Tiga Bulan di Taize
Sriaty Sovia adalah salah seorang remaja yang beruntung boleh menimba pengalaman spiritual dalam keheningan di Desa Taize, Perancis.Â
Tentu nama Taize tidak asing lagi terdengar di telinga umat Kristiani pada umumnya. Taize selalu identik dengan alunan musiknya yang khas dan syahdu yang sangat lekat dengan unsur meditatif.
Menurut remaja kelahiran Medan, 2 Mei 1987 silam ini, Desa Taize dapat dicapai melalui Kota Paris dengan menempuh perjalanan selama 5 jam melalui jalan darat atau 1,5 jam dari Bandara Lyon.Â
Di desa ini terdapat Komunitas Taize yang terdiri dari 100-an orang bruder, baik Katolik dan dari berbagai latar belakang Protestan, yang datang dari dua puluh lima negara atau lebih. Melalui keberadaannya, komunitas ini merupakan sebuah tanda perdamaian yang nyata di antara umat Kristen yang terpecah belah.
Dari tahun ke tahun, jumlah pengunjung yang datang ke Taize makin bertambah. Pada akhir tahun 1950-an, orang-orang muda berusia antara 17 hingga 30 tahun mulai berdatangan dalam jumlah yang lebih besar.Â
Pada tahun 1966 para Suster (biarawati) St. Andreas, sebuah komunitas Katolik internasional yang didirikan tujuh abad yang lalu, datang dan tinggal di desa tetangga.Â
Mereka mulai mengambil bagian dalam penyambutan. Kadang kala mereka dibantu oleh para suster dari komunitas yang lainnya. Belakangan, sekelompok kecil suster Ursulin dari Polandia juga datang untuk membantu dalam penyambutan kaum muda.
Selama tiga bulan berada di Taize, Sovia mendapat kesempatan menjadi relawan. "Kami para relawan yang tinggal lebih lama di sana disebut sebagai orang-orang permanen. Para permanen tinggal minimal sebulan hingga setahun. Durasi waktu tinggal akan menentukan asrama mana yang akan kita tempati," kisahnya.
Tinggal di N'toumi Bersama Sahabat dari Berbagai Negara