Jujur saya malu, meskipun nama saya tercatat sebagai Kompasianer lebih dulu disbanding Bapak Tjiptadinata, namun dari segi kualitas tulisan, kualitas komitmen untuk menulis, dan kualitas olah rasa dalam menulis, saya bukanlah apa-apa, juga bukan siapa-siapa.
Saya yakin seyakin-yakinnya, Bapak Tjiptadinata selama ini telah menulis dengan hati. Menulis apa yang sudah dirasakan, maupun yang sedang dirasakan dalam konteks waktu "kekinian", pun juga apa-apa yang mungkin akan dirasakan nanti. Perjuangan dan komitmen Bapak untuk menulis sangat tepat diwakili ungkapan demikian, "Menulis adalah pengabdian tanpa akhir". Ungkapan senada juga pernah Bapak utarakan pada tulisan berjudul, "Hidup adalah Pengabdian Tanpa Akhir".
Saya menyukai bagian akhir tulisan tersebut yang berbunyi seperti ini, "Mohon maaf ,ulasan singkat ini adalah penghayatan pribadi saya dan tidak mewakili kelompok manapun. Apakah Anda merasa sudah menjadi sosok manusia yang mengabdikan hidupnya untuk sesama? Don't ask me, ask your heart, because the answer is in your heart. Mari sama sama kita renungkan dan kita cari jawabannya direlung-relung hati kita yang terdalam...."
Untaian kalimat tersebut benar-benar mengajak saya berefleksi secara mendalam. Meski sudah Bapak tulis 8 tahun yang lalu, namun pesannya masih "segar" dan "menyegarkan" siapa saja yang membaca dan menikmati isinya.
Meski ada banyak Kompasianer yang mengidolakan Bapak Tjiptadinata, namun beliau tetapp sederhana, dan kesederhanaan itu terungkap melalui tulisan beliau berjudul, "Menjadi Idola Berarti Mampu Memenangkan Hati" yang tayang hari ini.
Terima kasih Bapak Tjiptadinata, atas pengabdian Bapak yang sungguh menginspirasi kami semua para Kompasianer ini. Jujur saya akui, sejak pertama kali membaca tulisan Bapak, saya langsung "jatuh cinta" dan menyukainya.
Jika Bapak Tjiptadinata bertanya apa alasannya, maka saya akan menjawab dengan sederhana saja, "Apakah saya harus selalu mempunyai alasan untuk mencintai tulisan-tulisan Bapak?"
Banjar, 23 Oktober 2020