Tetapi Isu yang beredar saa itu dengan banyak versi dan sumber, menjadikan dugaan kematian bayi itu  semakin rumit dan pentingnya masalah tersebut dimata publik. Apalagi dengan langsung menyimpulkan dan memutuskan siapa yang bersalah dan benar dalam kasus tersebut tanpa melihat dan mengetahui kronologis dari berbagai sumber yang terkait. Hal seperti itu justru akan menjadi blunder, pertanyaan baru dan boomerang bagi diri sendiri.
Berkat ramainya berita kasus Debora diberbagai media, menjadikan seolah olah semua pihak seakan harus terlibat baik langsung maupun tidak langsung.
Sisi positifnya adalah adanya satu masalah membuat masalah yang lain ikut terangkat supaya segera teratasi. Sedangkan sisi negatifnya waktu, fikiran dan tenaga bahkan mungkin anggaran negara akan terkuras mendadak untuk menangani satu masalah tersebut diantara berbagai masalah yang mungkin jauh lebih besar dan lebih kepada akar atau sumber masalah yang sesungguhnya.
Kasus Debora bukanlah kasus yang pertama. Tetapi apa yang terjadi ketika setiap satu kasus kematian bayi atau anak di daerah tertentu menjadi sebuah alasan untuk ditundanya pembahasan anggaran kesehatan negara yang dampaknya bisa menyangkut nasib seluruh rakyat indonesia. Jika pelayanan kesehatan tidak segera dapat anggaran sesuai kebutuhan dan tepat waktu, bagaimana nasib ratusan juta anak dan masyarakat Indonesia. Mungkinkah pelayanan kesehatan lain dan sektor non kesehatan lain tidak akan terganggu?.
Ada baiknya setiap masalah perlu ditelusuri akar masalah dari berbagai sisi, kenapa kasus Debora atau kematian anak bisa sampai terjadi. Jika kasus serupa terjadi di Kalimantan atau Papua yang aksesnya jauh lebih sulit, apa mungkin akan timbul dampak yang sama juga. Seringkali media dan tokoh publik bisa menjadikan sesuatu yang kecil atau biasa menjadi besar atau luar biasa.
Kasus Debora merupakan salah satu dari ribuan kasus Angka Kematian Bayi (AKB) yang terjadi akibat pelayanan kesehatan dan pelayanan publik di Indonesia. Sebagai pengingat, bahwa data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menyebutkan kasus AKB di Indonesia mencapai 66.000 setiap tahunnya. Pertanyaan besarnya adalah, apakah ini hanya kelalaian sektor kesehatan?
Jauh lebih ironi ketika kita membuka data hasil pemantauan status gizi Indonesia 2016. Total mencapai 404 Kabupaten/Kota yang yang status gizinya dikatakan akut plus kronis, 63 akut, 20 kronis dan hanya 9 daerah yang bebas masalah gizi.
Lebih dari sepertiga anak atau 37% anak Indonesia mengalami masalah gizi stunting (anak pendek dan sangat pendek). 159 juta anak di dunia yang mengalami masalah gizi, sembilan jutanya adalah warga Indonesia. Artinya pertumbuhan tidak maksimal diderita oleh sepertiga lebih anak Indonesia, dangan pernyataan lain satu dari tiga anak mengalami stunting. Â
Masalah status gizi Indonesia khususnya stunting menjadi yang terbesar se Asia Tenggara dan masuk lima besar dunia dengan tiga masalah gizi. Bukan tidak heran jika Indonesia menjadi pusat perhatian dunia karena masalah gizi berdampak permanen, sistemik, menurun kegenerasi berikutnya sampai jadi ancaman AKB.
Secara ilmiah masalah gizi menjadi penyebab masalah kesehatan masyarakat baik penyakit infeksi, penyakit tidak menular dan berbagai masalah kesehatan bahkan sampai ketingkat kecerdasan dan jadi faktor pemicu AKB. Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK) menjadi suatu periode emas atau waktu yang paling tepat untuk memperhatikan masalah kecukupan gizi ibu dan anak. Jelas masalah gizi bukan hanya semata tanggung jawab kementerian kesehatan, RS, Puskesmas, Ibu dan keluarganya saja, tetapi juga menjadi tanggung jawab semua sektor negeri ini.
Masalah Debora, stuntingatau penyebab kematian anak tidak bisa muncul berdiri sendiri dan semata mata hanya sektor kesehatan yang menjadi penyebabnya. Karena hal itu jelas sangat terkait dengan sektor non kesehatan lainya. Bahkankajian Badan Kesehatan Dunia, Bank Dunia bersama organisasi pangan dan anak sedunia menyimpulkan peran sektor/lembaga publik terkait diluar sektor kesehatan memiliki peran dan pengaruh hingga 70%. Jika memang demikian, jelas sangat bertentangan dengan hasil kajian lembaga internasional tersebut, ketika terjadi masalah kesehatan atau kematian anak, kita menuding bahwa hanya sektor kesehatan yang harus bertanggung jawab terhadap masalah tersebut.
Banyak negara maju bisa dijadikan referensi dan acuan dalam sistem kesehatan dan sistem pembangunan termasuk kebijakan politik, kebijakan ekonomi, dan kebijakan pangan yang secara ilmiah sangat terkait dengan masalah gizi dan AKB. Salah satunya adalah Negara Jepang. Sejak awal bangkit dari keterpurukan, Jepang sangat perhatian dan konsen dalam hal akses, mutu hingga keamanan pangan selain sektor publik sebagai penunjang sektor pendidikan dan kesehatan.
Apapun arah atau gaya politik dan kebijakan yang dipilih oleh negara-negara maju, sektor publik tetap menjadi sebuah prioritas utama mereka. Semoga para aktor dan eksekutor kebijakan Indonesia baik dari level pusat maupun daerah bisa mengimbangi persaingan global sebagai wujud daya saing kita dalam hal pembangunan. Syukur-syukur jika kita bisa lebih baik daripada upaya negara maju dalam menghadapi tantangan dan masalah kesehatan seperti AKB, stunting serta masalah pembangunan disektor lainya.
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H