegaskan bahwa ujung dari penanganan sengketa proses pemilu menjadi kewenangan PTUN yang terlebih dahulu harus melewati proses sengketa pemilu di Bawaslu RI.
Partai Prima menjelaskan terkait gugatan sengketa pemilu yang berujung putusan PN Jakpus menunda pemilu menurut Ketua Umum Partai Prima Agus Jabo Priyono menggelar jumpa pers untuk melakukan klarifikasi di markas Partai Prima, Jakarta, Jumat (3/3/2023). Agus menegaskan pihaknya sebetulnya tidak menginginkan pemilu ditunda.
Autocratic legalism
Kim Lane (2018) istilah autocratic legalism diartikan, suatu tindakan kepentingan diri sendiri untuk menghasilkan sesuatu yang sebetulnya tidak sejalan dengan hukum, akan tetapi dalam melakukan tindakannya berlindung di balik atas nama hukum. Singkatnya, mereka menggunakan hukum untuk mengesampingkan hal-hal yang telah disepakati, atau memakai hukum untuk membenarkan tindakan yang sebenarnya melanggar prinsip-prinsip umum.
Kim Lane menunjukkan bagaimana tanda-tanda untuk mengetahui bekerjanya autocratic legalism, yaitu dengan sengaja melakukan serangan terhadap institusi yang kelak akan mengawasi dirinya. Bahkan, secara spesifik, Zainal Arifin Mochtar (2022) mengemukakan, mengetahui munculnya autocratic legalism caranya dengan memerhatikan apa yang disebut sebagai the undermined judicial independence (independensi peradilan yang dirusak).
Dalam 2 tahun terakhir, kalangan masyarakat sipil kerap menyoroti beberapa kebijakan yang diterbitkan pemerintah dan DPR. Misalnya, revisi UU KPK, UU Minerba, dan terbitnya UU Cipta Kerja. Terbitnya, tiga UU itu diwarnai penolakan dari sejumlah elemen masyarakat. Terakhir, terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No.75 Tahun 2021 tentang Statuta UI.Â