Mohon tunggu...
AGUS SJAFARI
AGUS SJAFARI Mohon Tunggu... Dosen - DOSEN FISIP UNTIRTA, KOLOMNIS, PEMERHATI MASALAH SOSIAL DAN PEMERINTAHAN

Mengajar, menulis, olah raga, dan seni khususnya main guitar dan nyanyi merupakan hoby saya.. topik tentang sosial, politik, dan pemerintahan merupakan favorit saya..

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politisasi "Amicus Curiae"

24 April 2024   12:59 Diperbarui: 24 April 2024   13:01 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

POLITISASI "AMICUS CURIAE"

Oleh: Agus Sjafari*

Istilah amicus curiae menjadi trending topic dalam perpolitikan kita saat ini khususnya dalam kurun waktu dua minggu terakhir. Semula publik awam dengan istilah tersebut, dikarenakan istilah tersebut merupakan istilah hukum yang hanya dipahami oleh kalangan yang belajar tentang hukum peradilan. Sejak Megawati juga mengajukan diri sebagai amicus curiae beberapa waktu yang lalu, maka istilah tersebut menjadi semakin familiar. Istilah amicus curiae dalam bahasa inggrisnya merupakan friends of the court (sahabat pengadilan), yang mana semua orang baik individu, kelompok, atau lembaga di luar dari pihak -- pihak yang berperkara dapat mengajukan dirinya sebagai amicus curiae ini. Pihak yang mengajukan diri sebagai amicus curiae ini memberikan pokok -- pokok pikirannya sebagai pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara, kebetulan dalam masalah ini terkait dengan perkara sengketa pilpres 2024 yang telah lewat.

Menjelang pembacaan putusan MK tentang sengketa pilpres pada minggu yang akan datang semakin banyak pihak yang ingin mengajukan dirinya sebagai amicus curiae ini. Data pertanggal 17 April berdasarkan informasi dari juru bicara MK sudah terdapat sebayak 22 pihak yang sudah mengajukan dirinya sebagai amicus curiae ini. Mungkin jumlah tersebut akan terus bertambah seiring dengan semakin dekatnya pembacaan putusan MK.

Perlu kita ketahui bersama bahwa sengketa pilpres 2024 ini tidak murni merupakan persoalan hukum semata, di dalamnya sarat dengan muatan politik yang sangat kuat. Dengan demikian pihak -- pihak yang mengajukan diri sebagai amicus curiae tersebut tidak semuanya steril dari kepentingan politik, meskipun dari beberapa pihak yang sudah mengajukan diri sebagai amicus curiae tidak memiliki kepentingan politik praktis melainkan murni untuk kepentingan penegakan hukum dan demokrasi pada masa yang akan datang misalnya pihak yang berasal dari kalangan kampus, kalangan budayawan, tokoh nasional yang memang tidak berafiliasi kepada kepentingan politik manapun.

Idealnya memang pihak yang mengajukan diri sebagai amicus curiae itu adalah orang -- orang yang tidak memiliki interest kepentingan politik praktis atau tidak memiliki keberpihakan kepada pasangan calon yang saat ini sedang bersengketa di pengadilan MK. Pihak -- pihak yang tidak terkait dengan pasangan calon yang sedang bersengketa itu antara lain dari kalangan partai pengusung, timses, kelompok relawan pendukung dan kalangan pendukung lainnya. Dengan demikian pokok -- pokok pikiran atau pandangan terkait dengan pertimbangan hukum yang disampaikan akan relatif lebih murni dan tidak sarat dengan kepentingan politik praktis. Pada dasarnya publik sangat berharap bahwa pihak -- pihak yang mengajukan dirinya sebagai amicus curiae adalah pihak -- pihak yang tidak terkait dengan pasangan calon yang berperkara di MK, dengan demikian pokok -- pokok pikirannya tersebut murni merupakan penambahan informasi, data dan fakta sebagai pertimbangan hukum serta penguatan dari perspektif lainnya seperti penguatan aspek etika, moral, sosiologis, serta aspek -aspek lainnya sebagai bahan pertimbangan para hakim MK di dalam memutuskan perkara sengketa pilpres tersebut.

Politisasi Elit dan Massa

Pengajuan Megawati sebagai amicus curiae memiliki beberapa aspek sekaligus yang berpengaruh di dalamnya. Pertama, Pokok -- pokok pikiran yang disampaikan Megawati dapat kita interpretasikan benar -- benar merupakan dukungan moral dan etis serta pemikiran hukum dengan maksud memberikan pengayaan informasi, data dan fakta bagi para hakim MK di dalam mengambil keputusan dalam sengketa pilpres 2024. Kedua, kehadiran Megawati sebagai amicus curiae merupakan sebuah dukungan politik atau back up politik apabila pada akhirnya para hakim MK mengambil keputusan yang berbeda dengan keputusan yang diinginkan oleh pemerintah dan paslon 02. Artinya Megawati sebagai simbol partai terbesar saat ini siap "pasang badan" untuk mendukung sepenuhnya dan memberikan "jaminan" kepada para hakim MK dari intervensi kekuasaan atau pasangan yang didukung kekuasaan saat ini. Ketiga, Kehadiran Megawati sebagai amicus curiae akan mengundang pihak -- pihak yang berseteru dalam pilpres dan kekuatannya dalam hal ini paslon 02 untuk berbondong -- bondong mengerahkan para tokohnya dan organisasinya untuk menjadi amicus curiae juga. Hal tersebut pada akhirnya akan membawa kepada suasana pengerahan massa atau show of force (unjuk kekuatan) dukungan secara besar -- besaran untuk menjadi amicus curiae. Kondisi tersebut tidak kita harapkan  dikarenakan keluar dari esensi dari amicus curiae itu sendiri.

