Mohon tunggu...
AGUS SJAFARI
AGUS SJAFARI Mohon Tunggu... Dosen - DOSEN FISIP UNTIRTA, KOLOMNIS, PEMERHATI MASALAH SOSIAL DAN PEMERINTAHAN

Mengajar, menulis, olah raga, dan seni khususnya main guitar dan nyanyi merupakan hoby saya.. topik tentang sosial, politik, dan pemerintahan merupakan favorit saya..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

"Ferienjob" dan Nasib Magang Merdeka

23 April 2024   06:48 Diperbarui: 23 April 2024   16:45 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Agus Sjafari

Implementasi Program MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) khususnya terkait dengan program magang ternodai dengan adanya 1.047 mahasiswa yang berasal dari 33 universitas di Indonesia yang diberangkatkan ke Jerman untuk mengikuti program magang ferienjob yang terperangkap dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Magang ferienjob adalah kerja paruh waktu dalam masa libur perkuliahan bukan kerja magang, artinya ferienjob adalah bagian dari job market. Jenis pekerjaan yang dilakukan adalah jenis pekerjaan yang pada umumnya termasuk pekerjaan yang mengandalkan tenaga fisik, misalnya mengangkat kardus logistik, packing barang untuk dikirim, mencuci piring di restoran, atau menangani koper di bandara (porter).

Dengan penjelasan tersebut sudah sangat clear bahwa kegiatan magang ferienjob bukan merupakan kegiatan akademik apalagi dihubungkan dengan kegiatan magang MBKM yang selama ini dilaksanakan di Indonesia.

Pertanyaan yang paling mendasar adalah adakah yang salah dengan program kegiatan magang ferienjob tersebut?. Jawabannya tentunya tidak ada yang salah dengan program magang tersebut. Ferienjob diatur dalam Pasal 14 ayat (2) Ordonansi Ketenagakerjaan Jerman (Beschftigungsverordnung/BeschV) yang menyatakan bahwa Ferienjob dilakukan hanya pada saat "official semester break" atau libur semester yang resmi.

Meskipun sudah diatur sedemikian rupa, namun program tersebut tetap saja memiliki potensi besar untuk disalahgunakan oleh perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan para mahasiswa untuk bekerja paruh waktu, dikarenakan antara perusahaan atau lembaga pemberi pekerjaan paruh waktu tersebut tidak memiliki keterikatan legal yang kuat secara resmi dengan pekerja dalam hal ini mahasiswa. Oleh karena ini hal tersebut dimanfaatkan oleh calo atau penyalur tenaga kerja tersebut kepada beberapa perguruan tinggi khususnya beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Penyedia tenaga kerja paruh waktu tersebut ingin mendapatkan keuntungan yang besar dengan mengeksploitasi tenaga kerja mahasiswa tersebut.

Program magang ferienjob yang selama ini berjalan pada dasarnya tidak bermasalah, dan bagi mahasiswa yang memang membutuhkan uang saku tambahan baik itu yang berasal dari negara uni eropah ataupun dari luar uni eropah merupakan program magang yang normal dan sudah berjalan lama. Hal yang justru menjadi masalah belakangan ini adalah bahwa implementasi dari program ferienjob diselewengkan.

Pemberlakuan program MBKM khususnya program magang dipandang oleh calo atau penyalur tenaga kerja sebagai peluang dan pintu masuk untuk mendapatkan tenaga kerja mahasiswa sebanyak mungkin guna memenuhi kebutuhan tenaga kerja informal yang ada di kota-kota di Jerman. Dengan cara memanipulasi penawaran program magang menjadi kegiatan akademik dalam bentuk program magang MBKM inilah yang akhirnya berujung pada Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Di sinilah dibutuhkan adanya kejelian pihak perguruan tinggi untuk mencermati track record dari penyalur dari program magang ferienjob tersebut dan juga perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja mahasiswa tersebut.

Pengiriman mahasiswa Indonesia ke luar negeri dalam program magang atau praktek bekerja memiliki tingkat resiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengiriman pertukaran mahasiswa antar perguruan tinggi. Beberapa permasalahannya adalah sebagai berikut:

Pertama, Pengiriman mahasiswa dalam program magang atau praktek bekerja paruh waktu tersebut kerja samanya bukan antara universitas di Indonesia dengan universitas yang ada di luar negeri (U to U) melainkan antara universitas yang ada di Indonesia dengan perusahaan penyedia pekerja paruh waktu, bahkan dalam kasus tertentu kerja samanya ada juga yang melalui agen, penyalur atau calo. Hal yang perlu menjadi perhatian adalah bonafiditas perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja paruh waktu serta bonafiditas agen penyalur tenaga kerja paruh waktu tersebut.

Kesemrawutan terkait dengan masalah ini tidak ubahnya seperti yang terjadi pada pengiriman TKI kita ke luar negeri selama ini. Bedanya adalah kalau TKI adalah tenaga kerja yang tidak berpendidikan (uneducated people), sedangkan untuk pengiriman tenaga kerja paruh waktu adalah mahasiswa tergolong sebagai orang yang terdidik (well educated people).

Kedua, Persoalan selanjutnya berkaitan dengan keamanan mahasiswa kita dalam menjalankan pekerjaan paruh waktu tersebut. Keamanan dalam hal ini berkaitan dengan dua hal, yaitu keamanan fisik masing-masing mahasiswa kita dan juga keamanan finansial mahasiswa kita tersebut.

Keamanan secara fisik tersebut terkait dengan dimana mahasiswa kita itu tinggal, serta apakah perusahaan penyedia tenaga kerja paruh waktu tersebut memang mau menyediakan tempat tinggal secara gratis atau berbayar. Yang paling tragis berkaitan dengan keamanan finansialnya apabila honornya tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau dikenakan potongan macam-macam.

Belum lagi persoalan apabila mahasiswa yang kita kirimkan bermasalah dengan perusahaan penyedia dikarenakan kurang profesional atau perbedaan kultur dan bahasa yang mereka hadapi. Artinya program pengiriman tenaga paruh waktu bagi mahasiswa kita ini memiliki persoalan-persoalan yang sangat kompleks yang sebelumnya harus diselesaikan terlebih dahulu dan sangat rentan untuk disalahgunakan.

Menyelaraskan Misi dan Ambisi

Program merdeka belajar yang selama ini dilaksanakan dalam beberapa tahun terakhir ini memacu setiap perguruan tinggi untuk berkompetisi mengirim mahasiswa untuk mendapatkan pengalaman belajar di luar program studinya dan universitasnya.

Salah satu pemicunya adalah setiap aktivitas program merdeka belajar tersebut terdokumentasi dalam penilaian IKU (Indikator Kinerja Utama) masing-masing perguruan tinggi yang dikompetisikan secara nasional, dimana pemenangnya mendapatkan dana insentif hibah guna peningkatan kinerja perguruan tinggi.

Dengan kebijakan yang demikian itu setiap perguruan tinggi berlomba-lomba untuk meningkatkan nilai IKU-nya dengan tujuan untuk mendapatkan dana insentif tersebut.

Salah satu penilaian yang tergolong tinggi adalah apabila perguruan tinggi mampu bekerja sama dan mengirimkan mahasiswanya yang berkegiatan di luar negeri, apalagi kalau kerja samanya tersebut dengan Perusahaan atau perguruan tinggi ternama yang tergolong 100 top ranking dunia.

Adanya penawaran kegiatan magang seperti program ferienjob ini merupakan penawaran yang sangat menarik minat beberapa perguruan tinggi untuk mengikutinya, selain prosedurnya mudah dan bisa mengirimkan mahasiswa dengan jumlah yang cukup besar.

Selanjutnya dalam kasus ini berlaku hukum ekonomi, dengan adanya peluang yang besar dengan adanya program kampus merdeka tersebut memicu permintaan yang tinggi dari beberapa perguruan tinggi, maka hal tersebut dijadikan sebagai "pasar yang empuk" bagi agen-agen atau penyalur yang nakal untuk memperdaya beberapa perguruan tinggi yang untuk mengikuti program ferienjob ini.

Hal yang justru sangat memprihatinkan adalah kekurangjelian perguruan tinggi di dalam mencermati program ferienjob ini. Hal yang sangat prinsip di dalam melihat program ferienjob ini adalah keterkaitan dengan muatan akademik yang ada dalam program tersebut.

Ditilik dari praktik kerjanya, jelas bahwa praktik kerjanya sama sekali tidak bermuatan akademik sehingga sangatlah tidak rasional kegiatan tersebut dapat dikonversi dengan 20 SKS setara dengan kegiatan satu semester. Program ferienjob ini lebih cocok diikuti oleh mahasiswa yang belajar di negara Jerman dan sekitarnya, dimana mahasiswanya membutuhkan uang tambahan guna memenuhi kebutuhan hidupnya selama belajar di negara tersebut dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan kegiatan akademik.

Sebagai penutup dalam tulisan ini, setidaknya ada beberapa hal yang dapat disarankan.

Pertama, Kemendikbudristek perlu membuat rambu-rambu teknis magang terutama magang internasional yang di dalamnya berisi tentang jenis kegiatan magang yang diperbolehkan serta perusahaan tempat magang yang dipersyaratkan dalam kegiatan magang internasional tersebut.

Kedua, bagi pihak perguruan tinggi perlu ada kejelian yang sangat tinggi menilai kelayakan agen dan perusahaan penyedia tenaga kerja bagi mahasiswa yang memang memiliki korelasi dengan kegiatan akademik dengan menilai terlebih dahulu CPL (capaian pembelajaran) yang akan didapat oleh anak didik mahasiswanya setelah mengikuti kegiatan magang tersebut.

Hal yang terpenting lainnya adalah setiap perguruan tinggi yang mengirimkan mahasiswanya dalam kegiatan magang internasional harus memastikan keamanan setiap mahasiswanya dengan mengontrol, memonitor, serta melakukan evaluasi secara berkala kegiatan mahasiswanya di luar negeri tersebut sehingga kegiatan tersebut sesuai dengan tujuan utamanya dan tidak menimbulkan masalah nasional yang mengarah kepada tindakan criminal seperti TPPO tersebut.

*Penulis adalah Dosen FISIP Untirta & Pemerhati Masalah Sosial Pemerintahan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun