Mohon tunggu...
Agus Samsudrajat S
Agus Samsudrajat S Mohon Tunggu... Dosen - Membuat Tapak Jejak Dengan Berpijak Secara Bijak Dimanapun Kaki Beranjak. http://agus34drajat.wordpress.com/

Public Health, Epidemiologi, Kebijakan Kesehatan @Wilayah Timur Khatulistiwa Tapal Batas Indonesia-Malaysia

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Penjajahan Kesehatan di Masyarakat

16 Oktober 2017   01:03 Diperbarui: 9 November 2017   06:35 3376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berikut screenshot dokumen Ilmiah Prof.Does Sampoerno. Dokpri

Mungkin hanya mimpi jika negeri ini bisa merdeka atau terbebas dari segala bentuk penjajahan kesehatan. Bagaimana tidak, sebelum kita merdeka hingga saat ini, penjajah kesehatan negeri kita justru tidak semakin berkurang tetapi justru ikut berkembang seiring perkembangan zaman, ilmu dan teknologi. Penjajah kesehatan itu bisa berasal dari berbagai oknum profesi seperti elit politik, pejabat, wakil rakyat, profesional, petani hingga rakyat jelata. 

Kalangan oknum elit politik, pejabat dan wakil rakyat, menjajah dengan kekuasaan dan kebijakan. Salah satu contoh adalah kebijakan membiarkan Indonesia ramah dan toleran terhadap perusahaan dan iklan rokok yang bebas beredar dan dihisap oleh siapapun dan dimanapun. Berbagai bukti ilmiah tentang bahaya rokok, peraturan mulai dari Agama, Fatwa ulama, Undang-undang, hingga peraturan daerah belum mammpu mengusir atau menurunkan angka penjajah kesehatan. 

Alih-alih malah meningkatkan jumlah penjajah kesehatan yang berdampak kepada korban kesakitan, kecacatan hingga kematian akibat masalah kesehatan. Buktinya angka pemicu masalah kesehatan di Indonesia semakin beraneka ragam dan banyak pemicu baru yang mulai bermunculan. 

Contoh lainnya adalah kebijakan Ketuk Pintu Layani Dengan Hati (KPLDH) Pemerintah DKI Jakarta. Informasi laman resmi pemerintah DKI menyebutkan kebijakan ini hanya melibatkan tiga tenaga kesehatan yaitu dokter, perawat dan bidan. Padahal jenis tenaga kesehatan yang ada di Indonesia termasuk DKI,serta idealnya harus ada sesuai regulasi/peraturan daerah dan nasional setidaknya ada 11-13 tenaga kesehatan. 

Lalu dikemanakan fungsi dan keterlibatan sebagian besar tenaga kesehatan yang lain. Seolah-olah tenaga kesehatan yang dilibatkan tersebut mewakili tugas dan kompetensi tenaga kesehatan yang tidak dilibatkan dalam kebijakan KPLDH. DKI merupakan wajah Indonesia, apa jadinya jika wajah negeri ini sudah menunjukan sikap yang demikian. Terlihat lebih baik peraturan daerah tentang sistem kesehatan daerah yang dimiliki Kabupaten Wonosobo, yang melibatkan seluruh tenaga kesehatan yang ada bekerja dalam satu team pelayanan kesehatan kecamatan hingga tingkat desa/kelurahan. 

Kebijakan tersebut merupakan bentuk monopoli sebuah program atau kebijakan. Terlihat upaya pendangkalan dan penyempitan paradigma hidup sehat dalam mengimplementasikan Undang-Undang (UU) 36/2014 tentang tenaga Kesehatan, UU Kesehatan 36/2009, Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) 72/2014 tentang Puskesmas, PMK 33/2015 tentang pedoman penyusunan perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan dan Peraturan Daerah 4/2009 tentang Sistem Kesehatan Daearah DKI Jakarta. Selain itu kebijakan sepihak tersebut akan berpotensi menimbulkan kesenjangan dan tumpang tindih antara kompetensi pendidikan maupun fungsi tenaga kesehatan dengan yang tidak dilibatkan. 

Padahal berbagai rujukan ilmiah merekomendasikan justru akan banyak keuntungan jika bisa menjalin kerjasama, kolaborasi dan saling menghargai posisi dan peran fungsi masing-masing profesi untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, efektif dan efesien. Semoga dengan kepemimpinan DKI Jakarta Pasangan Gubernur baru Pak Anis-Sandiaga, pembangunan kesehatan DKI Jakarta dengan konsep paradigma sehat bisa berjalan harmonis dan jauh lebih baik. 

Oknum kalangan profesional umumnya menjajah kesehatan dengan kelebihan ilmu, pengetahuan atau keterampilan yang didapatnya untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Contoh kasus yang sempat menghebohkan publik adalah kasus vaksin palsu, obat palsu termasuk temuan Pil PCC (paracetamol, caffeine, dan carisoprodol) yang telah banyak memakan korban. 

Contoh lainya adalah kasus Flu Burung yang pernah ditulis mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari dalam bukunya yang berjudul "Tangan Tuhan Dibalik Virus Flu Burung" akhirnya buku tersebut ditarik dari peredaran dan dilarang oleh pemerintah saat itu karena isi buku tersebut dianggap mengancam stabilitas Negara. 

Fakta lain ketika saya menghadiri langsung acara bedah buku "Tangan Tuhan Dibalik Virus Flu Burung" di Solo, Ibu Siti Fadilah Supari sempat mengatakan, bahwa apa yang ditulis merupakan hasil dari pengalaman dan temuan beliau selama menjabat secara sadar. Beliau merasa punya tanggung jawab moral kepada anak bangsa untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dalam dunia kesehatan sehingga beliau merasa harus menulis buku tersebut.

Kesehatan masyarakat Indonesia masih terjajah dengan pola-pola paradigma sakit, baik kebijakan maupun tindakan. Monopoli kesehatan baik melalui sisi kebijakan maupun sisi lain di negeri ini masih cukup tinggi, sehingga yang dikorbankan adalah kesehatan masyarakat. Dalam sejarah dokumen ilmiah karya Prof. Does Sampoerno sejak era 1990-an, sudah tertulis bahwa peran dokter, dokter spesialis, dokter gigi, perawat, dan bidan dalam upaya pengobatan sangatlah penting. 

Mereka semua itu adalah tulang punggung pelayanan medis. Namun untuk pengelolaan upaya kesehatan dan membina penduduk yang sehat, tenaga kesehatan yang telah ada diatas tersebut ternyata tidaklah cukup. Kemudian hal itu dipertegas Prof.Does saat beliau di Undang Persakmi Jakarta 2015 lalu dalam diskusi santai masalah kesehatan dimeja makan. Kemudian beberapa bulan setelah itu beiau wafat meninggalkan jejasejarah dan pesan kepada kami (peserta diskusi). Berikut screenshot dokumen Ilmiah Prof. Does Sampoerno tersebut. 

Berikut screenshot dokumen Ilmiah Prof.Does Sampoerno. Dokpri
Berikut screenshot dokumen Ilmiah Prof.Does Sampoerno. Dokpri
Berikut screenshot dokumen Ilmiah Prof.Does Sampoerno. Dokpri
Berikut screenshot dokumen Ilmiah Prof.Does Sampoerno. Dokpri
Dokumen sejarah tersebut diperkuat oleh pernyataan pakar Kesehatan Masyarakat dan Epidemiologi Indonesia sekaligus Ketua umum Persakmi Prof. Dr. Ridwan Amiruddin, SKM., M.Kes., M.Sc.PH, 15 oktober 2017 di Makasar dalam status facebooknya tertulis: 

"Mencermati situasi kesehatan Indonesia hari ini dengan jumlah penduduk sekira 258 juta jiwa, ditemukan pada laporan WHO per 2017 sebanyak 73% dari seluruh kematian merupakan kontribusi dari Non Communicable Disease (NCD). Kalau di cermati factor risiko utama NCD ini meliputi; Penggunaan tembakau yang sangat tinggi (prevalensi 63%), Aktifitas fisik yang rendah, konsumsi sayur dan buah yang rendah, alcohol, gula darah yang tinggi, obesitas yang tinggi dan kadar kolesterol. Beberapa karakteristik NCD yang perlu mendapatkan perhatian karena; Masa perawatan yang panjang, membutuhkan lebih dari satu jenis pengobatan, membatasi produktifitas penduduk, beban financial yang sangat tinggi dan membutuhkan dukungan keluarga secara keseluruhan.

Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.K.M.) yang pada prinsipnya bekerja pada tataran promotif preventif dengan mengorganisasikan masyarakat melalui pendekatan cultural dan kelembagaan akan memberi kontribusi nyata dalam menunda laju percepatan transisi epidemiologi, sehingga multiple burden yang dialami oleh penduduk Indonesia dapat di eliminasi secara substansial dengan model penggerakan masyarakat pada tingkat hulu. Pada perkembangan selanjutnya sekarang ini S.K.M. telah dibekali dengan kemampuan dasar untuk melakukan analisis komunitas, analysis kebijakan, financial, cultural, keilmuan dasar kesmas, pemberdayaan masyarakat hingga kemampuan berfikir system dan leadership.

Kapasitas yang mumpuni bagi S.K.M. tersebut, menyebabkan kelompok sarjana ini telah tersebar di berbagai lapangan kerja dan tidak hanya di sektor kesehatan tapi hampir semua sektor baik dipemerintahan, NGO maupun sector bisnis dan entrepreneurship. Sekarang ini para S.K.M. juga telah menghimpun diri dalam organiasi yang tumbuh pesat di Indonesia yaitu Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan masyarakat Indonesia (Persakmi) yang hingga Oktober 2017 telah bekerja di 21 propinsi. Ayo bekerja untuk Indonesia sehat."

Kompleksnya masalah kesehatan semakin ditantang dengan berbagai keterbatasan akses disebagaian wilayah Indonesia. Terkait akses, ada cerita yang buat saya sangat prihatin sekaligus bangga. Minggu lalu disebelah saya duduk Pak Camat Ambalau, Kabupaten Sintang yang saat itu akan menghadiri undangan rapat koordinasi nasional Kementerian Dalam Negeri di Semarang. 

Dari percakapan saat perjalanan menuju Ibu Kota Provinsi, kutipan yang cukup menarik adalah ketika orang nomor satu di Kecamatan terbesar sekaligus terdalam di Kabupaten Sintang tersebut mengatakan "saya dari daerah kecamatan paling pedalaman dan tertinggal di Kabupaten Sintang, untuk sampai kabupaten saja akses kami tercepat lewat air yang memakan waktu -+ 5-6 Jam menggunakan sepit boat. Kalau ke Pontianak (Ibu kota Provinsi) masih -+ 400 KM atau 1 malam (7-8 jam), ya seenggaknya bisa habis mpe jutaan lah". 

Begitulah sekilas gambaran perjuangan akses camat dan warga Kecamatan Ambalau yang tersebar di 33 desa dengan luas -+ 6000 KM persegi. Semoga tidak ada lagi bentuk-bentuk penjajahan paradigma kesehatan masyarakat baik di Kota metropolitan hingga pedalaman Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun