Sebuah pepatah lama berujar demikian, "Semakin tua usia seseorang, biasanya ia akan menjadi semakin bijaksana!" dan bunyi pepatah itu sungguh menjadi kenyataan dalam diri dua Kompasianer kawakan ini.
Ketika sebagian manula menghadapi tantangan penyakit pikun, keduanya justru menawarkan "obat mujarab" untuk melawannya, yaitu dengan menulis setiap hari. Menulis dapat menjadi sarana yang jitu untuk merawat pikiran sekaligus mengumpulkan setiap kenangan dan merangkainya menjadi buku catatan perjalanan; yang tidak saja menginspirasi, namun juga pasti memberi arti pada dunia kehidupan yang menopang keduanya.
Menimba Ilmu Literasi
Pada HUT Kompasiana ke-12 di tahun 2020 silam, sebagian besar tulisan yang tersaji kala itu banyak yang menyematkan nama mereka berdua, namun hal tersebut tidak menjadikan kedua sosok ini "jemawa". Mereka tetap menjadi pribadi-pribadi yang sederhana, dengan senyum ramahnya yang sederhana pula.
Dan pada HUT Kompasiana ke-16 di tahun 2024 ini, saya kembali menjumpai banyak tulisan yang ditujukan untuk Opa dan Oma Tjip yang akan merayakan Pesta Intan Hari Ulang Tahun Perkawinannya di tahun 2025.
Sebagai penulis muda yang baru berkiprah seumur jagung, saya akan terus belajar dan menimba ilmu literasi dari Opa dan Oma Tjip. Saya pun bertekad untuk mendidik buah hati saya akan menjadi pribadi-pribadi yang melek literasi sejak dini. Sebab tantangan ke depannya tentu akan semakin tidak mudah.
Meskipun teknologi semakin maju, namun sebagai manusia, kita tidak boleh pasrah pada teknologi semata. Dengan bekal literasi yang cukup, kita dapat menjadikan teknologi sebagai mitra untuk berkarya; dengan tetap mengandalkan dan memanfaatkan pikiran kita secara aktif, di tengah gempuran artificial intelligence (Ai) yang semakin masif. Jangan sampai kehadiran Ai ini justru menjadikan kita malas berpikir, dan menyerahkan segala sesuatunya pada Ai.
"Jangan ya Dek, ya!" mungkin demikian bunyi peringatan dengan bahasa kekinian yang harus kita tanamkan dalam diri kita masing-masing. Sebuah pepatah Latin berbunyi, "Corgito ergo sum", yang bermakna, "Saya berpikir maka saya ada". Jika pepatah Latin ini dimaknai lebih jauh, dan diperbandingkan dengan opini tentang Ai di atas; maka jika kita tidak lagi berpikir, dan lebih memilih Ai sebagai sarana untuk berpikir, maka artinya eksistensi diri kita seolah-olah tak ada lagi di dunia.
Tentu bisa dibayangkan, jika kita mengistirahatkan otak kita untuk berpikir, maka lama-kelamaan kemampuan otak kita yang super itu dengan sendirinya akan melemah. Dan aktivitas menulis menjadi salah satu wadah yang tepat untuk mengasah kemampuan berpikir otak kita masing-masing.
Seperti dirilis Kompas.com, Michael Skeide dari Max Planck Institute for Human Cognitive and Brains Sciences di Leipzig, Jerman, dan koleganya dalam sebuah penelitian menemukan bahwa huruf punya efek yang luar biasa bagi otak. Melalui penelitian tersebut diketahui, jaringan otak manusia ternyata dapat diperbaharui dan ditingkatkan dengan cara yang mudah, yaitu belajar membaca dan menulis.
Dari sini saya semakin memahami, mengapa Opa dan Oma Tjip begitu getol membaca dan menulis setiap hari. Hal senada juga banyak dilakukan oleh para penulis tersohor dunia yang terkenal dengan karya-karyanya. Kuncinya ternyata "membaca dan menulis", dan dampaknya sungguh luar biasa.