Mohon tunggu...
AGUS RAKHMAT MULYANA
AGUS RAKHMAT MULYANA Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Berprofesi sebagai seorang pengajar di salah satu madrasah selama kurang lebih 20 tahun. Sejak awal kuliah memiliki hobi menulis, beberapa tulisan sempat terbit di media lokal dengan fokus tulisan pada bidang pendidikan, sosial dan budaya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Paradigma Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai Ruhaniah, Nilai-Nilai Kearifan Lokal, dan Nilai-Nilai Kebangsaan

23 Oktober 2023   08:39 Diperbarui: 23 Oktober 2023   08:55 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Paradigma Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai Ruhaniah, Nilai-Nilai Kearifan Lokal, dan Nilai-Nilai Kebangsaan Sebagai Landasan Konsep Pendidikan Kekinian

Era mileneal atau era industri 4.0 yang sedang kita jalani hari ini disadari atau tidak telah memunculkan dua dimensi yang satu sama lain saling bertentangan. Disatu sisi banyak hal manfaat dan kemudahan yang kita rasakan, tapi dilain sisi muncul hal baru diantaranya berupa krisis multi dimensional, diantaranya krisis/degradasi moral dan krisis/penurunan kualitas lingkungan.

Hal tersebut diatas adalah hal yang tak bisa dibantah sebagai sebuah  realitas yang sesegera mungkin memerlukan sebuah problem solving (pemecahan masalah), dengan harapan kehidupan umat manusia di dunia ini, bisa lebih hidup dan bermakna. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk pemikir dituntut untuk tiada henti dan tanpa lelah mencari sebuah formula baru yang lebih tepat guna dan berdaya guna terkait dengan problem yang sedang dan akan dialami umat manusia dimasa yang akan datang. Sebagai solusi alternatif, dengan tegas kita berkeyakinan bahwa pendidikan adalah solusinya. Namun, pertanyaannya adalah konsep atau formula pendidikan yang seperti apa dan bagaimana yang setidak-tidaknya mampu menjawab segala bentuk kegelisahan manusia saat ini? inilah yang menjadi pekerjaan rumah yang berat dan rumit bagi manusia itu sendiri, untuk mendapatkan jawaban atas problematika kehidupan umat manusia di dunia.

Berawal  dari pemahaman yang sederhana  bahwa pendidikan adalah sebuah misi suci untuk menghidupkan kembali jiwa-jiwa manusia yang telah terkontaminasi oleh berbagai anomali kehidupan dan menghidupkan atau mengingatkan  jiwa-jiwa yang secara sadar telah meninggalkan atau melupakan pesan-pesan yang bersifat transendental pada masing-masing keyakinan yang dianutnya. Harapan idealnya adalah pendidikan ini mampu mengembalikan fitrah manusia sebagai pemegang mandat penuh atas alam semesta dan segala isinya ini, dengan tugas dan kewajiban untuk mampu membangun sebuah peradaban kehidupan yang lebih beragama, beradab, berbudaya, bermoral, dan beretika sesuai dengan sumber hukum primer dan sekunder pada masing-masing agama yang diyakininya, baik itu secara eksplisit maupun implisit.

Mencari atau menemukan sebuah konsep atau formula pendidikan yang ideal memerlukan proses kerja yang sangat panjang. Berbagai studi komparatif perlu terus dilakukan tanpa mereduksi nilai -- nilai yang telah ada. Seperti halnya, nilai-nilai religius, nilai-nilai yang berbasis kearifan lokal atau nilai-nilai kebangsaan (bangsa Inonesia) yang berfungsi sebagai penyeimbang. Proses dan struktur berpikir yang berbasis teologis, filosofis dan atau nilai-nilai moral budaya bangsa harus menjadi landasan utama dalam hal pengambilan setiap kebijakan dan keputusan, terkait dengan pendidikan tersebut.

Tradisi dan hegemoni pemikiran barat jangan sampai terlalu mendominasi ruang berpikir kita dan merasuk pada setiap lini dan aktivitas kehidupan. Kita jangan merasa bangga menyampaikan atau mengaplikasikan ide atau gagasan mereka, meskipun hal tersebut diperoleh atau diterima tanpa melalui proses berpikir kontemplasi (perenungan) yang sistematis dan radikal. Memang, ruang berpikir atau ruang intelektual manusia pada hakikatnya tidak pernah dibatasi, karena itu merupakan esensi dan kewajiban manusia untuk secara kontinu memikirkan segala bentuk fenomena yang ada atau terjadi di alam semesta ini. Namun, lagi-lagi manusia juga harus memiliki filter yang memadai melalui tahap-tahap proses kerja ilmiah rasional yang telah disyaratkan oleh dunia dan alam pemikiran.

Perdebatan alam pemikiran berupa ide atau gagasan idealnya menghasilkan sebuah sintesa yang mampu melahirkan konsep-konsep baru yang lebih bermakna dan tentunya menghadirkan situasi dan kondisi yang berimbang. Pemikiran barat yang didominasi dengan dimensi sains seharusnya hanya dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam proses pengambilan keputusan atau kebijakan dengan konsep pemikiran yang kita miliki dan diyakini hari ini yaitu konsep dan pemikiran yang didominasi dengan nilai-nilai ruhaniah (bathiniah) dan nilai-nilai kearifan lokal.

Realitanya adalah agen-agen pemegang dan pembuat kebijakan dalam hal ini yang berkaitan dengan dunia pendidikan telah memunculkan problem baru, sehingga dunia pendidikan ini semakin rumit dan kompleks saja masalahnya. Mereka dengan sadar atau tidak sadar telah mereduksi nilai- nilai religius dan nilai-nilai ketimuran yang telah diwariskan oleh para leluhur kita. Dan yang terjadi adalah ada gap atau jarak yang menganga antara kompetensi keduniawian dengan kompetensi ruhaniah. Idealnya proses pengambilan keputusan atau kebijakan lebih bersifat kolaboratif, artinya setiap keputusan atau kebijakan yang dihasilkan merupakan kolaborasi yang mendalam yang melibatkan berbagai konsep atau ide pemikiran dari berbagai sudut pandang atau ide-ide pemikiran dari kalangan barat sekalipun.

Dalam konteks ke-Indonesiaan, dunia pendidikan kita belum sepenuhnya menggunakan paradigma berpikir yang berimbang, lebih cenderung memunculkan sisi-sisi keduniawian yang berakar dari pemikiran-pemikiran barat. Sebagai contoh, kurikulum pendidikan yang kita pergunakan khususnya dalam ranah pendidikan dasar dan menengah lebih dominan hal-hal yang bersifat praksis, peserta didik didorong untuk menguasai kecakapan/skill yang masih berorientasi keduniawian semata. Realitas tersebut alangkah bijaknya menjadi bahan pemikiran untuk merekontruksi kembali konsep pendidikan yang ada sekarang ini.

Studi ilmiah dengan fondasi konsep teologis, filosofis dan nilai-nilai kebangsaan perlu terus dibangun dan ditumbuh kembangkan dalam berbagai forum atau diskursus. Intinya, konsep pendidikan nanti idealnya harus berorientasi pada esensi tujuan hidup manusia yang berdimensi pada dunia realitas dan dunia keabadian. Pandangan atau paradigma teologis, filosofis, landasan --landasan ilmiah dan nilai-nilai kebangsaan termasuk di dalamnya nilai-nilai kearifan lokal berkolaborasi atau duduk bareng secara ilmiah kritis dan radikal sesuai dengan tupoksi dan kapsitasnya masing-masing. Semuanya bekerja bersama-sama untuk menganalisis secara kritis dan komprehensif untuk menghasilkan suatu konsep baru tentang bagaimana seharusnya proses pendidikan ini diselenggarakan dan dilaksanakan dalam kehidupan umat manusia.

Kajian ilmiah yang berakar dari paradigma ataupun konsep berpikir kritis dan rasional tersebut natinya bersifat konvergen, artinya bertitik temu pada sebuah konsep baru yang humanis, religius, aplikatif, adaptif-fleksibel (dengan tetap mengikuti perkembangan zaman), populis dan tentunya diperkaya dengan nilai-nilai ruhaniah serta nilai-nilai moral. Semoga...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun