Mengutip pendapat Presiden terpilih Prabowo Subianto yang menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia melelahkan, berantakan, dan mahal. Statemen tersebut menunjukkan bahwa demokrasi kita saat ini sedang "sakit" menuju ke "sekarat". Mengapa demikian?, saat ini tidak ada satu pihakpun yang peduli dan benar -- benar ingin menjunjung tinggi demokrasi yang kita pilih dan sepakati bersama. Demokrasi kita justru dikotori dan diinjak -- injak dengan perilaku yang tidak terpuji termasuk di dalamnya maraknya money politics dan perilaku pork barrel politics. Tidak ada satupun pihak yang peduli untuk menegakkan demokrasi itu sendiri, semua pihak sepertinya merasa "tidak berdaya" untuk melawan berantakannya demokrasi kita itu. Saat ini sepertinya semua pihak mulai dari para elit pimpinan negara, elit politik, partai politik, penyelenggara pemilu, penegak hukum dalam sengketa pemilu itu sepertinya sedang bersenang -- senang "berenang di kolam demokrasi yang kotor" dan sama -- sama mengotori "kesucian" demokrasi itu sendiri.
Ketika kalangan kampus yang terdiri dari para guru besar, akademisi, dan para mahasiswa berteriak menyuarakan bahkan demokrasi kita sudah melenceng dari relnya, maka kalangan kampus juga dituduh sudah bermain politik praktis dan partisan. Akhirnya tesis yang mengungkapkan bahwa "politik itu kotor" sedikit -- demi sedikit menunjukkan kebenarannya dikarenakan sandaran berpolitik dan berdemokrasi kita memang sandaran demokrasi yang tidak beradab. Jika sandarannya adalah nilai demokrasi yang beradab, maka tidak akan pernah muncul ungkapan bahwa demokrasi kita itu mahal, berantakan dan melelahkan itu.
Pada dasarnya demokrasi itu suci, tidak mahal, tidak berantakan dan tidak melelahkan apabila semua pihak sama -- sama menjunjung tinggi esensi dari demokrasi itu sendiri. Wacana legalisasi money politics justru akan menyebabkan demokrasi itu semakin mahal, semakin berantakan dan semakin melelahkan. Karena logika yang dibangun adalah bahwa demokrasi itu dibangun dengan uang, siapa yang memiliki uang yang melimpah maka ia yang akan memenangkan pertarungan dalam kontestasi demokrasi itu. Logika ini yang perlu kita lawan bersama, agar martabat demokrasi kembali tumbuh dan tegak.
Praktek demokrasi kita saat ini diibaratkan dengan benang kusut yang kita tidak tahu harus menemukan ujung pangkal, artinya kita tidak tahu harus memulai dari mana untuk meluruskan benang kusut demokrasi kita itu. Secara normatif, guna untuk merajut kembali demokrasi itu harus dimulai dengan penegakan hukum dengan catatan dalam aturan hukum kenegaraan produk dari para politisi di senayan itu di dalamnya mengandung apa yang disebut oleh Prof Mahfud itu disebut dengan marwah hukum yaitu keadilan. Ketika proses pembuatan hukum di lembaga politik sudah dikuasai oleh kepentingan politik atau dikuasai oleh kepentingan oligarki maka marwah hukum yang disebut dengan keadilan itu tidak tampak, sehingga penegakan hukumpun akan sia -- sia.
Pada akhirnya spirit membangun demokrasi yang beradab itu tetap harus menyala, entah itu ditiupkan oleh pemimpin yang adil, partai politik yang berintegritas, elit politik yang peduli kepada rakyatnya, perjuangan moral dari kampus atau melalui perjuangan rakyat melalui gerakan reformasi atau revolusi sekalipun asalkan demokrasi yang beradab itu tetap tegak di republik ini.
Penulis adalah Dosen FISIP Untirta, Analis Masalah Sosial & Pemerintahan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H