Toleransi Antara Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral
Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta berdiri berseberangan di pusat kota Jakarta, menjadi simbol nyata dari toleransi beragama di Indonesia. Keberadaan dua tempat ibadah ini tidak hanya mencerminkan keragaman agama, tetapi juga menunjukkan bagaimana umat beragama dapat hidup berdampingan dengan harmonis. Dalam artikel ini, kita akan membahas berbagai aspek yang menunjukkan hubungan toleransi antara Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral.
Sejarah dan Arsitektur
Masjid Istiqlal, yang diresmikan pada tahun 1978, adalah masjid terbesar di Indonesia dan menjadi lambang kemerdekaan. Sementara itu, Gereja Katedral Jakarta, yang dibangun pada tahun 1901, merupakan salah satu gereja tertua di Jakarta. Kedua tempat ibadah ini memiliki arsitektur yang megah dan menjadi ikon kota Jakarta. Keberadaan mereka yang berdekatan menciptakan suasana yang unik, di mana dua keyakinan dapat saling menghormati.
Bentuk Toleransi dalam Kehidupan Sehari-hari
Toleransi antara Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral terlihat dalam berbagai bentuk interaksi sosial. Salah satu contoh paling sederhana namun signifikan adalah pemanfaatan lahan parkir. Setiap kali ada perayaan hari raya keagamaan, kedua tempat ibadah saling membuka akses parkir untuk umat yang ingin beribadah. Misalnya, saat Natal, umat Katolik diperbolehkan memarkir kendaraan mereka di Masjid Istiqlal, dan sebaliknya saat Idul Fitri.
Suasana Ibadah Bersama
Ketika kedua tempat ibadah melaksanakan ibadah secara bersamaan, suasana toleransi semakin terasa. Contohnya, saat ibadah Jumat Agung di Gereja Katedral bersamaan dengan salat Jumat di Masjid Istiqlal. Umat dari kedua agama saling menghormati dan tidak merasa terganggu oleh kegiatan ibadah masing-masing. Suara doa dari Gereja Katedral bahkan terdengar hingga ke halaman Masjid Istiqlal tanpa menimbulkan ketidaknyamanan bagi jemaah masjid.
Terowongan Persahabatan
Salah satu inovasi yang menonjol dalam hubungan ini adalah terowongan persahabatan yang menghubungkan kedua tempat ibadah. Terowongan ini bukan hanya sarana transportasi tetapi juga simbol kerukunan antar umat beragama. Melalui terowongan ini, umat dari kedua agama dapat saling mengunjungi tanpa merasa terasing. Terowongan ini diresmikan sebagai simbol toleransi dan kerukunan umat beragama.
Momen Perayaan Bersama
Selama momen-momen penting seperti Natal dan Idul Fitri, suasana toleransi semakin terasa. Umat Kristiani dapat mendengar suara azan dari Masjid Istiqlal saat mereka merayakan Natal, sementara umat Muslim tidak merasa terganggu dengan perayaan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun berbeda keyakinan, masing-masing pihak memberikan ruang bagi satu sama lain untuk menjalankan ibadah.
Pengakuan Internasional
Toleransi yang terjalin antara Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral juga mendapatkan pengakuan dari dunia internasional. Sekretaris Jenderal Organisasi Kerjasama Islam (OKI) mengungkapkan kekagumannya terhadap kerukunan antara kedua tempat ibadah ini setelah melakukan kunjungan ke sana. Ini menunjukkan bahwa hubungan baik antara dua tempat ibadah ini tidak hanya penting bagi masyarakat lokal tetapi juga menjadi contoh bagi negara lain.Â
Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral bukan hanya sekadar bangunan religius; mereka adalah simbol toleransi yang mengajarkan pentingnya saling menghormati dan hidup berdampingan dalam keragaman. Hubungan baik antara kedua tempat ibadah ini menjadi contoh inspiratif bagi masyarakat Indonesia dan dunia tentang bagaimana perbedaan dapat menjadi kekuatan untuk menciptakan harmoni sosial. Dengan terus memupuk nilai-nilai toleransi ini, diharapkan masyarakat dapat menjaga kerukunan dan kedamaian di tengah keberagaman yang ada
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H