Mohon tunggu...
Agus Samsudrajat S
Agus Samsudrajat S Mohon Tunggu... Dosen - Membuat Tapak Jejak Dengan Berpijak Secara Bijak Dimanapun Kaki Beranjak. http://agus34drajat.wordpress.com/

Public Health, Epidemiologi, Kebijakan Kesehatan @Wilayah Timur Khatulistiwa Tapal Batas Indonesia-Malaysia

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Di Balik Catatan Nostalgia Kesehatan, Adakah yang Aneh?

12 November 2017   07:38 Diperbarui: 13 November 2017   06:04 1068
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memeriahkan HKN 53 di Luwu Raya, Dok.Persakmi Luwu Raya 04/11/2017

Puncak Hari Kesehatan Nasional (HKN) tepat pada 12/11/2017 adalah yang ke 53 dan mengusung tema "Sehat Keluargaku, Sehat Indonesiaku". Sebelum terlalu jauh melangkah arah kesehatan kedepan, sejenak kita flashback, bercermin, dan bernostalgia, apa saja yang sudah kita lewatkan selama ini. Terutama dari catatan-catatan bersejarah kesehatan negeri ini. Begitu juga dengan kenangan manis maupun pahit yang ada  didaftar catatan penting dari perjalanan yang telah terdokumentasi dengan baik selama ini. 

Tapi Catatan itu bisa saja terlewat, tercecer karena banyaknya sudut pandang kepentingan yang harus dicatat dan diangkat agar muncul dipermukaan. Bukan hanya muncul dipermukaan kaum elit tetapi juga mucul dipermukaan publik. Apalagi jika catatan yang disiapkan untuk nostalgia itu memiliki raport merah atau sesuatu yang harus diangkat, dikejar karena belum berhasil mencapai target.

Salah satu catatan nostalgia itu diantaranya Indonesia memiliki 74.910 Desa, dengan 941 kawasan perdesaan, 187 lokasi prioritas Kecamatan terluar di 41 Kabupaten/Kota di perbatasan negara. Ada 388 (78 %) Kabupaten/Kota risiko tinggi rawan bencana, 109 (22 %) Kabupaten/Kota risiko sedang rawan bencana, 619 kawasan transmigrasi, 122 daerah tertinggal, 58 Kabupaten rawan konflik, 67 kabupaten memiliki pulau kecil dan terluar serta 57 Kabupaten rawan pangan. Data ini sempat menjadi salah satu daftar menu dalam rapat kerja kesehatan nasional (rakerkesnas) tahun ini oleh Kementerian Desa Februari-Maret lalu di Jakarta.

Sejarah mencatat Indonesia sudah merdeka 72 tahun yang lalu. Belum lama ini, pemerintah memprediksi tahun 2030, Indonesia masuk menjadi 7 besar negara dengan kekuatan ekonomi dunia. Semoga kita tidak jumawa dan lupa diri, bahwa kita masih menyimpan catatan persoalan 10,49 juta penduduk miskin, 33,2 % balita mengalami masalah gizi stunting, dan 46 % atau 34.479 desa adalah desa tertinggal yang dihantui berbagai ancaman kesehatan. Haruskah kita merasa aneh dengan hal itu?. Mungkin masalah akses dan kondisi wilayah inilah yang membuat negara ini terseok-seok dan bahkan jatuh bangun dalam mengejar target pemerataan pembangunan kesehatan yang masih terlalu jauh, meskipun RPJMN mentargetkan akses kesehatan sudah mulai mantap di tahun 2019.

Masih adakah yang aneh? Jika karena karena akses yang buruk, minimnya tenaga kesehatan dan pelayanan kesehatan menjadi salah satu pemantik masalah kesehatan yang berdampak kepada kesejahteraan bagi wilayah terluar, tertinggal dan perbatasan. Lalu apakah kita tidak perlu merasa aneh dengan wilayah yang akses, tenaga dan fasilitas kesehatanya sudah jauh lebih baik? Meskipun secara teori, semua fasilitas itu bisa menjamin sebuah wilayah yang maju dan akses lebih baik, masuk zona aman dengan masalah kesehatan minimalis.

Ternyata tidak sepenuhnya demikian, masih ada catatan yang membuktikan bahwa Pulau Jawa yang akses, tenaga kesehatan maupun fasilitas pelayanan kesehatanya jauh lebih baik dibandingkan daerah lain justru masih juga memiliki raport merah untuk kesehatan. Raport itu khususnya ada pada kasus kematian ibu dan respon cepat Kejadian Luar Biasa (KLB). Laporan rutin kesehatan Ibu tahun 2015-2016 menampilkan ada 8 provinsi yang jumlah kematian ibu mengalami kenaikan. Provinsi itu diantaranya Maluku, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Yogyakarta, DKI Jakarta, Gorontalo, Jawa Timur dan Jambi.

Bahkan untuk respon cepat KLB di Banten hanya 37%, Jawa Barat 43%, Jawa Timur 35% dan Jawa Tengah 28% menjadi rekor terkecil se Jawa. Cakupan itu masih jauh lebih kecil dibandingkan respon cepat KLB di Papua yang bisa mencapai 42%, lebih kecil dari rata-rata nasional 59% dan masih jauh dibawah target Nasional 70%. Hanya Yogyakarta dan Jakarta yang melebihi target nasional untuk wilayah pulau Jawa. Bahkan Riau menjadi yang terbaik 100%. Lalu tidak bolehkah kita merasa aneh dengan catatan yang seperti ini? Supaya lebih meyakinkan, sejenak kita lihat gambar mapping  Respon KLB nasional tahun 2017 berikut ini.

Dok Pri Screenshot materi isu strategis rakerkesnas 2017
Dok Pri Screenshot materi isu strategis rakerkesnas 2017
Tidak cukup berhenti disitu saja, Indonesia masih punya catatan menarik lainya. Sebuah potret fasilitas kesehatan ibarat salah satu bagian kendaraan sistem kesehatan. Sesuai catatan Susenas 2013 dan potensi desa 2014, ada 61,1% Desa tidak memiliki poskesdes, 69,64% Desa tidak memiliki Puskesmas Pembantu, 79,91% Desa tidak memiliki Polindes, 91% Desa tidak memiliki poliklinik dan 89,08% Desa tidak memilki sarana apotek. Artinya Sebagian besar Desa belum mendapatkan pelayanan dasar secara baik dan utuh. Disisi lain berita yang muncul di publik, program desa sehat milik Kemendes yang juga menggandeng Kemenkes akan membangun 50.000 ribu rumah sehat sebagai program baru mengatasi kekurangan sarana kesehatan di Desa tersebut untuk menjamin 2 jenis tenaga kesehatan saja.

Lalu bagaimana dengan nasib kesehatan masyarakat desa kedepan? Catatan pribadi menemukan lebih dari 95% Desa belum ada tenaga kesehatan masyarakat Desa. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2015 menyimpulkan bahwa setengah warga Negeri ini hidup dan tinggal di Perdesaan. Tahun 2030 diprediksi masyarakat perdesaan akan jauh lebih besar dari pada perkotaan. Ya mungkin kita harus membiasakan bahwa catatan itu bukanlah sesuatu yang aneh untuk masa depan kesehatan masyarakat negeri ini.

Catatan Kemendes saat rakerkesnas lalu juga menunjukan potret di daerah tertinggal. Rata-rata jarak yang dibutuhkan untuk mencapai puskesmas rawat inap dan non rawat inap bisa mencapai 33,2 km dan 30,1 km. Itu sama dengan 3 kali lebih jauh dibandingkan daerah maju dan 2 kali lebih jauh dibandingkan rata-rata nasional. Sayangnya, catatan itu hanya menunjukkan jarak tanpa diikuti kondisi suatu jalan. Faktanya selain jarak tempuh yang jauh, masih ada kondisi jalan yang tidak menentu. Apakah darat berlumpur, banjir, pegunungan, sungai yang deras, bebatuan, laut atau daerah rawan konflik. 

Sebagian potret kondisi dan akses daerah tertinggal seperti itu juga pernah tercatat di headline kompasiana yaitu  Lucunya Kebijakan Kesehatan Negeri dan Penjajahan Kesehatan di masyarakat. Sekilas potret kondisi jalan seperti itu semakin meyakinkan bahwa meskipun jarak tempuh antara daerah tertinggal dan maju itu sama, tetapi karena kondisi geografis yang berbeda, bisa mengakibatkan waktu tempuh yang jauh lebih lama. Ditambah berbagai resiko perjalanan yang sangat menantang adrenalin.

Adakah yang aneh? Mungkin tidak, jika kita sehari-hari bahkan bertahun tahun sudah biasa melihat dan merasakan keadaan dengan akses dan kondisi demikian. Hal itu mengingatkan saya akan catatan yang pernah disampaikan oleh salah satu warga perbatasan sekaligus daerah tertinggal di Kalimantan Barat, bahwa "kondisi akses yang terbatas bagi kami sudah menjadi hal yang wajar, biasa dan bukanlah suatu keanehan lagi, tetapi bagi kalian yang biasa tinggal di kota dengan akses yang mudah, ketika melihat kondisi kami disini mungkin sesuatu yang aneh dan luar biasa".

Saking besarnya potensi desa, setiap Kementerian & Lembaga pemerintah dan lembaga swasta berlomba-lomba menyodorkan berbagai program untuk Desa. Contohnya BKKBN punya kampung KB, Kemenkes dengan Desa Siaga, Kemenpar dengan Desa Wisata, Kemensos dengan Desa Sejahtera Mandiri, Kemendes Dengan Desa Mandiri, Kemenristekdikti dengan Desa Inovasi, Kementerian Kelautan dengan Desa pesisir tangguh, Kemenag dengan Desa Sakinah dan beberapa Kementerian/Lembaga lain dengan programnya masing-masing. Setiap program tersebut tentu punya alokasi anggaran yang siap digelontorkan ke Desa. Kebayang bukan, berapa banyak program dan anggaran jika dikumpulkan jadi satu atau ada di satu Desa.

Agar bayangan semakin jelas, sedikit saya akan membuka catatan terkait alokasi anggaran program generasi sehat dan cerdas milik Kemendes. Program ini merupakan penanggulangan kemiskinan yang secara khusus mengintervensi bidang kesehatan dan pendidikan. Tahun 2016 saja total anggaranya mencapai 628,64 milyar, dengan rincian 348,64 Milyar hibah luar negeri Bank Dunia dan 280 milyar rupiah murni. Alokasi kegiatan program itu di lakukan di 5.753 Desa, 415 Kecamatan, 66 Kabupaten di 11 Provinsi. 

Itu baru satu catatan salah satu program dari satu Kementerian. Kebayang bukan, ada berapa banyak anggaran yang akan gelontorkan ke Desa dari semua Kementerian dan lembaga pemerintah yang ada. Belum termasuk donatur organisasi swasta lokal, nasional maupun asing. Sayangnya Kebijakan dan informasi yang muncul ke publik, program Desa Sehat dan Cerdas Kemendes ini hanya mengakomodir 2 tenaga kesehatan dari 12 kelompok tenaga kesehatan yang ada. Meskipun catatan rasio belanja kesehatan Indonesia terhadap produk domestik bruto 2014 hanya berada di 3 terbawah setelah Brunei dan Myanmar dari 11 negara se ASEAN, India dan Tiongkok.

Pertanyaanya, apakah Desa sudah siap menerima dan melaksanakan semua program-program itu?. Saya yakin, hal itu bukanlah perkara mudah bagi Desa. Inilah saatnya pemuda-pemudi terpelajar dan unggulan negeri ini bergerak kembali ke Desa, karena Desa membutuhkan SDM dengan pengetahuan dan keterampilan profesional yang beraneka ragam sesuai program yang sudah dititahkan oleh sang raja (pemerintah), melalui Kementerian dan Lembaganya. Begitu banyak program yang siap membanjiri Desa, yang mestinya bisa menjadi sumber kekuatan upaya kesehatan hingga kesejahteraan. 

Maka tidak heran, dalam catatan awal laporan pertanggung jawaban Ketua umum PERSAKMI (Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia) 2013-2017 merespon kondisi-kondisi kontradiktif seperti itu. “Analisanya karena perubahan kondisi kekinian tersebut, tidak dibarengi dengan kesiapan SDM kesehatan untuk mengelola dan menghadapinya. Akibatnya, kita belum bisa melepaskan diri dari beban berlipat (triple burden) terhadap masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Salah satu SDM yang dianggap belum optimal perannya adalah para Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.KM). Padahal, berdasarkan realitas normatif sesuai dengan keilmuannya, mestinya eksistensi, peran dan fungsi S.KM dianggap mampu mewarnai perubahan sistem, program dan kebijakan dibidang kesehatan tersebut. Namun hingga saat ini semua itu belum banyak terwujud”, demikian sepenggal pesan dalam, yang sempat disampaikan di musyawarah nasional Padang 6/9/2017. 

Disisi lain, kesehatan menjadi salah satu pelayanan dasar yang wajib dilaksanakan pemerintah daerah dan masuk ke dalam program strategis nasional. Bahkan ancaman keras bagi pemda cukup tegas tercatat dalam undang-undang (UU) 23/2014 tentang Pemerintah Daerah. Khususnya pasal 68, tertulis Kepala daerah dan/atau wakil kepala Daerah yang tidak melaksanakan Program Strategis Nasional akan dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis oleh Menteri untuk Gubernur dan/atau wakil Gubernur serta oleh Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat untuk Bupati dan/atau Wakil Bupati atau Walikota dan/atau Walikota.

Dalam hal teguran tertulis telah disampaikan 2 (dua) kali berturut-turut dan tetap tidak dilaksanakan, Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara selama 3 (tiga) bulan. Dalam hal Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah telah selesai menjalani pemberhentian sementara, tetapi tidak melaksanakan program strategis nasional, yang bersangkutan diberhentikan sebagai Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah.

Ternyata bukan hanya itu, di balik catatan UU tenaga kesehatan 36/2014 pasal 13 dan 27, Pemda juga diwajibkan memenuhi tenaga kesehatan baik jumlah, jenis dan kompetensinya termasuk mengisi atau mengganti jika terjadi kekosongan. Adapun yang perlu di catat dan diperhatikan bahwa, kelompok jenis tenaga kesehatan negeri ini bukan hanya ada 2, 3 atau 4 saja tetapi ada 12 jenis, itu pun kalau tidak nambah lagi. Banyak bukti di berbagai daerah maupun pusat, pemerintah hanya fokus kepada tenaga kesehatan itu-itu saja. Oleh karena itu, untuk apa Negeri ini memproduksi tenaga kesehatan sebanyak itu jika tidak difungsikan sebagaimana mestinya.

Semoga sedikit catatan ini bisa menambah warna dalam daftar catatan penting kesehatan, sebagai bekal menuntun harapan menyehatkan negeri di masa depan. Selamat ber HKN dan semoga sehat selalu.


Memaknai HKN ke 53

Semarang, 12 November 2017.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun