Mohon tunggu...
Agus Santoso
Agus Santoso Mohon Tunggu... Sejarawan - PNS

Senang membaca buku dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Salah Satu Upaya Pelestarian Arsip sebagai Sumber Sejarah adalah Melalui Digitasi

16 Desember 2024   12:00 Diperbarui: 17 Desember 2024   18:33 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penaikan Bendera Merah Putih, disaksikan oleh Sukarno dan Moh. Hatta, 1945. Sumber : ANRI, Kempen R 580811 FG 2

1. Arsip adalah Rekaman Kegiatan 

Dalam Undang Undang Nomor 43 Tahun 2009, pasal 1 disebutkan bahwa arsip adalah rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat dan diterima oleh lembaga negara, pemerintahan daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan perseorangan dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 

Disebutkan dalam Undang Undang Kearsipan tersebut bahwa arsip terdiri dari berbagai bentuk seperti kertas, foto, film, video, peta, audio, kartografi/kearsitekturan, mikrografik, dan elektronik. 

Hal ini menandakan bahwa perkembangan dunia kearsipan sudah ada peningkatan, yang sebelumnya orang hanya mengenal arsip itu hanya kertas saja. Namun dalam perkembangannnya segala hal media yang dapat merekam kegiatan atau peristiwa dinamakan arsip.

Setiap waktu semua orang dapat melakukan kegiatan dan merekamnya untuk kepentingan sendiri, keluarga, dan kantor, bahkan rekaman tersebut ada yang diabadikan untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara atau dihapus, karena dianggap kurang bermanfaat. Namun demikian ada juga rekaman kegiatan yang mengandung unsur sejarah seperti lokasi meletusnya Gunung Krakatau tahun 1888, perlawanan Pangeran Diponegoro 1825 - 1830, pembacaan Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945, pelantikan Presiden RI dari masa Sukarno hingga Prabowo Subianto, dan lainnya. Semua itu terekam dalam arsip, baik arsip konvensional (kertas) maupun media baru (media selain kertas).

Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) sebagai Lembaga Negara Non Kementerian (LNPK) yang mempunyai tanggung jawab dalam bidang kearsipan nasional, wajib untuk melaksanakan pelindungan, pemeliharaan, penyelamatan dan pelestarian arsip, baik yang berasal dari Lembaga Pemerintah, Perusahaan, BUMN, Organisasi Politik, Organisasi Masyarakat, dan Perseorangan di wilayah pusat. Diwajibkan pula bagi Pemerintah Daerah untuk melaksanakan pelindungan, pemeliharaan, penyelamatan dan pelestarian arsip di wilayah masing-masing. 

Setiap Pemerintah Daerah Provinsi akan melaksanakan kegiatan tersebut pada Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di wilayahnya, sedangkan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota akan melaksanakan hal yang sama. Arsip yang dikelola oleh daerah dinamakan sebagai arsip daerah atau lokal (Helius Sjamsuddin: 2007, hlm. 125; lihat juga Louis Gottschalk: 1986, hlm. 35 - 38). Sementara itu, untuk Lembaga Pendidikan, dalam hal ini Perguruan Tinggi akan melakukan hal yang sama di lingkungan masing-masing.

Peta ibukota jogya & istana 1830 . Sumber : ANRI, De Haan 
Peta ibukota jogya & istana 1830 . Sumber : ANRI, De Haan 

Dapat kami informasi, bahwa sampai saat ini ANRI telah melaksanakan pelindungan, pemeliharaan, penyelamatan dan pelestarian arsip kertas berjumlah 30.664,60 Meter Linier (213.757.600 lembar). Jumlah arsip kertas apabila dikonversikan ke dalam satuan boks berjumlah 150.221 boks. Arsip yang tersimpan tersebut terdiri dari khasanah:

  1. Masa VOC 1602 – 1799
  2. Masa Hindia Belanda 1800 – 1941
  3. Masa Inggris 1811 – 1816
  4. Masa Jepang 1942 – 1945 (berupa wawancara sejarah lisan dengan 40 orang yang mengalami peritsiwa tersebut, arsip perseorangan, dan buku Djawa Baroe)
  5. Masa Republik 1945 – hingga saat ini

Penaikan Bendera Merah Putih, disaksikan oleh Sukarno dan Moh. Hatta, 1945. Sumber : ANRI, Kempen R 580811 FG 2
Penaikan Bendera Merah Putih, disaksikan oleh Sukarno dan Moh. Hatta, 1945. Sumber : ANRI, Kempen R 580811 FG 2

2. Arsip sebagai Sumber Sejarah

Menurut metodologi disiplin sejarah, posisi arsip sebagai sumber sumber sejarah menempati kedudukan yang tertinggi dibanding dengan sumber sejarah lainnya atau dapat dikatakan sebagai sumber primer (primary sources) (Mona Lohanda, 2010: 134). 

Tentunya hal ini bukanlah berlebihan, nyatanya bahwa arsip diciptakan atau tercipta pada waktu yang bersamaan atau setelah peristiwa itu terjadi dengan durasi waktu yang tidak terlalu lama. 

Catatan-catatan yang dituangkan dalam arsip tersebut memiliki data dan fakta yang autentik, kredible dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai bahan bukti sejarah, antara lain seperti ditandatanganinya Tracktat London pada 17 Maret 1824, ditandatanganinya naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Pertempuran Surabaya 10 November 1945, Bandung Lautan Api 24 Maret 1946, Serangan Umum 1 Maret 1949. Bukti-bukti tertulis itu dapat disebut juga dengan arsip.

Seorang ahli sejarah yang bernama Leopold Van Ranke, mengatakan “...no document, no history” (Louis Gottschalk: 1986, hlm. 32. Lihat juga, Sartono Kartodirdjo: 1980, hlm. 37). 

Pernyataan ini dapat menggambarkan 2 (dua) hal. Pertama, bahwa rekontruksi sejarah hanya mungkin kalau tersedia arsip yang merupakan data primer dalam penelitian sejarah. 

Kedua, sejarah baru dimulai ketika masyarakatnya sudah mengenai tulisan. Sejarah dapat bermakna apabila peristiwa yang telah terjadi itu terdapat sumber yang menyertainya sebagai bukti otentik, rekaman sejaman (buku-buku catatan dan memori pribadi), laporan konfindesial (berita resmi militer), laporan umum (surat-surat kabar), kuesioner (informasi dan opini), dokumen-dokumen pemerintah (undang-undang dan peraturan-peraturan), pernyataan opini (tajuk rencana dan sambutan), fiksi (nyanyian dan puisi), dan cerita rakyat (folklore) (Dudung Abdurahman: 2007, hlm. 41).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peristiwa itu benar-benar terjadi dan bukan omong kosong atau gosip belaka, seperti yang dikatakan oleh Leopold Van Ranke menganjurkan supaya sejarawan hanya menulis “apa yang sesungguhnya terjadi” (Louis Gottschalk: 1986, hlm. 28). 

Hal yang demikian itu dinamakan sejarah serba obyektif peristiwa atau kejadian yang terjadi di masa lalu sesuai dengan ruang dan waktu, dan dapat dibuktikan dengan sumber-sumber otentik, artinya peristiwa-peristiwa tersebut benar-benar terjadi dan didukung oleh evidensi-evidensi yang menguatkan, seperti saksi mata (witnes), peninggalan-peninggalan (relics), dan catatan-catatan (record) (Sjamsuddin, Helius: 2007, hlm. 11, lihat juga Sartono Kartodirdjo: 1992, hlm. 62 - 65).

Oleh karena itu keberadaan arsip pada suatu peristiwa adalah sangat penting sebagai sumber sejarah dan bahan penelitian yang akan digunakan oleh peneliti dalam rangka merangkaian suatu peristiwa dengan peristiwa yang lainnya. 

Keberadaan arsip sangat dibutuhkan untuk merekonstruksi kembali peristiwa yang telah terjadi pada masa lampau. Tanpa arsip atau peninggalan lainnya, maka siapapun orangnya tentu tidak akan dapat banyak berbicara mengenai masa lalu. Perlunya arsip atau bukti lainnya adalah untuk menggambarkan suatu peristiwa yang terjadi dan didasarkan bukti yang ada.

Arsip sebagai dokumen tertulis tidak pernah dengan sengaja diciptakan untuk kepentingan sejarah. Arsip sebagai sumber penelitian memperoleh tempat yang pertama sebagai bahan yang dipergunakan untuk penulisan sejarah dan diciptakan dalam suasana yang sezaman dan dekat dengan peristiwa yang terjadi dapat berarti sebagai firtshands knowledge (Mona Lohanda : 2011, hlm. 12 – 15). Terdapat beberapa sudut pandang akademis yang menempatkan arsip sebagai sumber penelitian:

  1. Arsip merupakan sumber sejarah yang menempati kedudukan tertinggi dibanding dengan sumber lainnya;
  2. Arsip diciptakan dalam suasana yang sezaman dengan dengan peristiwanya;
  3. Arsip merupakan firsthand knowledge yang kredibiltasnya dapat diandalkan;
  4. Arsip mempunyai nilai informasi dan nilai kebuktian

Arsip diperlukan juga dalam penelitian berbagai cabang ilmu. Dengan demikian, segala jenis informasi yang tercakup dalam catatan arsip dapat menjadi bukti penjelasan dan acuan bagi kepentingan analisis. 

Mungkin pada masa lalu orang tidak begitu menggubris arti sebuah kuitansi pembayaran honorarium penulisan yang dilakukan oleh sebuah majalah di masa pemerintahan Kolonial Belanda kepada Sukarno.

Bagi seorang ahli sosiologi, kertas kecil itu sangat berarti untuk melihat situasi sosial dan tingkat perkembangan kuitansi yang dipergunakan pada waktu itu. Dengan melihat secarik kertas tersebut, seorang ahli ekonomipun tentunya akan berusaha untuk mengetahui berapa besar honorarium yang diterima oleh seorang penulis pada setiap kali tulisannya dimuat dalam penerbitan majalah itu. Dengan demikian banyak hal dan gambaran yang dapat diperoleh dari apa yang tercantum, terekam, tertulis dalam arsip, sebab arsip itu sendiri berarti catatan tentang segala kegiatan kehidupan manusia, baik secara pribadi, sebagai warga negara, sebagai anggota masyarakat atau sebagai anggota sebuah bangsa. 

Arsip perlu dihidupkan dan dapat dihidupkan sebagai sumber bahan sejarah. Yang menghidupkan adalah manusia-manusia, yang hidup jiwanya dengan “sense of history” dengan kesadaran sejarah (Ruslan Abdulgani: 1980, hlm. 12)

Arsip Memori van Overgave, yaitu semacam laporan tertulis dan merupakan bahan pertanggungjawaban dari seorang pejabat pemerintahan pada masa pemerintahan kolonial Belanda yang akan meninggalkan tugas yang pernah diembannya (sekarang disebut memorandum akhir jabatan) (Mona Lohanda : 2011, hlm. 20 – 22 dan 36 – 37). 

Hal ini perlu dilakukan agar kegiatan-kegiatan yang pernah dilakukan oleh pejabat itu dapat diketahui secara lengkap oleh pimpinannya atau dapat dipergunakan sebagai bahan referensi bagai para pejabat lainnya yang menggantikannya. Dengan demikian diharapkan pejabat pengganti telah mendapatkan informasi mengenai daerah yang bersangkutan yang dapat membantu penyelenggaraan tugas dan kebijaksanaan yang akan dijalankan selanjutnya. 

Laporan-laporan yang ditulisnya mengenai perjalanan kariernya pada akhirnya dapat disebut sebagai arsip. Dengan adanya arsip itu para peneliti akan lebih mudah melakukan penelitiannya untuk mengetahui keadaan yang terjadi pada suatu daerah tertentu yang pernah dipimpin oleh pejabat itu.

Arsip Residensi (khasanah arsip daerah) adalah arsip yang lebih banyak memberikan informasi yang lebih jelas mengenai kondisi suatu daerah di wilayah nusantara (Hindia Belanda) pada masa pemerintahan Kolonial. Yang termasuk dalam khsanah Arsip Residensi antara lain: Batavia, Banten, Parahiyangan (Jawa Barat), Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Madura, Aceh, Medan, Padang, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Barat, Makassar, Manado Gorontalo, Ambon, Banda, Bali, Timor Timor (Mona Lohanda: 2011, hlm. 19 – 21). 

Laskar Wanita Indonesia (LASWI), 12 Oktober 1945. Sumber : ANRI, R 521203 FG 1-108
Laskar Wanita Indonesia (LASWI), 12 Oktober 1945. Sumber : ANRI, R 521203 FG 1-108

Teuku Umar dan para pejuang Aceh, 1873. Sumber : ANRI, KIT ACEH 993-64
Teuku Umar dan para pejuang Aceh, 1873. Sumber : ANRI, KIT ACEH 993-64

3. Digitasi untuk Kepentingan Pelestarian Arsip

Arsip sebagai sumber sejarah dan penelitian, merupakan bahan bukti yang harus dilestarikan. Upaya untuk melestarikan arsip tersebut, harus terus dilakukan mengingat bahwa arsip tersebut akan selalu dipergunakan oleh lembaga pemerintah, pemerintah daerah, Lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi masyarakat, organisasi poliitk, dan perseorangan (sejarawan, peneliti, dan masyarakat umum), baik masa kini maupun mendatang.

Setiap lembaga kearsipan baik di pusat (ANRI), daerah (LKD) maupun lembaga pendidikan (Lembaga Karsipan Perguruan Tinggi Negeri (LKPTN)), akan mengupayakan sebaik mungkin untuk melestarikan arsipnya yang telah diperoleh dari lembaga di lingkungan pemerintah pusat, lembaga di lingkungan pemerintah daerah maupun di lingkungan perguruan tinggi, yang ditangani langsung oleh LKPTN di lingkungannya masing-masing. Hal ini sesuai dengan amanat undang-undang kearsipan.

Untuk melestarikan arsip agar selalu mudah dipergunakan, dilayankan dan diakses kepada para pengguna arsip, bukanlah perkara yang mudah. Media arsipnya apapun akan rusak, apabila tidak ada perawatan, pelindungan, pemeliharaan, dan pelestarian yang terus menerus dan berkesinambungan. 

Bukan hanya fisik arsip saja yang menjadi fokus pelestarian tersebut, namun informasinya juga perlu dijaga dan dilestarikan agar nantinya tidak hilang atau menimbulkan tafsir yang lain. Salah satu Langkah yang perlu dilaksanakan agar arsip tersebut dapat selalu dipergunakan dan dibaca adalah dengan jalan digitasi arsip.

Digitasi arsip adalah proses mengubah arsip analog menjadi format digital. Digitisasi dapat mengubah proses pekerjaan menjadi digital, seperti mengubah arsip analog dari bentuk fisik menjadi kode biner yang dapat digunakan sebagai data digitagitasi. 

Digitasi memiliki beberapa dampak, di antaranya mempengaruhi cara data disimpan dan diakses, menambah nilai dalam hal pelestarian dan aksesibilitas data. Arsip hasil konversi adalah arsip yang telah dilakukan perubahan bentuk dari fisik arsip menjadi bentuk digital (Peraturan ANRI No 2 Tahun 2021, pasal 1).

Dalam dunia kearsipan, digitasi berfokus pada konversi data. Digitasi mempengaruhi cara data disimpan dan diakses. Konversi arsip statis dalam bentuk digital ditujukan untuk kebutuhan akses, pelestarian dan pelayanan arsip statis, keutuhan informasi arsip statis, dan kemudahan pengelolaan dan pemanfaatan arsip statis yang autentik dan terpercaya. Pelaksanaan konversi arsip ke dalam bentuk digital harus menjamin keautentikan arsip hasil konversi dan memenuhi karakteristik arsip digital (Peratutan ANRI, No 2 Tahun 2021, pasal 2 dan 3).

ANRI telah berupaya keras untuk selalu melaksanakan digitasi arsip ini sejak tahun 2010 dengan swakelola, tanpa melibatkan pihak ketiga. Namun jauh sebelumnya pelaksanakan pelestarian arsip dilaksanakan dengan cara memicrofilmkan arsip, dari arsip kertas difoto dengan menggunakan mikrofilm dan mikrofis. 

Keduanya merupakan metode pra-digital untuk menyimpan dokumen dalam bentuk yang ringkas. Namun dalam perkembangannya ternyata penggunaan microfilm dan mikrofis kurang praktis bagi sejarawan, peneliti maupun pengguna arsip, karena diperlukan alat memutar gulungan untuk menemukan item tertentu. Sedangkan mikrofis lebih mudah diatur dan diakses namun arsip tersebut hanya dapat dilihat sebagian dari seluruh arsip yang telah dilakukan pembuatan microfis. 

Dengan melihat adanya kelemahan dan kurang praktisnya penggunaan microfilm maupun microfis, maka dalam rangka pemenuhan kebutuhan akan pelestarian arsip agar dapat selalu dipergunakan dan diakses setiap saat, sejak tahun 2010 ANRI menggunakan mesin digital agar dapat mempermudah para pengguna arsip dalam melakukan penelitian dan penelusuran arsip yang ingin dicarinya. 

Upaya ini terus dilakukan sampai tahun 2017, tetapi tidak memperoleh hasil yang memuaskan, oleh karena hasil yang diperoleh sangat lambat. Untuk itu, dengan bantuan pihak ketiga, proses digitasi arsip dapat menghasilkan digitasi yang lebih dari sebelumnya. Sampai tahun 2022, jumlah arsip yang telah digitasi adalah 1.919.719 (247.25 ML)

Pegawai sedang melaksanakan digitasi arsip kertas.Sumber : ANRI, 2023 
Pegawai sedang melaksanakan digitasi arsip kertas.Sumber : ANRI, 2023 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun