Hari itu, langit di atas Jakarta berwarna kelabu, seolah menggambarkan kegelisahan yang merayap di hati bangsa. Kapten Arjuna berdiri di geladak KRI Bima Suci, pandangannya menerawang jauh ke cakrawala yang tak bertepi. Laut China Selatan yang tenang, bagaikan cermin besar yang menyimpan misteri, menyembunyikan ancaman yang tak terlihat namun sangat nyata.
"Bersiaplah, kita akan segera memasuki wilayah yang diperebutkan," katanya dengan nada penuh keyakinan kepada anak buahnya. Pulau-pulau kecil di sekitar Natuna, ibarat permata Nusantara, merupakan bagian tak terpisahkan dari wilayah Indonesia. Namun klaim yang tumpang tindih dengan negara-negara tetangga telah menciptakan ketegangan yang kian hari kian memuncak. Pemerintah Indonesia telah memerintahkan patroli rutin untuk memastikan kedaulatan tidak dilanggar.
Saat matahari terbenam, warna jingga keemasan menyelimuti laut, KRI Bima Suci menyelam ke kedalaman samudera. Kapal selam canggih ini, dilengkapi teknologi terbaru, beroperasi dalam keheningan yang mendalam.
"Kita harus waspada," ujar Letnan Lestari, ahli kelautan yang ditugaskan untuk memantau aktivitas bawah laut. "Menurut laporan intelijen, ada pergerakan kapal asing di sekitar terumbu karang."
Kapten Arjuna mengangguk, matanya tajam menatap layar sonar. "Kita tidak boleh lengah. Kedaulatan kita dipertaruhkan."
Malam itu, suara sonar menangkap kehadiran kapal asing yang bergerak mendekat. Kapten Arjuna memerintahkan untuk naik ke permukaan. Di kejauhan, siluet kapal perang besar dengan bendera negara asing tampak samar di bawah sinar bulan.
"Komunikasikan dengan mereka," perintahnya, suaranya tenang namun tegas.
"Ini adalah wilayah perairan Indonesia. Anda tidak memiliki hak untuk berada di sini," suara Kapten Arjuna terdengar di radio, menggema seperti mantra pelindung.
Balasan datang cepat, "Kami hanya menjalankan patroli rutin. Tidak ada niat untuk mengganggu."
Namun, ketegangan sudah terlanjur meninggi. Kedua pihak saling memandang dengan curiga, seperti dua ksatria yang siap bertarung, di mana setiap gerakan bisa memicu konflik terbuka. Anak buah Kapten Arjuna terus mengamati setiap gerak-gerik kapal asing itu, memastikan mereka siap menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu, di Jakarta, Presiden berdiskusi dengan para menterinya. "Kita tidak bisa membiarkan hal ini terus berlanjut. Kedaulatan kita harus dipertahankan," kata Presiden dengan tegas, suaranya menggema dalam ruang rapat yang hening.