Tontonan selanjutnya yang kemudian tampak ke publik adalah MK menjadi tempat pertarungan politik praktis yang berkedok kepentingan hukum. Hal ini yang tentunya akan mencoreng nama besar MK itu sendiri sebagai Lembaga peradilan yang sangat terhormat. Hal tersebut akan menjadi beban berat tersendiri kepada para hakim MK yang secara tidak langsung diintervensi secara politik dalam pengambilan keputusannya. Publik sangat tidak menginginkan bahwa kondisi tersebut menjadikan sesuatu yang kontraproduktif, yang pada akhirnya para hakim MK sama sekali tidak mempertimbangkan esensi dari pokok -- pokok pikiran dari para amicus curiae, dan pada akhirnya MK tidak berani untuk melakukan terobosan hukum dalam mengambil keputusan terkait perkara pilpres ini. MK pada dasarnya bukan lembaga politik, melainkan sebagai lembaga peradilan yang memutus perkara -- perkara politik yang memiliki perselisihan hukum guna mendapatkan kepastian hukum.

Amicus Curiae Bukan Penentu

Secara umum, landasan hukum yang dikaitkan sebagai dasar penerimaan konsep Amicus Curiae di Indonesia adalah Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) yang menegaskan bahwa "Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat".

Ketentuan tersebut memberi hakim kewajiban untuk menggali dan memperluas sumber informasi terkait perkara yang sedang diperiksa dan akan diputus. Banyaknya informasi yang diperoleh hakim diharapkan akan mendukung hakim bisa berpikir lebih terbuka, adil, dan bijaksana dalam memutus perkara. Amicus curiae menjadi salah satu sarana bagi hakim dalam memperoleh informasi terkait klarifikasi fakta atau prinsip-prinsip hukum, terutama jika kasus-kasus itu melibatkan berbagai peraturan perundang-undangan yang kontroversial dan perlu direformasi (Irene Amadea Rembeth et.al, 2023)

Khusus terkait dengan kasus pilpres, pada dasarnya hakim MK membutuhkan keluasan informasi, fakta dan data. Pihak amicus curiae menjadi salah satu pihak yang dijamin oleh undang -- undang dapat menjadi sumber informasi, data, dan fakta tersebut. Dengan demikian semakin banyak pihak yang menjadi amicus curiae, dimungkinkan informasi, data, dan fakta tentang perkara yang disengketakan tersebut menjadi lebih lengkap. Dengan demikian para hakim MK sudah memiliki informasi, data, dan fakta yang sangat lengkap, sehingga para hakim MK diharapkan memiliki padangan dan perspektif yang sangat luas di dalam mengambil keputusan yang "maha berat" ini. Dengan demikian tingkat efektifitas amicus curiae hanya pada tataran itu dan tidak boleh melebihi dari hal tersebut. Hakim pada dasarnya memiliki kemandirian, kejernihan berpikir, kekokohan hati, memiliki pertimbangan etika dan moral untuk memutuskan perkara sengketa pilpres tersebut terlepas dari intervensi politik.

Pengambilan keputusan terkait sengketa pilpres ini memiliki dimensi yang sangat luas serta implikasi yang sangat jauh ke depan. Beberapa implikasi dari hasil keputusan MK antara lain: pertama, bahwa keputusan MK memiliki implikasi hukum yaitu bersifat final and binding (final dan mengikat) artinya siapapun yang diputuskan menang dan kalah memiliki legalitas yang sangat kuat. Kedua, Keputusan MK ini akan menentukan masa depan demokrasi Indonesia pada masa yang akan datang, sehingga implikasi dari keputusan tersebut berimplikasi kepada demokrasi kita apakah menjadi semakin matang atau malah sebaliknya bahwa demokrasi kita berada pada titik nadir. Dan yang Ketiga, Keputusan MK akan meredakan konflik horizontal di masyarakat.

Pada akhirnya siapapun yang sudah bersedia sebagai amicus curiae adalah pihak -- pihak yang sudah memberikan warna tersendiri kepada sistem peradilan kita khususnya peradilan politik dalam hal ini sengketa pilpres. Kesemuanya itu merupakan pembelajaran hukum dan politik yang baik kepada semua pihak agar hukum dan demokrasi kita semakin dewasa.

*Penulis adalah Dosen FISIP Untirta & Pemerhati Masalah Sosial Pemerintahan        

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun