Mohon tunggu...
Agus Esjee
Agus Esjee Mohon Tunggu... Lainnya - Pria pejalan kaki

Membahasakan diam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menggugat Hak Atas Air

21 Maret 2012   05:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:40 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Air adalah sumber kehidupan. Saban hari belasan liter air dibutuhkan setiap individu untuk menunjang aktivitasnya. Mulai dari minum, memasak, sampai mandi. Artinya, air bersifat mutlak dibutuhkan.

Kenyataan bahwa air vital bagi kehidupan, rupanya disadari betul oleh para pendiri bangsa ini. Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan secara jelas bahwa bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat. Kalimat tersebut sangat gamblang menginstruksikan Negara untuk mengelola sumber daya alam, termasuk air. Negara wajib menjamin ketersediaan (availability), akses (accessibility), keterjangkauan (affordability) dan kualitas (quality) air untuk keperluan konsumsi bagi seluruh masyarakat.

Celakanya, dari 230 juta penduduk Indonesia saat ini tidak semuanya dapat mengakses air bersih. Di Jakarta misalnya, jangkauan akses air bersih masih sangat terbatas. Program pipanisasi yang sudah berpuluh tahun didengungkan, sampai saat ini tidak memberikan jawaban atas ketersediaan air bersih bagi konsumen.Lantas dimana hak masyarakat untuk mengakses air bersih seperti diamanatkan dalam UUD 1945?

Pada konteks permasalahan makro yang dihadapi konsumen air Jakarta, setidaknya ada lima hal terkait akses air bersih. Pertama, krisis air baku yang mencakup kuantitas, kualitas dan kontinuitas. Selain dihadapkan pada bahan dasar air bersih yang jelek, konsumen masih dihadapkan pada rendahnya debit pasokan air serta kontinuitas ketersediaan.

Kedua, rendahnya cakupan layanan. Badan regulasi air Jakarta mencatat, hanya 36% dari total rumah tangga di Jakarta yang sudah tercakup oleh layanan air pipa. Selain cakupan yang terbatas, sebarannya juga tidak merata. Dua mitra swasta yang ditunjuk pemerintah DKI sebagai operator dalam mengelola air bersih, belum menunjukan kinerja mumpuni terkait dengan sambungan pipa baru. Porsi pelayanan keduanya masih berkutat pada konsumen lama yang nota bene “warisan” PD PAM Jaya ketimbang membuka sambungan baru.

Ketiga, tingginya in-efisiensi. Tingkat kebocoran air bersih rata-rata mencapai 46%. Tidak saja karena infrastruktur yang mulai rusak, namun kebocoran ini diduga sengaja dilakukan oleh oknum petugas dengan cara memasang sambungan ilegal.

Keempat, tarif sangat tinggi. Dengan tarifpaling tinggi Rp 14.650 per meter kubik dan terendah Rp 1.050 per meter kubik telah menempatkan Jakarta sebagai kota dengan tarif air tertinggi, jika disandingkan dengan kota-kota besar lain di Asia. Angka rata-rata tersebut jauh melebihi tarif serupa di Bangkok, Kuala Lumpur, Manila bahkan Singapura sekalipun.

Kelima, Kontrak kerja sama tak seimbang. Semenjak di teken kontrak kerjasama pada Juni 1998, praktis layanan air bersih di Jakarta berpindah ke swasta. Kontrak kerja dalam durasi 25 tahun, diantaranya mengatur tentang kualitas, kuantitas, kontinuitas air bersih, dan coverage (cakupan). Celakanya, setelah lebih dari satu dasawarsa target-target teknis yang telah disepakati gagal dipenuhi oleh dua operator. Disisi lain, imbalan yang diberikan terhadap kedua operator terus mengalami kenaikkan.

Pada konteks permasalahan mikro, pelanggaran hak-hak konsumen pun menjadi hal jamak. Mengalirnya pengaduan, baik ke media massa, maupun ke lembaga swadaya masyarakat yang concern terhadap air atau hak konsumen, menjadi tengaranya. Menurut data yang dilansir Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tahun 2011 pengaduan kasus air menempati urutan kelima setelah kasus perbankan, perumahan, telekomunikasi dan listrik.

Kendati bukan yang terbanyak, tetapi secara substansi, pengaduan konsumen mencerminkan adanya persoalan mendasar, yaitu Negara belum hadir untuk melindungi masyarakat dan belum tumbuhnya etos operator bahwa konsumen adalah pilar utama dalam menopang bisnisnya. Operator masih “berkacamata kuda” dengan fokus mengeruk keuntungan semata, sekalipun dengan cara melanggar hak konsumen.

Kehadiran Negara (Pemerintah DKI Jakarta) untuk memberikan perlindungan pada masyarakat Jakarta, praktis belum terasakan. Kehadirannya justru terkesan kompromistis dengan pelaku usaha. Memindahkan tanggungjawab penyediaan akses air dari pemerintah ke sektor swasta, sejauh ini menjadi blunder kebijakan. Faktanya, sektor swasta tidak lebih baik dalam memperbaiki kinerja layanan dan memberikan akses dengan cakupan lebih luas.

Pilihan untuk melakukan audit ditiap unit kerja operator penting dilakukan untuk mencegah permasalahan berulang kembali. Termasuk sanksi disiplin tegas bagi oknum yang mengganggu fungsi pelayanan air minum. Banyaknya keluhan juga perlu ditanggapi dengan membuka complaint center dengan penanganan yang cepat. Disamping itu, perlu memberikan edukasi pada konsumen dan stakeholder guna menunjang perbaikan layanan jasa air bersih.

Jika perlu, renegosiasi kontrak kerjasama antara pemerintah dengan dua operator swasta, menjadi sangat urgent untuk menyelesaikan permasalahan layanan air bersih di Jakarta. Kendati renegosiasi ini tidak akan berdampak langsung kepada masyarakat/konsumen.

gambar menculik dari: sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun