Mohon tunggu...
Agus Samsudrajat S
Agus Samsudrajat S Mohon Tunggu... Dosen - Membuat Tapak Jejak Dengan Berpijak Secara Bijak Dimanapun Kaki Beranjak. http://agus34drajat.wordpress.com/

Public Health, Epidemiologi, Kebijakan Kesehatan @Wilayah Timur Khatulistiwa Tapal Batas Indonesia-Malaysia

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

40 Tahun Lebih "SKM" tanpa Payung Hukum dan Kejelasan?

25 Februari 2020   23:04 Diperbarui: 26 Februari 2020   04:56 1009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rakerkesnas 19 februari 2020

Saat ini kita dipaksa harus berani bermimpi bahwa status kesehatan masyarakat nasional dan daerah kita bisa lebih baik. Tapi kebijakan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) yang jadi prioritas Promotif dan Preventif sebagai mana keinginan menkes di rapat kerja kesehatan nasional (rakerkesnas) 2020 semakin menutup mata dan mengabaikan Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM).

SKM merupakan Satu-satunya lulusan jenjang Sarjana yang tidak punya payung hukum termasuk hak dan kewenangan dalam memberikan pelayanan kesehatan masyarakat sesuai pengetahuan jenjang pendidikan dan ketrampilan sebagaimana tenaga kesehatan lain.

Sudah 40 tahun lebih sejak pertama berdirinya di era 1965 dan dibuka untuk lulusan SMA sejak 1980-an hingga yang terdaftar resmi versi forlap dikti februari 2020 mencapai 207 program studi kesehatan masyarakat. Total Program studi itu, 2 kali lipatnya prodi kedokteran dan total prodinya dibawah prodi keperawatan dan kebidanan.

Sudah puluhan ribu lulusan SKM dimanfaatkan Kementerian Kesehatan baik di level pusat maupun daearah pelosok nusantara termasuk disektor non kesehatan dan beberapa SKM terpilih menjadi tenaga kesehatan teladan.

Bahkan prodi kedokteran layanan primer (DLP) yang baru lahir tahun 2016 dan baru satu program studi se-Indonesia sudah banyak disinggung diberbagai kebijakan termasuk di beberapa kebijakan  seperti Peraturan Pemerintah 5/2017 dan Permenkes 43/2019 tentang puskesmas.

Sedangkan Tenaga Kesehatan Masyakat yang lebih dulu dan lebih banyak jumlahnya semakin dipersempit dengan jenis tenaga kesehatan promosi kesehatan dan ilmu perilaku di Permenkes 43/2009 tentang Puskesmas.

Meskipun ada keanehan dalam beberapa tampilan materi Rakerkesnas 2020 yang juga bisa disaksikan live streaming 19 februari 2020 lalu, justru masih menggunakan Permenkes lama yaitu 75/2014, meskipun permenkes yang baru 43/2019 sudah keluar sejak oktober 2019 lalu dan ada dilaman resmi pemerintah peraturan.go.id.

Rakerkesnas 19 februari 2020
Rakerkesnas 19 februari 2020
Jejak dokumen Bappenas 2005 jadi bukti jelas dan tegas bahwa "SKM" menjadi salah satu tenaga kesehatan yang rasio /penduduknya saat itu punya posisi lebih baik dari sekarang bahkan melebihi rasio dokter. Rasio SKM dulu sempat mencapai 49/100 ribu penduduk sedangkan dokter hanya 40/100 ribu penduduk.

Tapi perjalanan kebijakan itu berakhir melalui permenkes 33/2015. Permenkes itu menjadi bukti bahwa rasio SKM semakin dipangkas menjadi 18/100 ribu untuk target tahun 2025.

Tidak hanya itu,  permenkes tentang puskesmas baik yang 2014 maupun yang terbaru di 2019 membuktikan standar minimal untuk SKM semakin di turunkan cukup 1 SKM/per puskesmas rawat jalan maupun rawat inap, itu pun tidak eksplisit dan tegas menyebut "SKM". Tidak cukup hanya dipangkas,  permenkes itu mempersempit dengan hanya untuk tenaga promosi kesehatan.

Menurut UU tenaga Kesehatan 36/2014 memang disebutkan ada jenis tenaga kesehatan masyarakat, tapi memang belum jelas, belum tegas atau belum eksplisit menerangkan itu SKM.

Maka semestinya permenkes 33/2015, dan jejak dokumen kajian kebijakan perencanaan tenaga kesehatan oleh Bappenas 2005 lalu sudah cukup menjadi bukti penegas bahwa tenaga kesmas yang dimaksud di UU Tenaga kesehatan itu adalah "SKM'.  

Tetapi ternyata tenaga kesmas versi Kemkes sendiri tidak demikian. Karena dilaman resmi bagian sumber daya kesehatan Kemkes jenis tenaga kesmas itu tidak sama persis dengan apa yang ada dalam sistem pendidikan SKM.

Masalah lain juga ada pada jabatan fungsional di Kemkes tidak ada yang dipersyaratkan hanya untuk SKM seperti tenaga kesehatan yang lain. termasuk peraturan hak dan kewenangan dalam memberikan pelayanan kesehatan belum pernah ada hingga kini, meskipun sudah pernah beberapa kali diusulkan di Kementerian Kesehatan.

Karena selama ini, jabatan fungsional tenaga kesmas sesuai UU tenaga kesehatan di kemkes baik regulasi maupun implementasinya dibuka dan dipersyaratkan untuk semua jenjang pendidikan kesehatan.

Maka sungguh ironi ketika semua tenaga kesehatan selain SKM sudah diatur dan punya lahan tetap khusus profesinya sesuai pendidikan juga punya lahan tambahan yang merupakan jabfung dari ilmu ilmu yang dipelajari dan ditekuni SKM saat masa pendidikan. Sedangkan SKM sendiri hanya punya satu lahan itupun dibuat menjadi milik bersama.

Seolah-olah jenjang pendidikan SKM tidak penting dan tidak berarti bagi Kemkes. SKM dianggap tidak ada perbedaan dengan sarjana kesehatan lain. Padahal kurikulum jelas sangat berbeda dan banyak pegawai dibawah naungan Kemkes yang melanjutkan ke SKM dari jenjang diploma tiga.

Renstra Kemkes 2015-2019 yang lalu sebenarnya sempat menjadi pelipur lara bagi SKM, sebagai aktor promotif dan preventif sesuai pendidikan. Tenaga kesmas menjadi salah satu tenaga prioritas bersama lima tenaga kesehatan lain dalam rencana upaya revitalisasi puskesmas untuk memenuhi kekurangan tenaga SKM dipuskesmas versi Kemkes yang terbaru.

Tetapi ketika melihat laporan hasil Kemkes tentang kekurangan tenaga kesmas 5 tahun lalu seolah tidak ada upaya nyata yang serius menunjukan pengaruh dan perbedaan yang cukup signifikan, karena kekurangan tenaga kesmas juga masih tinggi.

Meksipun target renstra terakhir untuk mengisi kekurangan SKM masih belum juga tercapai, keanehan lain justru terlihat dalam pokok-pokok strategi rakerkesnas 2020, tidak terlihat adanya upaya untuk mencapai kinerja program yang lalu. Tetapi yang ada adalah arah strategi untuk pemenuhan tenaga kesehatan diluar prioritas renstra sebelumnya yaitu hanya ada fokus pemenuhan tenaga dokter dan perawat.

Sementara itu SKM harus tetap berkontribusi sebagi contoh yang termuat di laman Litbang Kemkes, ada penelitian riset aksi partisipatif desa sehat berdaya yang dilakukan Oleh Laksono dan tim bahwa upaya pemberdayaan SKM punya dasar kelebihan pengetahuan dan keterampilan selama pendidikan dalam memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat.

Padahal jejak digital melalui laman litbang Kemkes ditemukan sebuah penelitian mengenai potensi dan aplikasi tenaga SKM sebagai pengelola program di lingkungan Depkes oleh Bacroen Cholis tahun 2012.

Penelitian itu menyimpulkan bahwa Penempatan tenaga SKM paling banyak di Kantor Kesehatan tingkat propinsi (Kanwil: 33.8 %, dinas kesehatan 18.4%). Ditingkat Kabupaten yang paling banyak di Kandep (16.3%) dan sisanya tersebar di unit-unit kesehatan di tingkat II.

Ditinjau dari sisi tenaga SKM, hambatan yang ditemui meliputi kurangnya bekal ilmu dan sarana/fasilitas serta penempatan tugas yang tidak sesuai dengan peminatan pada waktu pendidikan, pengembangan karir yang belum jelas.

Semua hal ini menyebabkan kurangnya semangat bekerja dan tidak berkembangnya kemampuan tenaga SKM secara optimal.  Tetapi seakan itu hanya jadi temuan yang tidak berarti hingga saat ini.

Jejak Digital Perhimpunan SKM Indonesia dengan berbagai upaya advokasi ke legislatif dan kementerian yang juga terekam dibeberapa media massa nasional seperti Kompas dan lain-lain, ternyata belum mampu membuat pemerintah peduli kepada tenaga kesehatan masyarakat yang fokusnya hanya kepada upaya promotif dan preventif ini.

Meskipun pemerintah melalui Menkes mengatakan berkali-kali bahwa puskesmas harus fokus ke hulu yaitu upaya promotif dan preventif, tetapi faktanya indikator-indikator strateginya yang terlihat justru berbelok ke hilir melalui tenaga yang fokusnya medis, kuratif dan rehabilitatif. Itu sangat kontras dan mencolok dengan apa yang jadi arahan nasional dalam ringkasan eksekutif Bappenas 2018 tentang penguatan Puskesmas.

Itulah dinamika dunia kesehatan saat ini, apapun yang terjadi terhadap dunia kesehatan masyarakat terutama promotif dan preventif belumlah kiamat dan berakhir, SKM masih akan dilahirkan hingga saat ini dengan semangat dan paradigma baru, meskipun bersama mulai hadirnya prodi baru dari cabang ilmu kesmas dengan gelar baru pula setara SKM semakin menjamur atas izin dan rekomendasi oleh organisasi dan pendidikan yang selama ini mewakili FKM & SKM. Tidak ada yang melarang siapapun berparadigma sehat, tetapi pengaturan hak dan kewenangan setiap jenis tenaga kesehatan sesuai jenjang pendidikan ikut menyelesaikan permasalahan uatama sistem kesehatan nasional.

Mari kita doakan dan tetap berharap kebaikan kepada siapapun pemimpin lembaga negara tersebut. Semoga ketidakharmonisan antar lembaga pemerintah, antar program dan antar tenaga kesehatan ini bisa kita segera akhiri untuk mewujudkan indonesia yang benar-benar sehat, bukan sehat karena pencitraan, tetapi sehat secara lahir dan mental dari sisi kebijakan baik penentu kebijakan maupun pelaksana  kebijakan demi derajat kesehatan masyarakat yang seutuhnya.

Aamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun