LEGALISASI MONEY POLITICS DI TENGAH MAHALNYA DEMOKRASI
Oleh: Agus Sjafari*
Beberapa waktu yang lalu jagat politik di Indonesia dikejutkan dengan wacana kontroversial dari Hugua, salah satu  anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDIP  yang mengusulkan adanya legalisasi money politics dalam rapat kerja Komisi II dengan KPI, Bawaslu, dan DKPP. Wacana tersebut pada dasarnya dapat dimaknai dalam 2 (dua) hal:
Pertama, Bahwa usulan tersebut mengandung keputusasaan dari calon kontestan pemilu atau pilkada dimana praktek politik uang yang terjadi selama ini memang sangat marak, massif dan tidak terkontrol. Para penyelenggara pemilu, mulai dari KPU, bawaslu, para aparat penegak hukum tidak mampu mengungkap bentuk money politics yang ditengarai terjadi secara brutal khususnya dalam pemilu 2024 yang lalu. Belum lagi money politics dalam bentuk penyalahgunaan kekuasaan atau aktivitas yang dikategorikan sebagai "pork barrel politics" (politik gentong babi) tidak dapat terungkap secara jelas di dalam pesta demokrasi kita ini. Kondisi seperti ini pada akhirnya menimbulkan kekecewaan bahkan keputusasaan dikarena aturan terkait biaya kampanye serta sumbangan biaya kampanye tidak dapat ditegakkan secara baik selama ini.
Kedua, Usulan tersebut dapat dimaknai sebagai aspirasi pragmatisme politik para elit politik yang memang menginginkan bahwa menjadi calon presiden, kepala daerah, anggota legislatif baik pusat maupun daerah memang membutuhkan biaya politik yang sangat besar. Riil politik menunjukkan sebagian dari masyarakat kita ditengarai suaranya "dapat dibeli" dengan politik uang. Dengan demikian hal tersebut dianggap oleh pengusul sangat perlu adanya legalisasi money politics tersebut.
Kedua makna di atas pada dasarnya merupakan problematika mendasar dalam praktek perpolitikan saat ini, dikarenakan persoalannya terjadi dari hulu ke hilir dengan kompleksitas yang sangat tinggi. Pragmatisme politik sudah menjadi penyakit akut, diibaratkan sebagai kanker ganas yang memerlukan tindakan amputasi atau operasi total. Dapat dibayangkan bahwa jika wacana money politics ini disetujui, maka calon pejabat eksekutif dan legislatif dari pusat sampai daerah hanya diisi oleh orang -- orang yang berduit. Kalaupun mereka sendiri yang tidak memiliki modal yang kuat maka ia akan di-backing oleh para "bohir politik" yang siap mendanai kegiatan pencalonannya, tentunya dengan kesepakatan tertentu yang saling menguntungkan ketika mereka terpilih nanti.
Usulan ini secara tidak langsung merendahkan dan melecehkan rakyat Indonesia dalam posisi yang tidak "melek politik" atau Masyarakat kita bodoh semuanya seakan -- akan semua suaranya dapat dibeli dengan uang. Secara substantial, hal tersebut akan menghancurkan pilihan demokrasi yang kita perjuangkan secara berdarah -- darah dalam perjuangan reformasi dulu.
Mencederai Demokrasi
Salah satu prinsip utama dalam demokrasi adalah fairness, dimana keadilan, kejujuran dan sportivitas sangat dijunjung tinggi dalam sebuah kompetisi politik. Semua orang yang memiliki kemampuan untuk memimpin memiliki hak yang sama untuk maju dalam kontestasi politik, baik yang tidak memiliki "gizi politik" yang banyak ataupun bagi mereka yang memiliki "gizi politik" yang melimpah sekalipun. Legalisasi money politics akan menghalangi seseorang yang sangat potensial untuk menjadi pemimpin di negeri ini untuk dapat merealisasikannya dikarenakan ia akan terhalang oleh kompetisi yang tidak fair dengan tidak adanya pelarangan terhadap money politics. Bagi mereka yang memiliki "gizi politik" yang berlimpah, maka ia akan meracuni rakyat dengan uang untuk "membeli suaranya".
Hal yang tentunya sangat tidak kita harapkan adalah bahwa rakyat kita secara tidak langsung diajarkan untuk "tamak" terhadap money politics. Mereka pada akhirnya tidak dapat berpikir jernih untuk menentukan pemimpin yang benar -- benar mampu menjadi pemimpin amanah dikarenakan calon pemimpin tersebut tidak memberikan sejumlah uang. Bagi masyarakat yang terdidik, praktek money politics sepertinya tidak begitu efektif. Namun bagi rakyat kebanyakan yang belum benar -- benar melek politik, Â praktek money politics masih dianggap efektif. Dengan kondisi seperti ini, maka para petualang politik akan berlomba -- lomba "menyirami" rakyat dengan sejumlah uang yang berlimpah. Di saat yang sama, rasionalisasi politik rakyat menjadi tidak normal lagi dengan hanya membandingkan berapa uang yang diberikan oleh para kandidat. Mereka tidak lagi berpikir kualitas personal kandidat yang bertanding, apalagi membandingkan program antar kandidat. Pikiran pendek rakyat yang telah teracuni oleh money politics tersebut akhirnya mereka memilih orang -- orang yang salah, yang tidak kapabel atau orang -- orang yang nantinya akan bermental korup. Kondisi seperti itupun sebenarnya bukan hanya para kandidat yang sebenarnya bermental korup, pada akhirnya rakyatpun secara tidak langsung diajarkan untuk bermental korup dikarenakan perilaku tamak terhadap money politics itu.
Mengapa Demokrasi Kita Mahal?
Mengutip pendapat Presiden terpilih Prabowo Subianto yang menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia melelahkan, berantakan, dan mahal. Statemen tersebut menunjukkan bahwa demokrasi kita saat ini sedang "sakit" menuju ke "sekarat". Mengapa demikian?, saat ini tidak ada satu pihakpun yang peduli dan benar -- benar ingin menjunjung tinggi demokrasi yang kita pilih dan sepakati bersama. Demokrasi kita justru dikotori dan diinjak -- injak dengan perilaku yang tidak terpuji termasuk di dalamnya maraknya money politics dan perilaku pork barrel politics. Tidak ada satupun pihak yang peduli untuk menegakkan demokrasi itu sendiri, semua pihak sepertinya merasa "tidak berdaya" untuk melawan berantakannya demokrasi kita itu. Saat ini sepertinya semua pihak mulai dari para elit pimpinan negara, elit politik, partai politik, penyelenggara pemilu, penegak hukum dalam sengketa pemilu itu sepertinya sedang bersenang -- senang "berenang di kolam demokrasi yang kotor" dan sama -- sama mengotori "kesucian" demokrasi itu sendiri.
Ketika kalangan kampus yang terdiri dari para guru besar, akademisi, dan para mahasiswa berteriak menyuarakan bahkan demokrasi kita sudah melenceng dari relnya, maka kalangan kampus juga dituduh sudah bermain politik praktis dan partisan. Akhirnya tesis yang mengungkapkan bahwa "politik itu kotor" sedikit -- demi sedikit menunjukkan kebenarannya dikarenakan sandaran berpolitik dan berdemokrasi kita memang sandaran demokrasi yang tidak beradab. Jika sandarannya adalah nilai demokrasi yang beradab, maka tidak akan pernah muncul ungkapan bahwa demokrasi kita itu mahal, berantakan dan melelahkan itu.
Pada dasarnya demokrasi itu suci, tidak mahal, tidak berantakan dan tidak melelahkan apabila semua pihak sama -- sama menjunjung tinggi esensi dari demokrasi itu sendiri. Wacana legalisasi money politics justru akan menyebabkan demokrasi itu semakin mahal, semakin berantakan dan semakin melelahkan. Karena logika yang dibangun adalah bahwa demokrasi itu dibangun dengan uang, siapa yang memiliki uang yang melimpah maka ia yang akan memenangkan pertarungan dalam kontestasi demokrasi itu. Logika ini yang perlu kita lawan bersama, agar martabat demokrasi kembali tumbuh dan tegak.
Praktek demokrasi kita saat ini diibaratkan dengan benang kusut yang kita tidak tahu harus menemukan ujung pangkal, artinya kita tidak tahu harus memulai dari mana untuk meluruskan benang kusut demokrasi kita itu. Secara normatif, guna untuk merajut kembali demokrasi itu harus dimulai dengan penegakan hukum dengan catatan dalam aturan hukum kenegaraan produk dari para politisi di senayan itu di dalamnya mengandung apa yang disebut oleh Prof Mahfud itu disebut dengan marwah hukum yaitu keadilan. Ketika proses pembuatan hukum di lembaga politik sudah dikuasai oleh kepentingan politik atau dikuasai oleh kepentingan oligarki maka marwah hukum yang disebut dengan keadilan itu tidak tampak, sehingga penegakan hukumpun akan sia -- sia.
Pada akhirnya spirit membangun demokrasi yang beradab itu tetap harus menyala, entah itu ditiupkan oleh pemimpin yang adil, partai politik yang berintegritas, elit politik yang peduli kepada rakyatnya, perjuangan moral dari kampus atau melalui perjuangan rakyat melalui gerakan reformasi atau revolusi sekalipun asalkan demokrasi yang beradab itu tetap tegak di republik ini.
Penulis adalah Dosen FISIP Untirta, Analis Masalah Sosial & Pemerintahan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H