Mohon tunggu...
Agus Tula
Agus Tula Mohon Tunggu... Insinyur - This is me, Sihite

Just an ordinary man an amateur author.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Psikologi Sibolga dan Tapanuli Tengah dalam Pembentukan Provinsi "Tapanuli"

7 November 2020   22:51 Diperbarui: 8 November 2020   10:19 816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Tapanuli Peta Kemiskinan”, pernah jadi berita nasional di tahun 80 an. Dengan laporan jurnalisme tiga wartawan Sinar Harapan, harian nasional yang memberitakan keadaan Tapanuli saat itu setelah melakukan peliputan dari seluruh daerah di Tapanuli, sempat membuat panas telinga pejabat propinsi Sumatera Utara dan membuka mata pemerintah pusat dan masyarakat umum. 

Mungkin berita itu tidak terlalu berpengaruh pada kehidupan keseharian masyarakat yang tinggal di Tapanuli saat itu, karena kehidupan tetap sama. Masa kecil saya tidak juga merasakan itu walau sayup-sayup mengingat berita itu. Seniman Batak sampai menggubah lagu, setidaknya dua lagu yang saya tahu tentang kemiskinan dan propinsi Tapanuli ketika itu.

Inilah titik kesadaran akan ketertinggalan Tapanuli dimasa pembangunan orde baru. Di jaman sebelumnya, jaman kolonial sebagai bangsa terjajah hingga di jaman orde lama dengan PRRI juga merupakan titik kesadaran rakyat Tapanuli untuk bangkit, terlepas dari unsur politik yang mengikutinya, namun diyakini memiliki tujuan mulia untuk lebih maju.

Tapanuli secara historis pada jaman pemerintahan Hindia Belanda dibentuk sebagai wilayah pemerintahan setingkat keresidenan, bernama Residente Van Tapanuli. Dalam sejarahnya nama Tapanuli muncul sebagai nama pemersatu puak-puak yang berasal dari suku yang sebenarnya adalah berakar sama, suku Batak, dimana nama Batak tidak diterima semua puak saat itu, karena kesan buruk. 

Tapanuli berasal dari tiga kata, Tapian Na Uli yang awalnya meliputi daerah pantai barat membujur dari Natal, Sibolga hingga Barus. Kemudian wilayah dataran tinggi tanah Batak masuk dalam keresidenan Tapanuli.

Penerimaan nama Batak sebagai suku bangsanya mestinya tidak lah perlu diperdebatkan, karena dari sisi keilmuan, antropologi dan fakta sudah jelas adanya sebagai suku Batak, terlepas itu diterima atau tidak. Saya bahkan menamakan lebih dalam pada kartu identitas pilihan ras sebagai ras Batak. 

Banyak keturunan Batak dari setiap puak yang jadi pesohor mulai jaman dulu. Ada wakil presiden Adam Malik bermarga Batubara dan pernah dua Perdana menteri bermarga Harahap.

Jaman Hindia Belanda, Karesidenan Tapanuli berpusat di Sibolga. Ini tidak terlepas dari kota Sibolga daerah yang lebih maju dan mendukung sebagai pusat pemerintahan saat itu. 

Terakhir tercatat saat kemerdekaan, Keresidenan Tapanuli meliputi daerah Tapanuli Selatan (sekarang: Tapanuli Selatan, Padang Lawas, Padang Lawas Utara, Mandailing-Natal), Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara (sekarang: Tapanuli Utara, Dairi, Pakpak Barat, Toba Samosir, Samosir, Humbang Hasundutan) dan Nias (sekarang: Nias, Nias Selatan, Nias Barat, Nias Utara). Keresidenan Tapanuli sebagai wilayah administrasi sejak jaman Hindia Belanda telah ditandai dengan perbedaan tanda nomor kenderaan bermotor (TNKB), dengan plat BB.

 Tanda nomor kenderaan jaman Hindia Belanda
 Tanda nomor kenderaan jaman Hindia Belanda

Dengan adanya titik kesadaran untuk lebih maju dijaman orde baru, sekelompok masyarakat Tapanuli menggagas dibentuknya propinsi sendiri lepas dari propinsi Sumatera Utara. Karena diyakini dengan rentang kendali pemerintah propinsi hingga mencakup seluruh wilayah Tapanuli dirasa terlalu jauh. 

Dari ibukota propinsi hingga daerah terjauh di Mandailing-Natal paling sedikit memakan waktu 10 jam perjalanan darat. Ketimpangan pembangunan antara Sumatera Timur dan Tapanuli juga sangat nyata. Kondisi jalan, sarana pendidikan, kondisi sosial, dan infrastruktur lain sangat tertinggal.

peta
peta
Kelompok penggagas propinsi awalnya berasal dari berbagai latar belakang dan ketokohan. Dan rasanya semua bekas Keresidenan Tapanuli tidak keberatan, bahkan Nias ikut mendukung saat itu. Tetapi belakang hari para tokoh pengusul pembentukan propinsi dirasa tidak lagi inklusif, terutama setelah reformasi. Inilah awal jalan terjal. 

Jalan yang ditempuh dengan pengusulan dari DPRD propinsi induk kelihatan lebih sulit. Hingga berujung unjuk rasa besar di Gedung DPRD propinsi dan meninggalnya ketua DPRD karena serangan jantung tahun 2009 itu, Abdul Azis Angkat asal Dairi. 

Sejak saat itu semua sejenak terdiam dan sebagian merasa dipojokkan dengan segala stigma demonstrasi rusuh. Keadaan ini tidak mudah. Tokoh unjuk rasa telah mendapat tuntutan hukum dan menjalaninya termasuk Chandra Panggabean, putra GM Panggabean tokoh yang sejak awal aktif mempelopori pembentukan propinsi Tapanuli dan sejak awal menyoroti keterbelakangan Tapanuli melalui surat kabar miliknya.

Setelah beberapa tahun kemudian pengusulan melalui jalan lain dengan langsung mengusulkan ke DPR pusat untuk dimasukkan dalam daftar pembahasan. Rasanya hingga saat ini tinggal menunggu pembahasan, tentunya setelah moratorium pemekaran di cabut, namun dengan daerah Tapanuli pengusul yang tidak lagi utuh. Daerah tidak utuh ini sangat disesalkan dan akan mengandung benih-benih kegagalan.

Kegagalan pengusulan di tahun 2009, harusnya jadi bahan introspeksi. Usulan pemebentukan propinsi Tapanuli yang dirasa terlalu ekslusif didominasi oleh sekelompok orang dan tidak lagi mengindahkan daerah lain di Tapanuli, adalah sumber masalah. Sejatinya usulan ibukota propinsi baru juga harus melalui pertimbangan.

Dari awal, kota Sibolga adalah yang paling layak. Saya tidak melihat hanya kepantasan secara infrastruktur tapi faktor sosio kultural. Secara umum Kota Sibolga dan Tapanuli Tengah lebih majemuk dari segi suku, agama, walaupun suku Batak masih terasa dominan. Disana berdiam suku Batak, Pesisir, Nias, Minang, Jawa, Tionghoa, Melayu, Aceh, Bugis dll. 

Kerukunan tetap terjaga sejauh ini, walaupun tantangan nya juga tetap ada termasuk adanya penyebaran paham radikal global. Agama besar seperti Kristen, Katolik, Islam, Buddha hidup berdampingan, rumah ibadahnya mudah ditemukan. Adat Batak juga masih banyak dijalankan tanpa memandang agama, tentunya dengan penyesuaian disana sini. Saya masih ingat sewaktu krisis besar HKBP, gereja di daerah Sibolga dan Tapanuli Tengah tidak sampai terpengaruh sampai terpecah. Ini tidak terlepas dari keadaan sosial masyarakatnya dan ini modal besar dalam kohesifitas masyarakat menerima keterbukaan.

Seandainya keadaan sosiologi Sibolga dan Tapanuli Tengah ini jadi pertimbangan, daerah lain seperti Nias dan Tapanuli bagian Selatan pasti akan terakomodasi dengan mudah. Saya juga tidak habis mengerti mengapa usulan ibukota di Siborong-borong menjadi lebih kuat. Tidak bisa juga disebutkan daerah itu tepat di tengah-tengah jika melihat rentang Tapanuli sampai ke Mandailing-Natal. 

Bagaimana mungkin tokoh seperti GM Panggabean luput dari faktor pemersatu ini, dia sebagai tokoh kelahiran Sibolga mesti sangat paham sosiologi dan psikologi masyarakat Tapanuli secara umum. Bahkan dengan pertimbangan ini Sipirok juga layak demi inklusifitas Tapanuli. Sangat janggal jika propinsi Tapanuli terbentuk namun ada daerah dengan nama Tapanuli lainnya yang berada di propinsi lain. Saya tidak mengatakan ini masalah agama, ini adalah masalah keadilan. Bagaimana kita melihat kelak akan ada keadilan jika sekarang sudah terlihat tidak ada saling pengertian.

Tiadalah guna mempertahankan ego. Karena kalau hanya melihat syarat minimum jumlah daerah pembentukannya niscaya tujuan tidak akan mudah tercapai. Bayangkan saat ini rumor usulannya berubah jadi hanya daerah Tapanuli Utara, Samosir, Toba Samosir dan Humbang Hasundutan, dan mungkin ikut Dairi, Pakpak Barat dengan menggunakan nama propinsi Tapanuli, terasa janggal. Dengan sumber daya pertanian, industri pabrik pulp, pariwisata, PLTA dan PLTP Sarulla, sudah memadai kah?

Sekarang saat yang sama Nias juga sedang menunggu pembahasan, apakah kelayakan nya sudah dipertimbangkan? Tentunya dari jumlah daerah sudah memenuhi syarat. Tapi coba dilihat faktor lain, jangan sampai menambah daftar daerah pemekaran yang gagal, yang konon mencapai 80% sejauh ini.

Tapanuli bagian Selatan juga sedang menyusun rencana dan akan mengusulkan pembentukan Sumatera Tenggara yang meliputi daerah Tapanuli Selatan, Padang Lawas, Padang Lawas Utara, Mandailing-Natal dan kota Padang Sidimpuan. Lagi-lagi dari syarat jumlah juga sudah memenuhi.

Keadaan ini tidak mudah buat masyarakat Tapanuli Tengah dan Sibolga, dilematis, saya bisa merasakannya. Beberapa kali telah terjadi unjuk rasa penolakan oleh masyarakatnya. Bahkan Walikota Sibolga juga tidak secara jelas mendukung. Tetapi seandainya propinsi Tapanuli yang tidak utuh sebagai Tapanuli tetap terbentuk dengan ketiadaan kata sepakat, mungkin menjadi nama lain seperti rumor beredar, bisa dengan nama propinsi Danau Toba dll. bagaimana dengan Tapanuli Tengah dan Sibolga? Skenario yang mungkin ditempuh, dengan catatan Tapanuli Tengah dan Sibolga tetap satu posisi karena tidak mungkin beda propinsi:

  • Tetap di propinsi induk
  • Bergabung dengan rencana propinsi baru Sumatera Tenggara (Tapanuli bagian Selatan)
  • Bahkan juga mungkin bergabung dengan rencana propinsi baru, Nias.

Sebetulnya Sibolga sebagai kota sangat terbatas wilayah administrasinya. Ibukota propinsi baru, bisa diusulkan Sibolga dengan mengambil daerah Tapanuli Tengah sebagai perluasan, bisa meliputi Poriaha, Sarudik, kecamatan Sibuluan bahkan kecamatan Tukka.

Tapanuli Tengah dan Sibolga bisa tetap bisa lebih maju tanpa propinsi baru dengan pengelolaan yang benar. Potensi daerah ini cukup besar untuk dikembangkan. Pertanian, perkebunan, perikanan, jasa, pariwisata dan industri. Sebagai kota pelabuhan Sibolga tetap jadi pintu logistik buat pulau Nias. Konsesi tambang dan logistic tambang, perkebunan dan energi terbarukan.

Pariwisata masih potesial dikembangkan, wisata gugusan pulau yang indah mirip Halong Bay atau Phi Phi island, pengembangan pantai Pandan dan pantai Kalangan yang lebih berkelas, kota Pandan sebagai kota wisata dengan jalan-jalan boulevard.

Lembaga Pendidikan khusus sangat layak di buka seperti Institut Pertanian atau Perikanan.

Kawasan industry poriaha dan Labuhan angin, saatnya untuk dikembangkan yang waktu jaman Tuani L.Tobing pernah mencanangkan Tapanuli Growth.

Rencana jalan tol lintas sumatera sirip Sibolga tetap jadi bagian penentu pengembangan konektifitas dari pantai timur hingga lintas pantai barat sampai ke Bukit Tinggi dalam jangka menengah.

=SIBOLGA NAULI + SAHATA SAOLOAN=

++HORAS++

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun