Humanisasi merupakan sebuah proses menjadikan manusia menjadi manusia sesuai dengan kodratnya sebagai manusia. Dalam kamus ilmiah popular arti dari kata humanisasi adalah pemanusiaan / penerapan rasa prikemanusiaan, sedangkan humanisme adalah suatu doktrin yang menekan kepentingan kepentingan kemanusiaan dan ideal ( humanism pada masa renaissance berdasarkan atas peradabaan Yunani kuno, sedangkan humanism modern menekankan manusia secara eksklusif )
Dalam sebuah konteks sossial kehidupan sosok pendidikan yaitu Paulo Freire yang hidup ditengah tengah masyarakat amerika latin yang didaamnya berdiri suatu struktur piramida kerucut yang menandakan hirarki penindasan. Rakyat kebanyakan jatuh miskin, tertindas, serta menggantungkan diri pada kaum elit yang minoritas dan terlahir sebagai kelompok penindas,yang dimana kesadaran rakyat tenggelam dan saling menguntungkan diri, sehingga ketergantunghan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, ketergantunga ekonomis yang ditandai dengan terpusatnya modal baik secara kuantitatif maupun kualitatif di tangan sedikit orang saja, yakni kaum kelas bawah, kedua, ketergantungan kelas yang ditandai dengan polarisasi dua kelas dimana kelas satu bergantung dengan yang lain, ketergantungan kelas muncul sebagai akibat dari ketergantungan ekonomi (bansos, dll)
Dalam struktur masyarakat demikian, dengn mudah akan muncul suatu tatanan masyarakat yang vertical bersama pola relasi sosial yang memarjinalisasi, struktur social yang hirarkis beserta tendensi marginalisasi ini terjadi baik dalam keluarga maupun dalam sistem pendidikan. Kondisi seperti ini akan menjamin berlangsungnya penindasan dan tentu menguntungkan kaum peindas, akan tetapi kondisi masyarakan yang seperti itu jutru akan menghanyutkan masyarakat tertindas untuk menerima dan menghayati nilai-nilai tertentu yang mendukung atas ketertindasannya. Nilai nilai dan sikap taat, tunduk, patuh, menerima, miskin inisiatif, dan dogmatis tumbuh sangat subur dalam masyarakat demikian dan pada giliranya mengukuhkan watak fatalitis.
Larut dalam iklim penindasan yang massif dan tidak mempunyai partisipasi aktif dalam tiap tiap masalah yang muncul di tengah-tengah masyarakat dan terperangkap didalam nya, menurut istilah freire yakni, “ the culture of silence” atau kebudayaan bisu. Suatu kebudayaan yang merupakan ciri utama dari keterbelakangan masyarakat karena hak kuasa. Tatkala masyarat dalam ketakutan , para penguasa memperkuat kedudukanya dengan mengembangbiakkan mitos-mitos yang menumpulkan kesadaran kritis kaum tertindas, pada giliranya mitos-mitos ini menyebabkan rakyat menjadi takut akan kebebasan. Mereka melembagakan diri sebagai kaum tertindas yang dalam dirinya membentuk sikap yang turut memperkuat siasat-siasat licik kaum penindas tersebut. Pandangan-pandangan bahwa mereka tak tahu apa-apa, sama sekali tidaklah berguna. Akibatnya mereka buta akan realitas sosiaal yang sangat represif. Mereka meyakini bahwa kondisi mereka seperrti itu adalah yang semestinya terjadi dan karenanya pantas diterima. Dengan begitu kesadaran mereka lantas terdistorsi. Maka dari itu untuk mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk tuhan yang maha esa, serta mengakui persamaan derajat, persamaan hak, tanpa memandang atau membeda-bedakan suku, keturunan, keyakinan, jenis kelamin, dan kedudukan social adalah sebuah keharusan untuk mencapai sebuaah wadah yang adil da beradab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H