Mohon tunggu...
Agus Puguh Santosa
Agus Puguh Santosa Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Menulis adalah jalan mengenal sesama dan semesta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengumpulkan Keping-keping Sejarah Gereja Katolik di Kal-Sel: "Kisah Masa Lalu, Masa Kini, dan Harapan di Masa Depan"

29 September 2020   22:48 Diperbarui: 29 September 2020   22:51 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : Dokumentasi Keuskupan Banjarmasin dan dokumentasi pribadi

Pernah mendengar akronim 'Jasmerah'? Sebagian orang ada yang menuliskan akronim tersebut sebagai kepanjangan dari kalimat "Jangan sekali-kali melupakan sejarah". Menurut salah seorang putra Bung Karno yang bernama Guruh Soekarnoputra, kepanjangan dari akronim tersebut kurang tepat.

Seperti yang pernah diungkapkan melalui pernyataannya dalam peringatan 112 tahun kelahiran Soekarno, di Jakarta, Kamis, 6 Juni 2013, kepada viva.co.id. Kepada redaksi VIVANews, Guruh berujar bahwa "Istilah itu diambil dari judul pidato terakhir Bung Karno pada 1966. Kepanjangannya [yang benar], jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!"

Saya mempunyai pengalaman menarik saat mendapatkan kesempatan bersama beberapa orang penulis senior untuk menulis sebuah buku sejarah. Sebuah buku yang pernah menjadi obsesi saya beberapa tahun sebelumnya. 

Kala itu saya membayangkan bahwa menulis sebuah buku sejarah adalah sebuah aktivitas yang sangat menarik. Dan dalam kesempatan tersebut, pengalaman menarik itu ternyata sungguh saya alami.

Perayaan Syukur 75 Tahun Keuskupan Banjarmasin menjadi salah satu peristiwa penting kehidupan beriman segenap umat Katolik di Keuskupan Banjarmasin, yang meliputi wilayah Provinsi Kalimantan Selatan. 

Pada zaman dahulu, wilayah Keuskupan Banjarmasin membentang dari Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, hingga Kalimantan Tengah. Wilayahnya memang seluas itu, hampir dua pertiga Pulau Kalimantan.

Nah, penulisan buku sejarah ini pun hendak mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana peziarahan Gereja Katolik pada masa itu hingga kini dan nanti di wilayah Kalimantan Selatan. Gereja dapat diibaratkan bagai benih sesawi yang tumbuh dan berkembang, menjadi pohon besar tempat berteduh yang menyenangkan (bdk. Mat 13:31).

Dan apa yang digambarkan melalui perumpamaan di atas juga dialami oleh Gereja Katolik di Keuskupan Banjarmasin ini. Kendati dari segi jumlah, umat Katolik di wilayah ini jumlahnya sangat kecil. 

Meski bukan yang paling kecil, namun umat Katolik setempat tetap percaya dan yakin akan penyertaan Tuhan yang senantiasa menaungi peziarahan umat hingga mencapai usia yang sangat matang di angka 75 tahun pada 2013 silam. Usia yang dikatakan orang sebagai usia yang penuh kedewasaan sekaligus kearifan.

Buku ini merupakan sebuah karya monumental yang berawal dari sebuah gagasan atau lebih tepatnya konsep yang berkenaan dengan komunitas (paguyuban atau communio), yang digerakkan dan dijiwai oleh suatu keyakinan yang hidup tentang Yesus Kristus yang menyertai (baca: menemani) komunitas tersebut dalam Roh-Nya demi kemuliaan Allah Bapa yang nyata dalam ciptaan-ciptaan-Nya yang semakin sejahtera.

Bertolak dari konsep yang diendapkan dari pengalaman jemaat beriman (dalam hal ini Keuskupan Banjarmansin), para perancang dan penulis buku sejarah ini menyusun tanda-tanda kehidupan tersebut yang dicari dan ditemukan antara lain dalam catatan masa lalu, yang terdapat di arsip, perpustakaan, surat-surat, dokumen, saksi hidup, prasasti, Buku Baptis, dan data dari Badan Pusat Statistik.

Setelah semuanya itu dikumpulkan, maka berlanjut pada tahap seleksi dan verifikasi, yang kemudian membawa tim menyusun sampai pada proses penulisan kerangka buku sejarah. Dengan pola kerja yang demikian, sesungguhnya tim penulis sejarah ini mengindahkan prinsip konvergensi sumber. 

Maksudnya, kalau penulis mengutarakan suatu pokok tertentu, maka ia mencari serta mengumpulkan sumber-sumber (tidak hanya satu sumber) yang berbicara tentang pokok tersebut.

Sumber itu dapat bersifat pro (mendukung), dapat pula bersifat kontra (melawan). Dengan demikian, pelbagai suara harus didengarkan supaya usaha penulisan ini akhirnya menghasilkan suatu karya yang seobjektif mungkin. 

Buku ini tidak berikhtiar meliput, mengedepankan, dan menganalisis segala sesuatu yang berhubungan dengan "Keuskupan Banjarmasin" sebagai peristiwa. Sebab jika demikian karya ini akan menjadi sangat raksasa dan ada kemungkinan karya ini tidak pernah akan selesai.

Dalam salah satu bab dipaparkan kisah Pater Antonio Ventimiglia. Dalam bab dimaksud dicatat secara cukup detail kisah-kisah heroik perjuangan imam dari Ordo Theatin yang merelakan diri menjumpai kelompok-kelompok masyarakat yang belum mengenal Kabar Sukacita Injil. 

Awal hidup dan perutusannya terekam dengan baik. Masih pula tersedia korespondensi yang berhasil diselamatkan, dan daripadanya kita mengetahui pergumulan, kecemasan, dan harapan berada di wilayah paling depan ajang pewartaan Injil.

Di bagian lain buku ini disajikan beragam cerita di awal abad ke-20, dari para imam Yesuit dan Kapusin. Heroisme kisah-kisah yang ditinggalkan para imam Misionaris Keluarga Kudus, melintasi zaman penjajahan Belanda, jaman pendudukan Jepang, pasca Perang Dunia II, dan sesudahnya; kian memberikan bukti bahwa perjalanan masa lalu demi memperkembangkan iman kekatolikan (sekaligus memeliharanya) di wilayah Keuskupan Banjarmasin (yang pada waktu itu meliputi: Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan) sungguh luar biasa!

Semangat para misionaris "tanpa kenal lelah" tersebut juga diwarisi oleh para misionaris generasi selanjutnya, yang sesudah Perang Dunia II berakhir, membenahi segala hal di sana-sini. 

Gedung Gereja, sekolah-sekolah, biara-biara dan fasilitas lainnya yang rusak (bahkan rata dengan tanah) selama masa pendudukan Jepang dan sesudahnya; kembali dibangun, meski dengan susah payah dan seolah-olah harus memulai segalanya dari "nol" lagi.

Rangkaian narasi historis tentang Keuskupan Banjarmasin ini disempurnakan dengan kajian yang sangat menarik tentang surat gembala pada bab penutup. 

Pelbagai isu diangkat dan diperhatikan oleh para Uskup dalam rangka melayani umat yang bermasyarakat. Surat ini menjadi salah satu cara terbaik untuk melihat jantung misi dan kepedulian Keuskupan Banjarmasin. 

Dari sini pun kita kemudian dapat menarik keluar "peta" eklesiologi yang menjadi cerminan bagaimana Keuskupan Banjarmasin terlibat sepenuh hati pada pergumulan masyarakat, tanpa merelatifkan peran kritisnya dalam keterarahan pada kesejahteraan holistik.

Dan ketika menyimak halaman demi halaman buku ini, bersiap-siaplah untuk mengalami semua kisah itu dalam ruang pikiran Anda, ibarat melihat film yang sedang diputar di bioskop. 

Dengan dibumbui oleh perasaan sukacita, haru, sedih, kecewa, marah dan beraneka ragam perasaan lainnya; akan menjadikan petualangan Anda bersama buku ini kian bermakna. 

Dan akhirnya, upaya menghadirkan kembali catatan (dan analisis) tentang masa silam dalam keterarahan pada masa depan yang semakin baik, kian meneguhkan perjalanan Keuskupan Banjarmasin mengarungi peziarahan selanjutnya; dan bahtera kian semakin jelas kemana hendak dilabuhkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun