Mohon tunggu...
Agus Puguh Santosa
Agus Puguh Santosa Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Menulis adalah jalan mengenal sesama dan semesta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar Makna Keindonesiaan dari Rama Kanjeng

28 September 2020   01:47 Diperbarui: 28 September 2020   02:23 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto : merdeka.com

Kemanusiaan Itu Satu

"Kemanusiaan itu satu. Kendati berbeda bangsa, asal-usul dan ragamnya, berlainan bahasa dan adat istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya, semua merupakan satu keluarga besar. 

"Satu keluarga besar, dimana anak-anak masa depan tidak lagi mendengar nyanyian berbau kekerasan, tidak menuliskan kata-kata bermandi darah, jangan lagi ada curiga, kebencian dan permusuhan," tulis Monsinyur Soegijapranata pada lembaran kertas putih bergaris di tahun 1940. Itulah secuplik adegan pembuka yang mengawali kisah film "Soegija" yang fenomenal itu.

Untaian kalimat di awal film Rama Kanjeng tersebut dimunculkan kembali di akhir cerita, ketika waktu menunjukkan tahun 1950. Entah apa maksudnya; yang pasti ketika kita menyaksikan film bersetting tahun 1940 hingga 1949 ini dari awal hingga akhir, pun bila kita tertarik untuk menontonnya ulang; maka kita akan menemukan untaian kalimat bermakna tersebut sebagai "wajah" film Soegija secara keseluruhan.

Wajah merupakan bagian paling representatif dari diri manusia sebagai pribadi. Maka itu, tidak mengherankan bahwa diri, bahkan spirit (baca: semangat batin) dapat dikenali dalam dan melalui wajah para pemiliknya. Sebab, di dalam dan melalui wajah, akan tersirat sekaligus tersurat apa, siapa, mengapa dan bagaimana pribadi seseorang itu. Dengan demikian, wajah secara langsung maupun tidak langsung akan memfasilitasi orang lain untuk menangkap, memahami, merasakan ciri-ciri yang serba kompleks, istimewa dan unik dari seorang pribadi manusia.

Dalam film kolosal hasil besutan sutradara kondang Garin Nugroho ini yang rilis 7 Juni 2012 silam, muncul pesan-pesan kemanusiaan dan multikulturalisme. "Film ini merupakan sebuah catatan tepat untuk hari ini. Film ini perayaan kegembiraan beragam dan berbangsa. Sudah saatnya tidak ada ketakutan, kalau mereka tidak merasa gembira dengan hal itu, maka mereka tertinggal," ungkap Garin dalam jumpa pers di Jakarta pada 25 April 2012, seperti ditulis oleh salah satu media tanah air.

Di tengah situasi penuh kekacauan di Semarang, Mgr. Soegija yang lebih dikenal dengan sapaan Rama Kanjeng, berusaha memandu religiusitas dalam perspektif nasionalisme yang humanis. Ia menjalankan silent diplomacy, melakukan perundingan damai yang melibatkan Sekutu (termasuk Belanda di dalamnya), Jepang, dan Indonesia di tengah berkecamuknya peristiwa perang lima hari di Semarang.

Walau tidak tergambar jelas di layar lebar silent diplomacy (diplomasi diam-red; judul pertama yang hendak dipakai sebelum Soegija) yang dimaksudkan, namun Romo Kanjeng dalam film tersebut digambarkan tetap mendukung Indonesia yang dapat diibaratkan sebagai seorang "bayi"; hal inilah yang kemudian membuat Vatikan mengakui kedaulatan Republik Indonesia sebagai negara merdeka, yang diikuti oleh dunia internasional, hingga akhirnya berhasil membuat Belanda benar-benar angkat kaki dari Indonesia pada tahun 1949.

Merah Putih dan Keindonesiaan

Seperti telah diulas oleh begitu banyak orang, film Soegija memang tidak menampilkan biografi Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ secara utuh. Tentu berbeda sekali dengan film dokudrama berjudul "Bethlehem van Java" yang juga pernah diproduksi oleh Studio Audio-Visuat (SAV) Puskat Yogyakarta; yang berkisah secara cukup runut perjalanan hidup Romo van Lith sejak kecil, dewasa hingga wafatnya.

Mengutip penuturan Garin, apa yang ditampilkan oleh film ini adalah tatanan nilai kemanusiaan universal dan itu diambil dari sebuah oase perjalanan seorang manusia dan perjuangannya dari seorang tokoh Katolik bernama Mgr. Soegijapranata, SJ. "Di tengah situasi bangsa yang kini tengah dirobek oleh kepentingan kelompok tertentu, film Soegija lalu menawarkan rajutan nilai ketokohan bagi pembangunan jati diri bangsa yang mencintai dan menghidupi kebhinekaan."

Pemeran tokoh Soegija -- Nirwan Dewanto dalam wawancara dengan salah satu media mengungkapkan kekagumannya pada Mgr. Soegijapranata. "Soegija berani menegaskan kepada umatnya, menjadi Katolik itu adalah menjadi seratus persen republik," tuturnya. 

Lebih lanjut Nirwan Dewanto menjelaskan bahwa uskup adalah seorang agamawan, seorang intelektual. Nirwan kagum pada tokoh Soegija yang diperankannya karena dalam situasi zamannya, Soegija berani mengambil keputusan politik. 

"Hanya dengan sebuah pemberitahuan kepada para Imam Katolik di Jakarta, Soegija memindahkan Keuskupan dari Semarang ke Yogyakarta. Itu tidak ada alasan lain, kecuali menegaskan dukungan bagi Republik Indonesia."

Pada masa itu, salah satu negara dari sebagian kecil negara di dunia internasional yang mengakui kemerdekaan Republik Indonesia adalah Vatikan. 

Dan itu adalah usaha Soegija. Kenapa pada waktu itu Soegija pro-republik? Jawabannya adalah karena Soegija sedang berusaha keras menjawab bahwa Katolik itu bukan Belanda! Nirwan menambahkan, "Karakter Soegija dalam film ini dibangun dari pemikiran Soegija, dari tulisan-tulisannya. Bahkan dialog dalam skrip juga disarikan dari berbagai naskah karya Soegija."

Film yang melibatkan tak kurang dari 2.775 orang pemain ini, dapat mengajak kita untuk belajar tentang makna keindonesiaan dengan lebih baik. Hal tersebut dapat kita saksikan bersama dalam adegan-adegan yang tampil dari detik ke detik, hingga film berakhir pada durasi 116 menit. 

Meskipun syuting hanya berlangsung selama sebulan, namun berbagai scene yang berusaha ditampilkan dalam film benar-benar mampu menghipnotis para penonton untuk tetap bertahan di kursi duduknya. Syuting film ini mengambil lokasi di kota Semarang, Magelang, Ambarawa, dan Klaten.

Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa ungkapan "keindonesiaan" atau "indonesianisasi" bermakna sebagai proses atau tindakan atau cara untuk menjadikan sesuatu sungguh bersifat Indonesia. 

Dalam film Soegija, ada banyak adegan yang menyiratkan maksud ini. Misalnya saja ketika seorang komandan pasukan tentara republik bernama Lantip (Rukman Rosadi) tampil dengan suara menggelegar dan berapi-api mengumumkan bahwa Indonesia telah merdeka. 

Adegan berlanjut dengan iring-iringan barisan pemuda dengan mengibas-ngibaskan bendera merah putih yang ada di genggaman masing-masing; dalam iringan lagu "Rasa Sayange." Nuansa keindonesiaan juga tampak jelas dari wajah para pemain yang mendukung film ini yang mewakili suku-suku yang ada di kepulauan Nusantara.

Bagi Anda yang sudah menonton film Soegija, tentu masih ingat dengan Banteng -- salah seorang pemuda nasionalis yang tampil lugu dan apa adanya. Di awal film, Banteng muncul bersama beberapa orang warga pribumi yang tengah mengalami pemeriksaan kartu identitas di kota Semarang oleh tentara Belanda. 

Tiba-tiba muncul komandan tentara Belanda bernama Robert (Wouter Sweers) yang kala itu membonceng fotografer Belanda Hendrick van Maurick (Wouter Braaf) yang bermaksud menghadiri upacara pentahbisan Mgr. Soegija sebagai Vikaris Apostolik Semarang. 

Robert berhenti di lokasi tersebut, lalu menanyakan kepemilikan secarik kertas yang fungsinya mirip KTP kepada orang-orang pribumi yang telah berada dalam posisi jongkoknya masing-masing. 

Pemuda bernama Banteng menyerahkan dokumen dimaksud yang bertuliskan namanya; namun ketika komandan pasukan Belanda meminta ia membacakan namanya sendiri, ternyata Banteng tidak menjawab apa-apa karena tak bisa baca tulis. Kisah Banteng ternyata berlanjut pada bagian lainnya dalam film Soegija.

Semangat Banteng untuk belajar membaca ternyata terus berlanjut, namun teramat sayang karena ia tampak seolah-olah sudah puas ketika baru mampu mengeja kata "merdeka." 

Meski begitu, Banteng ternyata punya semangat dan jiwa nasionalisme yang luar biasa untuk mengangkat senjata demi merebut sekaligus mempertahankan kemerdekaan Indonesia bersama rekan-rekannya sesama pasukan tentara republik. 

Pemuda Banteng sepertinya ingin mewakili sebagian dari masyarakat kita yang selalu merasa "cukup puas" dengan apa yang telah atau mampu diraih saat ini, tanpa mau berpusing ria untuk meraih sesuatu yang lebih dan lebih lagi.

Adegan lainnya yang kental akan nuansa keindonesiaannya adalah ketika menjelang film berakhir, Mgr. Soegija berdialog dengan pemuda Lantip. Kala itu Rama Kanjeng tengah membahas tentang nilai-nilai kebangsaan dan politik.

"Apa artinya menjadi bangsa merdeka jika kita gagal mendidik diri sendiri." ucap Rama Kanjeng bijak. Mgr. Soegija melanjutkan, "Kalau mau jadi politikus, harus punya mental politik, jika tidak punya maka politikus hanya jadi benalu negara," seraya berdiri sembari menyerahkan bendera merah putih berukuran kecil yang semula digenggamnya kepada Lantip.

Kisah-kisah Penting yang Terjadi Sekitar tahun 1940 -- 1950 dan Sesudahnya

Pada tahun 2011 lalu, tepatnya pada tanggal 3 Januari, hierarki Gereja Katolik Indonesia merayakan pesta emasnya (50 tahun-red). Peristiwa bersejarah tersebut tidak cukup hanya untuk dikenang.

Sebab setelah 50 tahun mendapat anugerah pengakuan ini, Gereja Katolik Indonesia pantas berefleksi untuk merenungkan perjalanannya di bumi Nusantara, demi memacu kemandirian sebagai Gereja Indonesia dalam segala segi kehidupan menggereja di tanah air tercinta ini. Dan keberhasilan tersebut tentu tak dapat dilepaskan dari peran seorang Rama Kanjeng.

Mungkin tak banyak orang yang tahu, selama tahun 1944 hingga tahun 1952, ada 23 imam diosesan yang ditahbiskan. 

Dari ke-23 orang imam tersebut, 15 orang diantaranya adalah imam diosesan untuk Vikariat Apostolik Semarang, 3 orang untuk Prefektur Apostolik Batavia dan 1 orang untuk Vikariat Apostolik Papua yang kala itu berkedudukan di Amboina, 1 orang untuk Prefektur Apostolik Manado, 1 orang untuk Prefektur Apostolik Makassar, 1 orang untuk Prefektur Apostolik Purwokerto dan 1 orang untuk Prefektur Apostolik Bandung.

Seperti apa yang tertulis dalam buku Biografi Mgr. Willekens, SJ karya Paulus Widyawan Widhiasta, tanggal 8 Desember 1941 Jepang menyatakan perang melawan Amerika dan sekutunya termasuk Belanda. 

Hal ini kemudian menjadikan Indonesia sebagai kawasan medan peperangan. Pada masa pendudukan Jepang pendidikan imam diosesan mengalami hari bersejarah yang terjadi pada tanggal 26 Juli 1942. Saat itu di Gereja Santo Yusuf Bintaran dilangsungkan tahbisan 4 orang imam angkatan pertama dari Seminari Tinggi St. Paulus Yogyakarta. Tahun berikutnya, tepatnya pada tanggal 13 Desember 1943, dilangsungkan tahbisan angkatan kedua di Muntilan.

Berbagai macam jenis kekejaman tentara Jepang dan pengisapan yang dilakukannya, banyak disebutkan dalam kisah-kisah sejarah. Termasuk didalamnya adalah dengan dikeluarkannya kebijakan-kebijakan khusus yang pengaruhnya sangat terasa bagi kehidupan menggereja. Mgr. Soegija pun kemudian melakukan usaha-usaha untuk menghindari penguasaan oleh tentara Jepang. 

Beragam tindakan yang sifatnya resmi maupun spontan dilakukan sebagai sebuah bentuk perlawanan, demikian dikisahkan dalam penjelasan Rm. Budi Subanar, SJ dalam buku Biografi Mgr. Albertus Soegijapranata yang ditulisnya.

Pater J.W.M. Boelaars, OFM Cap dalam buku "Indonesianisasi" juga menyebutkan fakta selama masa penjajahan Jepang, Gereja Katolik mengalami krisis yang berat. Para misionaris Belanda hampir semua ditahan dan para misionaris Jerman dibebaskan. Di semua bagian wilayah, kecuali di pantai selatan New Guinea, para imam, bruder dan suster ditangkap dan diinternir. Penjajah Jepang disamping menuntut penyerahan secara politik, juga menuntut ketaatan terhadap Tenno -- Kaisar Jepang; maka umat Katolik pun dicurigai dan diawasi oleh Kempetai (Dinas Rahasia Jepang).

Menurut Pater Booelars, Uskup Maluku -- New Guinea Mgr. J. Aerts, MSC beserta 13 imam mendapat tuduhan palsu seolah-olah memiliki senjata. Tanpa ampun, mereka semua dibantai tentara Jepang pada tanggal 30 Juli 1942. Hanya Uskup Batavia Mgr. P.J. Willekens, SJ dan Uskup Ende Mgr. H. Leven, SVD yang tidak ditahan oleh tentara Jepang.

Sedangkan uskup, para imam, suster dan bruder asli Indonesia, yakni Mgr. Soegija bersama 19 orang imam, 60 orang bruder dan 206 orang suster juga tidak ditahan Jepang. Akan tetapi medan karya mereka semua terlampau luas, 14 orang imam berkarya di tanah Jawa, 2 orang imam di Flores, 2 orang imam di pulau Kalimantan dan 1 orang imam bertugas di Pulau Bangka. 

Umat beriman Katolik di seluruh Pulau Sumatera, Kalimantan Timur, Kepulauan Kei, Kepulauan Tanimbar dan Pulau Timor tidak mendapatkan pelayanan selama empat tahun. Dalam situasi darurat seperti itu, para guru dan katekis harus berperan melayani umat secara mandiri.

Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Prof. A.F. Manning dalam Buku Tahunan (Jaarboek) 1987 yang diterbitkan oleh Pusat Dokumentasi Katolik Nijmegen, menyebutkan bahwa ada begitu banyak dampak yang ditimbulkan oleh penjajahan Jepang bagi Gereja Katolik di Indonesia. Tercatat 74 orang imam, 47 orang bruder dan 161 orang suster meninggal di tempat-tempat tahanan; banyak gereja dan sekolah-sekolah ditutup, bahkan tak sedikit yang dihancurleburkan.

Menurut catatan Rm. J. Harsasusanta, Pr, Rama Kanjeng wafat pada hari Senin tanggal 22 Juli 1963 jam 22.20 waktu setempat di Steyl Tegelen, Provinsi Limburg Nederland. Rama Kanjeng dianugerahi gelar Pahlawan Nasional RI, berdasarkan SK Presiden RI no. 152 tahun 1963 tertanggal 26 Juli 1963. 

Selanjutnya Rama Kanjeng disebut Tokoh Nasional sekaligus Jenderal Anumerta sehingga dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal di Semarang pada tanggal 30 Juli 1963.

Secara singkat kedua gelar istimewa tersebut diberikan kepada Rama Kanjeng sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan dari pihak Pemerintah Republik Indonesia. 

Presiden Soekarno sendiri begitu mengenal dan mengakui keagungan Rama Kanjeng yang sering disapanya dengan sebutan Rama Agung tersebut. Melalui sebutan Tokoh Nasional, Soekarno berharap agar Rama Kanjeng dapat menjadi suri teladan bagi generasi selanjutnya

Sedangkan gelar Jenderal Anumerta diberikan kepada Rama Kanjeng karena Pemerintah Republik Indonesia mengetahui dan mengakui bahwa beliau mempunyai peranan yang tidak sedikit dalam perjuangan bangsa Indonesia, termasuk juga perhatian beliau yang sangat besar terhadap ABRI. 

Hal itu terbukti dari ide-ide maupun saran-saran Rama Kanjeng yang langsung diberikan kepada Presiden maupun kepada Pimpinan pimpinan ABRI tertentu pada masa itu.

Selain itu, tentu kita tidak boleh melupakan dorongan-dorongan beliau kepada para Pemuda Pejuang, AMKRI dan lain-lain. Dan karena sikap beliau terhadap ABRI yang demikian itulah, maka status Uskup ABRI diakui dan dihargai oleh Pemerintah Republik Indonesia; yang sebetulnya secara organisatoris tidak memiliki kedudukan atau jabatan resmi dalam struktur pemerintahan.

Rama Kanjeng memang mempunyai jiwa nasionalis yang besar dan tulen, seperti halnya I.J. Kasimo yang akrab sekali dengan Rama Kanjeng dan sering kali berkonsultasi mengenai berbagai masalah politik. Hal itu bisa dimengerti, karena baik Soegija maupun Kasimo merupakan murid-murid gemblengan Rm. van Lith di Kolose Muntilan, Yogyakarta. 

Rm. van Lith pada waktu itu sudah mendasari murid-muridnya dengan pengertian tentang kebebasan, atau lebih jelasnya tentang kemerdekaan bangsa. Rm. van Lith pada masanya sudah mulai menyalakan jiwa dan semangat perjuangan untuk kebebasan bangsa Indonesia. 

Dan jiwa serta semangat itu tetap dihidupi Rama Kanjeng hingga akhir tugas penggembalaannya, "Menjadi 100% Indonesia, 100% Katolik."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun