Mohon tunggu...
Agus Puguh Santosa
Agus Puguh Santosa Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Menulis adalah jalan mengenal sesama dan semesta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara Sumpah Pemuda, Profil Pelajar Pancasila, dan Ekaprasetia Pancakarsa (Bagian 1)

27 Oktober 2020   02:00 Diperbarui: 27 Oktober 2020   02:15 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makna Nasionalisme dan Keindonesiaan (Sumber foto: https://www.bmvkatedralbogor.org)

Pada hari Kamis, 1 Oktober 2020 lalu, Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia Zainudin Amali meresmikan logo "Hari Sumpah Pemuda ke-92" tahun 2020. "Menjelang peringatan Hari Sumpah Pemuda, saya berpesan agar para pemuda kita bersatu dan bangkit. Kita tidak boleh tercerai-berai. Meskipun berbeda, kita harus tetap satu, semangat persatuan harus kita pelihara dengan baik. Tanpa persatuan, kita tidak akan bisa, makanya harus bersatu lalu kita bangkit," demikian kata Menpora RI, seperti dikutip situs resmi Kemenpora di alamat resminya.

Secara keseluruhan, konsep logo Hari Sumpah Pemuda kali ini dibuat seolah-olah menyambung satu sama lain dan tidak terputus. Semua itu hendak melambangkan semangat persatuan dan kerjasama untuk melawan virus Covid-19. Font Sumpah Pemuda ditulis dengan huruf yang terkesan tegas, sebagai lambang sifat pemuda yang senantiasa aktif dan energik.

Sementara itu penguatan ideologi pancasila dan karakter serta budaya bangsa di kalangan pemuda menjadi salah satu poin perhatian dari 5 program prioritas Kemenpora RI saat ini. Tentu harapannya sudah jelas dan pasti, agar rasa nasionalisme dan cinta tanah air kembali berkobar-kobar di hati para pemuda bangsa ini.

Dan Kementerian Pendidikan Nasional sendiri pada bulan-bulan belakangan ini kerap kali mendengung-dengungkan "Profil Pelajar Pancasila" sebagai salah satu pokok perhatiannya; bahkan nanti akan menjadi salah satu materi pokok dalam Survey Karakter yang dijadikan satu paket dalam Asesmen Nasional (AN) 2021 sebagai pengganti Ujian Nasional (UN) yang selama ini digelar. Profil Pelajar Pancasila meliputi: Berakhlak mulia, mandiri, bernalar kritis, berkebhinekaan global, gotong royong, dan kreatif.

Jika menilik kembali sejarah sejak Orde Baru runtuh pasca lengsernya Presiden Soeharto pada tahun 1998, rasa nasionalisme yang ditanamkan dalam diri anak-anak di bangku sekolah kian hari kian merosot dan tidak jelas arahnya.

Selama Orba, dikenal adanya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau disebut juga dengan nama "Ekaprasetia Pancakarsa". Ekaprasetia Pancakarsa artinya janji atau tekad yang kuat untuk melaksanakan lima kehendak; dan lima kehendak itu adalah Pancasila.

P4 memang pernah populer pada masa itu dan menjadi semacam doktrin yang wajib diajarkan di setiap awal tahun ajaran baru di seluruh jenjang lembaga pendidikan. Setelah Soeharto lengser, P4 pun tiba-tiba lenyap begitu saja. Sebagian orang bahkan menempelkan stigma bahwa P4 adalah produk Orba dan harus dihapuskan dari kehidupan berbangsa dan bernegara! Apakah memang seharusnya demikian?

Saya sendiri mempunyai pengalaman pernah menghafalkan P4 yang terdiri dari 36 butir tersebut sejak duduk di bangku sekolah dasar hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Bila dicermati dengan baik, ke-36 butir yang merupakan penjabaran dari sila-sila yang terdapat dalam Pancasila itu mengandung nilai-nilai kehidupan yang mulia dan adiluhung.

Namun sayang seribu sayang, P4 kemudian benar-benar hilang lenyap tak jelas rimbanya dan dapat dipastikan tidak pernah dikenali lagi oleh anak-anak zaman sekarang. Mungkin bila anak-anak zaman sekarang kita tanya perihal P4 tadi, maka dengan senyum penuh tanda tanya mereka akan menjawab "tidak tahu." Suatu realita yang ironis dan patut menjadi keprihatinan bersama sebagai sebuah keluarga besar bernama "Bangsa Indonesia."

Sejak saya duduk di bangku sekolah dasar, saya mulai berkenalan dengan sosok Jenderal Besar Soedirman. Perkenalan itu menjadikan saya kagum dengan sosok beliau yang memimpin perang gerilya kemerdekaan dan kemudian wafat di akhir revolusi karena penyakit TBC paru yang merenggut jiwanya.

Barangkali tidak banyak orang yang tahu bahwa Soedirman dulunya adalah seorang guru Sekolah Muhammadiyah dari Jawa yang pada zamannya pernah mengenyam pendidikan militer yang disponsori Jepang. Soedirman adalah seorang guru, seorang tenaga pendidik yang terpilih dan menjadi Panglima Besar TKR (Tentara Keamanan Rakyat) pada masa perang kemerdekaan. Pada masa itu, profesi seorang guru ternyata sangat dihargai dan mendapatkan penghormatan yang luar biasa di negeri ini.

Bersambung pada tulisan berjudul: "Antara Sumpah Pemuda, Profil Pelajar Pancasila, dan Ekaprasetya Pancakarsa (Bagian 2)"

 Banjarmasin 27 Oktober 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun