Mohon tunggu...
Agus Puguh Santosa
Agus Puguh Santosa Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Menulis adalah jalan mengenal sesama dan semesta.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Masjid Sultan Suriansyah, Pangeran Samudera, dan Hikayat Banjar

30 April 2021   09:40 Diperbarui: 30 April 2021   09:49 2405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid Sultan Suriansyah di Tepian Sungai Kuin Banjarmasin (Sumber foto: banjarmasintourism.com)

Dalam beberapa kesempatan, saya kerap menyaksikan Masjid Sultan Suriansyah dari atas Sungai Kuin. Dengan takjub, tak henti saya pandangi bangunan masjid yang sebagian besar berwarna hijau cerah itu. Sehingga masjid ini menjadi salah satu masjid favorit yang mempunyai kesan istimewa di hati saya. Saya menyaksikan masjid dari atas Sungai Kuin ketika sedang berwisata menuju Pasar Terapung.

Pun ketika menyusuri jalanan di seputaran kawasan Kelurahan Kuin Utara, saya pun acapkali melewati halaman depan bangunan masjid tertua di Kalimantan Selatan ini. Di depan halaman masjid terdapat papan nama yang merupakan kombinasi warna hijau muda dan hijau tua bertuliskan, "Masjid Bersejarah Sultan Suriansyah Kuin Utara Banjarmasin". Balok rangkaian huruf nama Sultan Suriansyah diberi warna kuning terang.

Sejarah Keislaman di Banjar dan Kearifan Lokal Setempat

Jika Anda melihat dari dekat bangunan masjid nan indah ini, saya yakin Anda akan terpesona karenanya. Bangunan tua ini diperkirakan telah ada sejak tahun 1526 M silam, yang apabila dihitung secara matematis telah berusia 495 tahun atau nyaris 5 abad!

Bangunan masjid ini dibangun dengan mempergunakan kayu ulin atau kayu besi. Masyarakat di sekitar lokasi masjid ini juga bisa menyebut nama masjid ini sebagai "Masjid Kuin".

Bila ditilik arsitektur bangunan masjid bersejarah ini merupakan perpaduan apik antara budaya Banjar dan Demak. Bentuk dasar bangunan ini merupakan rumah panggung, yang merupakan rumah khas Banjar.

Masjid ini berbentuk rumah panggung karena lokasinya memang didirikan di daerah rawa. Rumah panggung pun menjadi bentuk rumah yang banyak dipilih oleh sebagian besar masyarakat di Kota Banjarmasin secara turun-temurun.

Dan pembangunan banyak rumah berbentuk panggung sebenarnya bertalian erat dengan masalah kearifan lokal, yang salah satunya bertujuan untuk melestarikan sungai-sungai yang ada.

Pemandangan di Kala Petang (Sumber foto: Masjid Sultan Suriansyah (antaranews.com)
Pemandangan di Kala Petang (Sumber foto: Masjid Sultan Suriansyah (antaranews.com)

Mereka-mereka yang kurang memahami kearifan lokal ini biasanya cenderung membangun rumahnya dengan tidak mempergunakan konstruksi rumah panggung; melainkan memilih konstruksi rumah yang pada umumnya langsung berada di atas tanah.

Karena pemahaman demikian, mereka-mereka ini pun kemudian melakukan pengurukan tanah di bekas rawa yang sudah mengering. Padahal rawa-rawa yang sepintas selalu kelihatan mengering tersebut sebenarnya adalah media peresapan air yang seharusnya dipertahankan dengan baik. Dengan begitu, ketika air secara tiba-tiba pasang -- demikian yang lazimnya terjadi di daerah-daerah rawa, maka dengan cepat air itu akan segera terserap ke dalam tanah.

Bayangkan saja bila semakin hari semakin banyak bekas-bekas rawa di Banjarmasin dan daerah sekitarnya diuruk atau ditimbun dengan tanah pasir; maka otomatis fungsi peresapan airnya pun menjadi berkurang atau menjadi hilang. Sehingga banjir akan lebih sering timbul kapan saja, manakala air pasang dengan tiba-tiba. Apalagi jika curah hujan yang turun cukup tinggi, ditambah dengan kondisi kerusakan alam di Pegunungan Meratus yang kian hari kian memprihatinkan itu.

Itu sedikit kisah mengenai kearifan lokal masyarakat asli Kalimantan Selatan yang sudah dipelihara secara turun-temurun selama beberapa ratus tahun. Namun atas nama modernisasi, sebagian orang yang tinggal di Bumi Banua saat ini tak lagi mengindahkannya; bahkan cenderung tak peduli dan acuh-tak acuh saja.

Oiya, kita kembali lagi untuk menyimak kisah mengenai bangunan Masjid Sultan Suriansyah. Bangunan ini memiliki atap yang tumpang tiga atau bertingkat tiga dengan hiasan mustaka pada bagian atapnya. Model atap seperti ini akan mengingatkan kita pada bentuk bangunan Masjid Agung Demak yang termasyur itu, yang secara historis lebih dahulu dibangun pada tahun 1474 M.

Karena merupakan warisan bersejarah dari masa lalu, maka dilakukan pelestarian dan pemeriharan bangunan masjid ini sampai saat ini dan nanti.

Sultan Suriansyah dan Hikayat Kerajaan Banjar

foto-utama-sultan-suriansyah-750x430-608b6d76d541df1eb034b102.jpg
foto-utama-sultan-suriansyah-750x430-608b6d76d541df1eb034b102.jpg
Beragam Versi Foto Sultan Suriansyah (Sumber foto: Melacak Jejak Keraton Banjar, Apakah di Kuin atau Pulau Tatas? - jejakrekam.com )

Nama Sultan Suriansyah begitu populer di kalangan masyarakat Banjar dari generasi ke generasi. Sebelum bergelar Sultan Suriansyah, beliau dikenal dengan nama Pangeran Samudera.

Menurut sumber-sumber sejarah, Pangeran Samudera merupakan putra dari Menteri Jaya yang menikahi Puteri Galuh. Puteri Galuh merupakan putri kandung Maharaja Sukamara yang kala itu menduduki tahtanya sebagai raja di Kerajaan Negara Daha.

Saat Maharaja Sukamara berpulang, dirinya berwasiat agar menjadikan Pangeran Samudera sebagai pewaris tahtanya.

Namun rupanya realita berkata lain, putra Maharaja Sukamara yang bernama Pangeran Tumenggung dan Pangeran Bagalung tidak sepakat dengan keputusan ayahandanya tersebut. Sebab sesuai dengan tradisi yang sudah berlangsung sebelumnya, pengganti raja yang wafat adalah putera kandungnya.

Karena suasana kerajaan yang memanas, akhirnya Pangeran Samudera diminta untuk meninggalkan istana oleh Arya Trenggana -- yang kala itu menjabat sebagai salah satu punggawa Kerajaan Negara Daha.

Dalam pelariannya, Pangeran Samudera akhirnya menyamar sebagai seorang nelayan. Penyamaran tersebut tentu bisa dipahami alasannya. Sedangkan profesi nelayan pada masa itu menjadi salah satu profesi yang banyak dipilih oleh masyarakat Banjar. Sudah sejak dulu kala, Kota Banjarmasin ini dikenal dengan istilah Kota Seribu Sungai; karena memang banyak memiliki alur-alur sungai di banyak lokasi.

Akhirnya Pangeran Samudera berjumpa dengan Patih Masih yang pada masa itu tinggal di perkampungan Kuin. Kemudian Pangeran Samudera dinobatkan sebagai raja Kerajaan Banjar.

Berkat kepemimpinannya yang mumpuni, Pangera Samudera akhirnya mampu memperluas wilayah kekuasaannya secara bertahap hingga sampai di daerah muara Sungai Barito. Kabar kemajuan yang berhasil diraih Pangeran Samudera akhirnya sampai juga di telinga Pangeran Tumenggung. Dia merasa tersinggung dan akhirnya memutuskan untuk memerangi Pangeran Samudera dan rakyatnya.

Peperangan hebat tak dapat dihindarkan lagi. Setelah bertempur sekian lamanya, Pangeran Samudera dan pasukannya kalah. Kemudian Pangeran Samudera meminta bantuan kepada Sultan Trenggana yang menjadi sultan di Kerajaan Demak.

Di awal perjanjian, Kerajaan Demak setuju membantu Kerajaan Banjar, asalkan nantinya Pangeran Samudera dan rakyatnya mau memeluk agama Islam.

Maka dengan dibantu kekuatan armada Kerajaan Demak dibawah kepemimpinan Khatib Dayan, Pangeran Samudera bersama pasukannya akhirnya berhasil menaklukkan Pangeran Tumenggung. Setelah Kerajaan Negara Dipa ditundukkan, maka kemudian berdirilah Kesultanan Banjar sebagai kerajaan Islam pertama di Kalimantan Selatan yang kala itu juga dikenal dengan nama Banua Hujung Tanah

Arsitektur Masjid yang Islami

Keunikan dan keindahan arsitektur Masjid Sultan Suriansyah dapat kita temukan pada berbagai ornamen yang terdapat pada bangunannya.

Mengutip halaman resmi situs Pemerintah Kecamatan Banjarmasin Utara, menjelaskan bahwa dewasa ini tidak banyak generasi muda yang memahami makna simbol yang tersirat dari arsitektur bangunan masjid ini.

Interior Masjid Sultan Suriansyah/Sumber foto: banjarmasintourism.com
Interior Masjid Sultan Suriansyah/Sumber foto: banjarmasintourism.com

Empat tingkatan bangunan Masjid Sultan Suriansyah sarat dengan simbol-simbol keislaman. Bangunan bawah berupa bangunan tempat salat menyimbolkan syariat berupa ilmu tentang Islam. Bangunan kedua yaitu badan masjid yang beratap melandai dan bangunannya berbentuk segi empat menyimbolkan syariat Islam. Kemudian tingkatan ketiga, menyimbolkan hakikat Islam.

Jika melihat bangunan dalam masjid, maka akan kita jumpai simbol-simbol Islam dan nuansa ornamen khas Banjar di mana-mana. Simbol-simbol Islam dimaksud adalah ukiran kaligrafi Arab berupa ayat-ayat Al-Qur'an dan nama Allah.

Sedangkan ornamen khas Banjar diwakili oleh nanas, manggis, tali, dan bunga. Buah nanas merupakan lambang pembersih hati dan jiwa-jiwa yang kotor dari nafsu setan. Sedangkan buah manggis yang mengajarkan filosofi agar kita tidak mudah menghakimi orang lain hanya berdasarkan penampilan fisiknya semata.

Sedangkan tali melambangkan ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan di antara sesama umat Islam. Dan bunga merupakan lambang keindahan yang mempesona.

Demikian kisah saya tentang Masjid Sultan Suriansyah yang menjadi salah satu peninggalan Kerajaan Banjar yang tetap terpelihara dalam kurun waktu 5 abad ini.

Bagi Kompasianers atau pembaca yang sedang berada di Kota Banjarmasin atau merencanakan kunjungan ke Kota Seribu Sungai, dapat berkunjung ke masjid bersejarah ini, sekaligus mengenang masa kejayaan Kerajaan Banjar di masa silam.

Banjarmasin, 30 April 2021

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun