Bertolak dari konsep yang diendapkan dari pengalaman jemaat beriman (dalam hal ini Keuskupan Banjarmansin), para perancang dan penulis buku sejarah ini menyusun tanda-tanda kehidupan tersebut yang dicari dan ditemukan antara lain dalam catatan masa lalu, yang terdapat di arsip, perpustakaan, surat-surat, dokumen, saksi hidup, prasasti, Buku Baptis, dan data dari Badan Pusat Statistik.
Setelah semuanya itu dikumpulkan, maka berlanjut pada tahap seleksi dan verifikasi, yang kemudian membawa tim menyusun sampai pada proses penulisan kerangka buku sejarah. Dengan pola kerja yang demikian, sesungguhnya tim penulis sejarah ini mengindahkan prinsip konvergensi sumber.Â
Maksudnya, kalau penulis mengutarakan suatu pokok tertentu, maka ia mencari serta mengumpulkan sumber-sumber (tidak hanya satu sumber) yang berbicara tentang pokok tersebut.
Sumber itu dapat bersifat pro (mendukung), dapat pula bersifat kontra (melawan). Dengan demikian, pelbagai suara harus didengarkan supaya usaha penulisan ini akhirnya menghasilkan suatu karya yang seobjektif mungkin.Â
Buku ini tidak berikhtiar meliput, mengedepankan, dan menganalisis segala sesuatu yang berhubungan dengan "Keuskupan Banjarmasin" sebagai peristiwa. Sebab jika demikian karya ini akan menjadi sangat raksasa dan ada kemungkinan karya ini tidak pernah akan selesai.
Dalam salah satu bab dipaparkan kisah Pater Antonio Ventimiglia. Dalam bab dimaksud dicatat secara cukup detail kisah-kisah heroik perjuangan imam dari Ordo Theatin yang merelakan diri menjumpai kelompok-kelompok masyarakat yang belum mengenal Kabar Sukacita Injil.Â
Awal hidup dan perutusannya terekam dengan baik. Masih pula tersedia korespondensi yang berhasil diselamatkan, dan daripadanya kita mengetahui pergumulan, kecemasan, dan harapan berada di wilayah paling depan ajang pewartaan Injil.
Di bagian lain buku ini disajikan beragam cerita di awal abad ke-20, dari para imam Yesuit dan Kapusin. Heroisme kisah-kisah yang ditinggalkan para imam Misionaris Keluarga Kudus, melintasi zaman penjajahan Belanda, jaman pendudukan Jepang, pasca Perang Dunia II, dan sesudahnya; kian memberikan bukti bahwa perjalanan masa lalu demi memperkembangkan iman kekatolikan (sekaligus memeliharanya) di wilayah Keuskupan Banjarmasin (yang pada waktu itu meliputi: Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan) sungguh luar biasa!
Semangat para misionaris "tanpa kenal lelah" tersebut juga diwarisi oleh para misionaris generasi selanjutnya, yang sesudah Perang Dunia II berakhir, membenahi segala hal di sana-sini.Â
Gedung Gereja, sekolah-sekolah, biara-biara dan fasilitas lainnya yang rusak (bahkan rata dengan tanah) selama masa pendudukan Jepang dan sesudahnya; kembali dibangun, meski dengan susah payah dan seolah-olah harus memulai segalanya dari "nol" lagi.
Rangkaian narasi historis tentang Keuskupan Banjarmasin ini disempurnakan dengan kajian yang sangat menarik tentang surat gembala pada bab penutup.Â