Sengkuni, sosok licik dalam pewayangan, seringkali dipandang sebagai tokoh masa lalu yang jauh dari realitas kita. Namun, di balik topeng wayang kulit dan kisah-kisah epik, karakteristik Sengkuni ternyata masih sangat relevan dengan dinamika kehidupan modern.
Haryo Kemampuannya memanipulasi, intrik yang rumit, dan haus akan kekuasaan adalah cerminan dari berbagai perilaku yang masih kita temui dalam interaksi sosial, politik, bahkan dalam lingkungan kerja sehari-hari.
 Sengkuni mengajarkan kita betapa pentingnya memahami sisi gelap psikologi manusia, seperti narsisme dan Machiavellianisme (kepribadian yang menghalalkan segala cara atas ambisinya yang harus terwujud), yang masih relevan dengan berbagai gangguan kepribadian dalam konteks psikologi modern.Â
Melalui lensa Sengkuni, kita dapat melihat betapa relevannya kisah pewayangan dengan realitas kehidupan kita yang kompleks, terutama dalam era informasi yang serba cepat, di mana hoaks dan propaganda mudah menyebar.Â
Pernahkah Anda merasa menjadi korban manipulasi? Atau mungkin, tanpa sadar, Anda telah melakukan hal yang sama pada orang lain? Sosok Haryo Sengkuni, sang dalang di balik perang Bharatayudha, menawarkan sebuah cermin bagi kita untuk merenungkan sifat manusia yang kompleks
Dalam pewayangan, Sengkuni dikenal sebagai dalang di balik perang Bharatayudha. Ia dengan lihai memainkan emosi dan ambisi para tokoh utama, hingga akhirnya memicu perang besar yang mengakibatkan banyak korban jiwa.
Di era digital, intrik dan manipulasi juga marak terjadi, namun dalam bentuk yang berbeda. Berita bohong (hoax), kampanye hitam, dan perang opini di media sosial adalah beberapa contoh nyata bagaimana manipulasi dapat merusak hubungan antar individu bahkan antar negara. Sengkuni versi modern ini bisa berupa individu, kelompok, atau bahkan algoritma yang dirancang untuk menyebarkan informasi yang menyesatkan.
Dari sudut pandang psikologi, karakter Sengkuni merupakan representasi klasik dari individu dengan kepribadian manipulatif. Individu seperti ini seringkali memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, memungkinkan mereka untuk dengan mudah membaca emosi dan pikiran orang lain. Kemampuan ini, alih-alih digunakan untuk membangun hubungan yang sehat, justru dieksploitasi untuk keuntungan pribadi.Â
Sengkuni mahir dalam mengidentifikasi kelemahan orang lain, baik itu ketidakamanan, ambisi, atau kerentanan emosional, dan dengan cerdik memanfaatkannya untuk mencapai tujuannya. Ia juga pandai dalam memanipulasi persepsi orang lain, membuat mereka percaya pada narasi yang ia ciptakan. Fenomena ini sering disebut sebagai gaslighting, di mana seseorang secara sistematis membuat korbannya meragukan realitas dan persepsinya sendiri.Â
Selain itu, Sengkuni juga menunjukkan tanda-tanda narsisme, di mana ia memiliki pandangan yang sangat tinggi tentang dirinya sendiri dan merasa berhak untuk mendapatkan apa pun yang ia inginkan, tanpa menghiraukan perasaan orang lain.
Kisah Sengkuni menyajikan pelajaran mendalam tentang dinamika relasi antar manusia dan bahaya manipulasi. Pilihan teman dan mitra yang bijaksana menjadi krusial, mengingat pengaruh kuat lingkungan sosial terhadap perilaku kita.
Sengkuni mengajarkan kita untuk waspada terhadap individu yang gemar menabur benih perpecahan dan memanfaatkan kelemahan orang lain. Selain itu, dalam era informasi yang serba cepat, kita dituntut untuk memiliki kemampuan berpikir kritis agar tidak mudah terjebak dalam pusaran hoaks dan propaganda, yang seringkali digunakan sebagai alat manipulasi.Â
Ambisi yang tidak terkendali, seperti yang ditunjukkan oleh Sengkuni, dapat mengaburkan batas moral dan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan yang merugikan orang lain. Kisah ini juga mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara ambisi pribadi dan nilai-nilai kemanusiaan
Tokoh Sengkuni tidak hanya terbatas pada dunia pewayangan, tetapi juga telah menjadi inspirasi bagi para kreator di berbagai bidang. Ia telah diadaptasi ke dalam berbagai bentuk media, mulai dari film, novel, hingga video game. Popularitas Sengkuni yang abadi ini menunjukkan bahwa karakternya memiliki relevansi yang sangat tinggi dengan kondisi manusia.Â
Sengkuni menjadi simbol dari sisi gelap manusia, yaitu ambisi yang tak terkendali, manipulasi, dan intrik.Â
Melalui berbagai interpretasi, karakter ini terus dieksplorasi dan diadaptasi untuk mencerminkan isu-isu kontemporer. Hal ini menunjukkan bahwa kisah Sengkuni bukanlah sekadar dongeng masa lalu, melainkan sebuah cerminan dari kompleksitas manusia yang terus relevan dari generasi ke generasi
Meskipun berasal dari zaman yang berbeda, kisah Sengkuni tetap relevan hingga saat ini. Karakteristik licik dan manipulatif yang dimilikinya masih sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memahami karakter Sengkuni, kita dapat lebih waspada terhadap manipulasi dan intrik yang ada di sekitar kita. Selain itu, kisah Sengkuni juga dapat menjadi bahan refleksi bagi kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Nah, di era digital ini, jika beradu antara Sengkuni vs Algoritma: Siapa yang Lebih Licik?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H