Mohon tunggu...
Agus Heriyanto
Agus Heriyanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Karyawan Swasta dan Mahasiswa

Karyawan swasta yang bekerja disalah satu perusahaan pengembang yang berada di Lampung dengan hobi membaca dan saat ini juga beraktivitas sebagai mahasiswa di Salah satu Perguruan tinggi swasta di Jakarta (Universitas Siber Asia)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Manajemen Konflik Penanganan Pandemi Covid-19

25 Juli 2021   11:45 Diperbarui: 25 Juli 2021   12:27 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandemi virus corona bukan lagi menjadi masalah di dunia medis. Semakin luas penyebaran dan tingkat kematian penyakit tersebut membuat negara-negara di dunia berpacu dengan waktu dan ketidaksiapan mereka untuk segera mencari solusi yang tepat. Beberapa cara yang dicoba oleh banyak negara yang terdampak virus corona adalah karantina wilayah (lockdown) dan social distancing. Penerapan metode penguncian dan pemisahan sosial di satu sisi dapat menekan penyebaran infeksi seperti yang dialami China dan Korea Selatan. 

Namun, kebijakan ini juga memiliki konsekuensi yang tak kalah menyakitkan. Kedua cara tersebut dapat mematikan perekonomian di daerah yang menerapkan kebijakan ini. Terakhir,apabila kebijakan yang diambil tidak dikelola dengan persiapan yang memadai, maka kebijakan ini berpotensi memicu konflik sosial.

Dampak virus corona telah menyebabkan kerentanan ekonomi bagi sebagian besar penduduk dunia, terutama mereka yang berpenghasilan rendah. Pada akhirnya, hal ini berdampak pada penurunan kelas sosial secara besar-besaran di masyarakat. Virus corona tidak hanya menyebabkan kematian, tetapi juga melahirkan orang miskin baru.

Indonesia merupakan negara yang tercatat dengan angka kematian akibat Pandemi Covid-19 (Coronavirus) tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Hingga 12 Mei 2020, terdapat 14.749 kasus virus corona dengan 1.007 kematian. Tingkat kematian akibat pandemi mencapai sekitar 6,8 persen. Rata-rata pengujian Sampel yang dilakukan sejak 2 Maret 2020 hingga 11 Mei 2020, pemerintah baru mampu menangani sekitar 1.557 sampel uji.

Kondisi ini tidak terlepas dari buruknya respon dan tindakan Pemerintah Indonesia dalam menangani isu virus Corona. Respons pemerintah Indonesia diwarnai dengan pernyataan yang terkesan meremehkan virus corona dan penanganannya yang lamban. Para Pakar Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) bahkan menyatakan bahw virus tersebut diprediksikan telah masuk ke Indonesia sejak minggu ke-3 Januari 2020.

Pandemi virus corona telah berdampak sistematis dan multidimensi pada semua aspek kehidupan. Secara ekonomi, pandemi virus corona telah memberi banyak efek pada sektor ekonomi, seperti runtuhnya dunia usaha, kemiskinan, dan kelaparan. Secara sosial, pandemi virus corona juga telah menimbulkan kehebohan konflik, konflik ketidakharmonisan akibat kemiskinan, konflik agama dan ibadah, bahkan konflik konfrontatif akibat kebijakan pemerintah yang tidak tepat.

Pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk mengantisipasi ancaman yang ditimbulkan oleh pandemi virus corona. Salah satunya melalui perbaikan, baik fiskal maupun moneter yang dituangkan dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara. Kebijakan tersebut seperti menyusun program dan realokasi anggaran untuk menghadapi dampak yang ditimbulkan oleh pandemi virus corona.

Menurut Frost & Wilmot (1978) Konflik merupakan sebagai suatu perjuangan yang diekspresikan antara sekurang-kurangnya dua pihak yang saling bergantung, yang mempersepsi tujuan-tujuan yang tidak sepadan, imbalan yang langka, dan gangguan dari pihak lain dalam mencapai tujuan mereka. 

Masalah pemenuhan kebutuhan dasar menjadi pemicu utama yang mendorong masyarakat untuk melakukan protes dan melakukan kekerasan. Ted Robert Gurr menjelaskan fenomena ini dalam hal kesulitan relatif. 

Secara sederhana, konsep ini menjelaskan bahwa orang menganggap bahwa mereka memiliki hak-hak dasar yang melekat padanya. Di sisi lain, sebenarnya mereka tidak dapat memenuhi semua hak tersebut karena terhalang oleh struktur sosial yang ada di dalamnya. Kesenjangan antara keduanya, atau ketika "harapan" tidak sesuai dengan "kenyataan", akan membuka peluang ketidakpuasan dan protes (Gurr 1971).

Menurut Johan Galtung Kekerasan bisa saja terjadi dalam hal suatu konteks kebutuhan dasar manusia yang tidak dapat dipenuhi untuk mencukupi kehidupan sehari-harinya. Mengenai kondisi ini, Johan Galtung menawarkan konsep konflik struktural (Structural Conflict Concept) dalam memandang hubungan antara kekerasan dan status kelas sosial dalam masyarakat. 

Konflik struktural didefinisikan sebagai situasi konflik antara kelas sosial atas yang ingin mempertahankan posisinya melawan kelas bawah yang menolak untuk berada di posisi itu selamanya. untuk mengatasinya.

Di tengah pandemi virus corona saat ini, konflik di masyarakat tidak bisa dihindari. Banyak konflik yang terjadi, seperti beberapa orang yang tidak setuju dengan pemberlakuan kebiasaan baru. 

Pasalnya, saat itu kurva kasus aktif virus corona belum landai sehingga situasi semakin tidak kondusif. Namun, sebagian orang setuju dengan pemberlakuan kebiasaan baru. Dengan tatanan kehidupan baru, masyarakat dapat melakukan aktivitas seperti biasa dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.

Berkaitan upaya pendistribusian bantuan sosial, sangat rentan sekali terhadap peristiwa konflik di kalangan masyarakat. Bahkan, ada rasa aib dan gejolak di masyarakat. Gejolak ini bisa terjadi jika bantuan sosial yang diberikan tidak tepat sasaran. Tidak menutup kemungkinan akan terjadi kecemburuan dan ketidakharmonisan antar masyarakat yang berpotensi menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan. Gejolak itu bisa berubah secara vertikal jika konflik tidak ditangani dengan baik. 

Sebab, ada pihak yang menuding pemerintah tidak adil dan tidak tepat dalam memberikan bantuan tersebut. Padahal, pemerintah Indonesia telah berupaya agar bantuan sosial tersebut dapat disalurkan secepat mungkin. Namun, sering kali penyaluran bansos dinilai lamban. Akibatnya, hal itu mengarah pada peningkatan frustrasi dan keresahan sosial, terutama di kalangan masyarakat miskin. Masalah menjadi lebih rumit jika proses penyaluran bansos cenderung selektif.

MANAJEMEN KONFLIK

Manajemen konflik mengarah pada perilaku yang dilakukan orang untuk menangani konflik (Tjosvold et al., 2014). Model kepedulian ganda yang berfokus pada merawat diri sendiri dibandingkan dengan merawat orang lain, mendorong munculnya lima gaya manajemen konflik (Folger et al., 2001), yaitu:

  • Kolaborasi, kondisi ini dapat diwujudkan melalui eksposisi ide-ide pemersatu yang ditetapkan oleh banyak orang. Kolaborasi merupakan hasil perpaduan asertif dan kooperatif.
  • Akomodasi ialah dimana  kondisi salah satu pihak bisa mengalah untuk menyelesaikan suatu konflik.
  • Kompromi, terjadi ketika pihak-pihak yang berkonflik bersedia mengalah dan tidak mendapatkan atau mungkin hanya mendapatkan sebagian dari apa yang diinginkannya, demi menjaga hubungan dan kepentingan bersama.
  • Bersaing, pendekatan ini menitikberatkan pada menang-kalah, ada satu pihak yang kalah. Model ini dapat dilaksanakan jika hasil akhir dijadikan sebagai target utama, tanpa memikirkan hubungan yang telah terjalin. Bersaing adalah kombinasi dari ketegasan dan tidak kooperatif. Konflik yang saling bersaing ini merupakan kebalikan dari akomodatif.
  • Penghindaran, suatu kondisi di mana pengambil keputusan menghindari pengambilan keputusan dan mencoba untuk menunda konflik tanpa batas. Konflik penghindaran ini merupakan kombinasi dari sikap tidak tegas dan tidak kooperatif.

Berdasarkan model kepedulian ganda, kolaborasi adalah satu-satunya manajemen konflik yang berfokus pada win-win solution, di mana semua pihak senang karena ide mereka diterima. Walaupun terkadang kolaborasi tidak selalu cocok digunakan dalam segala situasi, terutama saat berhadapan dengan pihak yang curang, namun secara umum kolaborasi dianggap sebagai pendekatan yang sangat konstruktif karena cenderung menghasilkan solusi yang ideal dan dapat membangun hubungan yang positif (Rahim, 2015; Tjosvold et al. , 2014).

MINDFULNESS SEBAGAI ALTERNATIF MANAJEMEN KONFLIK

 Mindfulness ialah merupakan suatu kondisi kesadaran psikologis, atau suatu praktek kesadaran dengan memberikan perhatian apa adanya, tanpa menghakimi, pada saat sekarang (Kabat-Zinn, 2003). Individu yang menggunakan metakognisi hati-hati sangat mampu melepaskan dan mengesampingkan pikiran dan emosi mereka dan memperlakukan mereka hanya sebagai fenomena subjektif dari pikiran, bukan sebagai fitur objektif dari realitas (Vago dan Silbersweig, 2012). 

Selain itu, individu juga mampu mendesentralisasikan, atau mengubah posisi dari sebelumnya, sehingga dapat menjauhkan diri dari kecemasan dan kemudian bertindak sebagai pengamat kondisi yang ada. 

Dengan menggunakan metakognisi yang cermat, individu lebih mampu menguasai dan memilih pikiran, perasaan, dan perilaku yang tepat yang diambil dalam situasi tertentu (Kudesia, 2019), termasuk dalam menghadapi konflik di tempat kerja. 

Menurut model adaptasi hati-hati dari Laurel et al. (2009), metakognisi hati-hati memfasilitasi bentuk adaptif pengaturan diri melalui penilaian ulang kognitif, di mana individu  mengubah pandangan mereka tentang situasi dan makna yang dirasakan, sebelum memunculkan reaksi emosional di dalamnya, menghasilkan respon adaptif (Gross , 1998).

KESIMPULAN

Konflik adalah suatu hal yang mungkin tidak dapat kita hindarkan dalam hidup, karena manusia merupakan makhluk sosial yang unik dan selalu berinteraksi satu sama lain. 

Dengan rasa kepedulian kita dalam membantu untuk memberi jeda waktu sebentar agar individu berhenti sejenak, kemudian mengamati reaksi-reaksi apa yang akan muncul terhadap situasi yang sedang terjadi, untuk kemudian merespon dengan ekologis. 

Dengan melatih diri serta mengimplementasikan Mindfulness dalam menyampaikan komunikasi dan mengatasi konflik, sehingga dapat membantu tercapainya suatu perubahan dalam konflik dan kolaborasi yang dapat mendorong terciptanya produktivitas.

Mewabahnya pandemi Coronavirus di semua negara yang ada didunia memperlihatkan potensi-potensi konflik sosial khususnya di negara-negara berkembang serta lamban dalam merespons situasi ini dengan cepat dan tepat. 

Indonesia sendiri mengalami guncangan di dalam sistem sosialnya, sebagian besar merupakan imbas dari guncangan ekonomi akibat pemberlakuan kebijakan karantina dan Pembatasan Sosial.

Kondisi pandemi Coronavirus sangat diperlukan peran aktif negara sebagai Pemilik kewenangan serta pihak yang memiliki sumber daya untuk memberikan jaminan sosial bagi warga negaranya. Dalam situasi ini, negara idealnya berperan sebagai jangkar yang mampu menjaga kesetimbangan (balance) sistem sosial di wilayahnya melalui tindakan-tindakan yang memadai untuk menegakkan ketertiban sekaligus menjaga kehidupan dan kesejahteraan masyarakatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun