Kebijakan New Normal mulai ramai diwacanakan WHO (World Health Organization), Kepala negara sampai lembaga negara untuk mencoba menata cara hidup normal baru tersebut. Sebut saja Kementerian Agama dan akan menyusul minggu depan Kementerian Pendidikan. Sedangkan data periodik harian kasus Covid-19 selama 1-2 pekan akhir mei lalu lebih tinggi dari pekan-pekan sebelumnya.
Kebijakan "New normal" banyak menuai kontroversi khususnya mengenai kesiapan dan waktu penerapan. Meskipun suatu saat kita berharap hidup normal dengan gaya baru tetapi beberapa hal penting mendasar dan berbasis data ilmiah atau ilmu sudah seharusnya menjadi pertimbangan para generasi yang berilmu beradab dan beragama.Â
Tantangan lain dalam rekayasa data kesehatan maupun data sosial badai Hoax ulah para haters, likers, dan followers untuk kepentingan pribadi dan kelompok, ikut mewabah ke kalangan para ilmuan/cendekiawan, tokoh masyarakat bahkan tokoh agama diera teknologi saat ini.Â
Ternyata wabah hoax (berita bohong) menambah polemik rekayasa perilaku kesehatan termasuk saat pengendalian wabah menular Covid 19. Perbedaanya kalau Covid 19 menular lewat kontak fisik dan kontak droplet tapi kalau hoax, tidak akan terpengaruh meskipun kita jaga jarak ratusan meter, pakai masker dan cuci tangan pakai sabun/handsanitizer.
Seakan rekayasa sosial ala virtual menjadi tantangan tersendiri. Mulai dari Ormas hingga akademisi mencoba memberikan pemahaman New Normal berserta syaratnya. Jika sebaran epidemiologi info Hoax dibuat infografis seperti sebaran epidemiologi penyakit Covid-19 maka akan terlihat daearah mana dan kelompok mana yang paling banyak termakan info hoax Covid-19 atau berita bohong lainya yang bisa mempengaruhi penanggulangan Covid-19. Hal ini penting untuk bisa fokus mengendalikan kelompok yang mudah tertular wabah Hoax.
Sudah 3 bulan berlalu, kasus baru Covid 19 baik yang positif, sembuh dan meninggal masih saja bertengger dipuncak sesekali turun sedikit dan kembali naik lagi. Tapi hingga kini kita belum melihat publikasi di media berapa sampel yang di uji per harinya dari Laboratorium PCR di tiap Provinsi apalagi data di tiap per Kab/Kota. Meskipun saya yakin data itu ada dibalik layar laboratorium dan pemerintah daerah masing-masing sebagaimana yang tampil dalam infografis harian laman nasonal covid.19.go.id.
Kita dipaksa harus siap new normal meskipun kondisi data nihil, sedikit atau banyaknya kasus baru Covid-19 tidak disandingkan dengan data ada tidaknya sampel swab PCR yang diperiksa per hari. Sehingga tidak adanya kasus dengan kemungkinan tidak adanya sampel yang diuji karean panjangnya antrian. Apalagi ada Provinsi yang pernah mempublikasikan bahwa sampel rapid banyak yang mengalami kondisi tidak valid/rusak. Tidak hanya itu kita pun dipaksa harus memahami bahwa perbedaan data kasus Covid 19 di pusat dan daerah itu tidak menjadi persoalan. Semoga keterpaksaan ini menimbulkan efek positif bagi publik, penguasa dan pemain data .
 jika mau dicermati masalah perkembangan data Covid-19 kita yang dipublikasi dilaman resmi Pemerintah Pusat dan Daerah masih saja tidak seragam dan menimbulkan kebingungan publik bahkan sampai 30 Mei 2020. Sebagai contoh data kasus positif Provinsi Kalimantan Barat di laman resmi pemerintah pusat covid.19.go.id tertulis 133 kasus positif, tapi di laman resmi Covid-19 Provinsi Kalimantan Barat tertulis 184 kasus positif. Artinya data Kalbar di laman resmi Covid19.go.id hilang 51 kasus.
Jika basis data resmi sebagai bahan yang akan dikomunikasikan dan digunakan untuk dasar kebijakan Rekayasa  "New Normal" masih belum satu suara, masih belum seragam dan belum terlihat normal (validitasnya diragukan), bagaimana mungkin rekayasa data sosial akan berharap dengan hasil baik jika tidak ada kontrol informasi dan data yang baik secara sosial/publik.
Perubahan atau inkonsistensi data menggunakan kategori tingkatan warna yang sama untuk kategori zona daerah di infografis data Covid-19 menjadi bukti pemerintah mulai mengubah data atau menggunakan konsep rekayasa data dengan membuat kategori baru tingkatan zona (hijau terendah dan merah tertinggi) di daerah. Dimana Zona itu menjadi dasar ditetapkanya "new normal". Berikut gambar perubahan kategori zona dalam waktu data covid 19 31 maret- data covid 19 per 30 april 2020 dan data 30 mei 2020.
 Semoga bulan depan Pemerintah tidak tiba-tiba mengubah kriteria semua provinsi jadi zona hijau semua, sebagaimana perjalanan data 3 bulan selama ini yang telah merakayasa kriteria zona meskipun angka terus bertambah.
Rekayasa itu cenderung terlihat mengarahkan untuk semakin menurunkan tingkat status kedaruratan daerah meskipun kasus baru positif dan kematian perhari terus bertambah. Dengan kata lain semakin mengarahkan untuk menganggap aman (normal) meskipun kasus bertambah terus. Mungkin ini definisi "New Normal" jika ditinjau dari sisi data.
Sebelumnya bukti infografis di laman resmi gugus tugas nasional covid19.go.id per 30 maret-April 2020 disebut Zona hijau (terendah) jika tidak ada kasus konfirmasi positif Covid 19, Zona kuning 1-5 kasus, dan zona tertinggi warna merah  jika kasus lebih dari 50 kasus (>50), tapi ketika 30 mei 2020 infografis sudah berubah dan menunjukan warna hijau jika kasus Covid 19 diantara 1-100 kasus dan masuk jadi zona merah (tertinggi) jika kasus mencapai >2000 (lebih dari dua ribu).
Tapi menariknya ketika kita lihat kategori zona dilayah data Kementerian Kesehatan ternyata juga tidak sama dengan kategori zona yang ada dilaman covid19.go.id. Meskipun data itu dalam waktu yang sama (30 mei 2020) dan sama-sama lembaga negara tingkat nasional yang punya kuasa dibidang kesehatan dan Covid 19. Terlihat dalam infografis yang dipublikasikan via Instagram dengan akun Pusdatin Kemkes (gambar 1 diatas) terlihat zona merah tertinggi jika mencapai 1000 lebih (>1000) kasus konfirmasi positif.Â
Semoga beberapa kelebihan dan kekurangan celah data yang ada dan terpublikasi dilaman resmi pemerintah tersebut bisa menjadi bahan kajian, evaluasi, perhatian dan tanggung jawab kita memperbaiki kualitas data. Hal ini juga menjadi fokus pemerintah dalam upaya memperbaiki kualitas data yang akan digunakan sebagai bahan pembuat kebijakan/keputusan baik oleh pemerintah maupun masyarakat sendiri. Sebagaimana tujuan akhir dari sebuah rekayasa data dan kebijakan rekayasa sosial yang populer dengan nama "new normal". Â Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H