Hal tersebut menunjukan bahwa ada masalah yang belum berhasil diperbaiki atau bahkan mungkin belum ditemukan penyebab sesungguhnya. Sehingga upaya perbaikan tersebut belum membuahkan hasil yang diharapkan. Kondisi itu pula menunjukan bahwa keadaan pangan Indonesia yang cukup baik tidak berbanding lurus atau sejalan dengan masalah kesehatan bangsa khususnya gizi dan PTM.Â
Sesuai dengan standar WHO, suatu wilayah dikatakan akut kronis jika memiliki prevalensi anak pendek 20% atau lebih, dan kurus 5% atau lebih. Sedangkan dikatakan tidak ada masalah gizi bila kasus balita pendek kurang dari 20% dan prevalensi balita kurus kurang dari 5%. Dari 496 kabupaten kota yang disurvei, hanya 9 kabupaten/kota di Indonesia yang bebas masalah gizi, 63 akut, 20 kronis dan 404 kabupaten/kota dengan kondisi akut dan kronis. Hal itu berarti  81-82 % wilayah Indonesia saat ini dalam keadaaan situasi darurat gizi dan PTM. Berikut ini beberapa infografis sebaran masalah gizi Indonesia.
Bukti lain sebuah kajian dari India oleh Chandrakant L dalam jurnal The Lancet Series and Indian Perspective, Indian Pediatrics Volume 45 tahun 2008 menyimpulkan anak yang gizi kurang, cenderung menjadi dewasa pendek, selanjutnya cenderung melahirkan bayi kecil, yang mempunyai risiko berprestasi pendidikan yang rendah, dan pada akhirnya mempunyai status ekonomi yang rendah. Stunting pada usia dini dapat memprediksikan kinerja kognitif dan risiko terjadinya Penyakit Jantung Koroner pada saat dewasa.
Tawaran Solusi Atas Masalah Kesehatan Akibat Pangan & Gizi
Kekayaan sumber daya pangan lokal Indonesia sesungguhnya sangat melimpah menjadi sebuah solusi tepat yang harus terus ditingkatkan. Baik produksi, mutu, dan hygiene sanitasinya. Dari Sabang sampai Merauke Indonesia memiliki berbagai jenis makanan khas baik makanan dari darat, air laut dan air tawar yang bisa menjadi sebuah solusi mudah dan dekat dalam memperbaiki masalah kesehatan akibat masalah gizi. Jangan sampai masyarakat dan negara kita hanya bisa meng ekspor, memproduksi dan menghasilkan tetapi rakyatnya sendiri tidak bisa menikmati sumber makanan bergizi.Â
Contoh potensi lokal negeri kita yang dianggap berkualitas dan menjadi pangan ekspor adalah, beberapa jenis ikan laut, seperti Ikan Kakap, Cumi, Udang, Ikan Sidat dan beberapa jenis ikan lainya. Kita kaya akan sumber karbohidrat ubi, talas, jagung, bahkan jenis umbi porang di ekspor ke Jepang tetapi kita masih mengimpor beras.Â
Begitu juga dengan potensi sumber protein yang menurut Penelitian Kementerian Pertanian dalam warta Puslitbang Perkebunan Vol. 18 No. 3, 2012 menyimpulkan kandungan protein tempe dari biji karet justru lebih tinggi dibandingkan tempe dari kedelai. Tetapi sayang hingga saat ini olahan makanan dari biji karet belum banyak dimanfaatkan masyarakat.Â
Indonesia memiliki lahan perkebunan karet terluas didunia dan lebih luas bandingkan lahan perkebunan kedelai, tetapi pemanfaatan biji karet sebagai sumber protein masih dianggap sebagai limbah kalah populer dibandingkan kedelai yang bahan bakunya sendiri masih impor . Semoga hari pangan sedunia tahun ini menjadi pemantik semangat kita bersama dalam melangkah memperkuat jatidiri bangsa melalaui pangan dan kesehatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H