Dalam lingkup ITB, dikenal istilah Fakultas dan Sekolah. Unit pendidikan di ITB yang memiliki beberapa program studi, baik untuk jenjang sarjana (S-1), magister (S-2), dan doktoral (S-3), disebut sebagai Fakultas. Sedangkan unit pendidikan di ITB yang memiliki beberapa program studi dengan bidang kelilmuan yang berdekatan disebut dengan Sekolah.
Misalnya saja di ITB terdapat FMIPA (Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam), dengan beberapa program studi, yaitu: Matematika, Fisika,Kimia, Astronomi, Aktuaria, Sains Komputansi.
Untuk contoh Sekolah yang merupakan unit di ITB, misalnya SITH (Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati), dengan beberapa program studi yang bidang ilmunya saling berdekatan, diantaranya: Biologi, Mikrobiologi, Rekayasa Hayati, Rekayasa Pertanian, Rekayasa Kehutanan, Biomanajemen, dan Bioteknologi.
Secara administratif tidak ada perbedaan di antara unit-unit di ITB yang disebut Fakultas maupun Sekolah; karena seluruhnya dipimpin oleh Dekan yang sama, dibantu oleh Wakil Dekan Bidang Akademik dan Wakil Dekan Bidang Sumber Daya Manusia.
Saksi Sejarah dan Bangganya Jadi Lulusan ITB
Sebagai lembaga Pendidikan Tinggi Teknik pertama di Indonesia, ITB merupakan cikal bakal berdirinya Pendidikan Tinggi Teknik lainnya di berbagai kota di Indonesia. Karenanya, tidak berlebihan bila perayaan seabad ITB juga menjadi momen satu abad Pendidikan Tinggi Teknik di Indonesia.
Nama ITB dari awal mula berdirinya mengalami pergantian dari masa ke masa. Setelah Belanda diduduki Nazi Jerman pada Mei 1940 di tengah berkecamuknya Perang Dunia II; Jepang pun mulai melakukan ekspansi dengan mengerahkan balatentaranya ke wilayah Asia Tenggara, sejak Desember 1940.
Usai Belanda "menyerah" kepada Jepang pada 8 Maret 1942 di Kalijati, Subang, maka secara otomatis wilayah Indonesia yang dulunya dikuasai Belanda "beralih tangan" kepada Jepang. Kampus TH Bandoeng pun akhirnya diduduki Jepang.
Tidak mudah untuk memperoleh ijin pembukaan kembali TH Bandoeng. Setelah mengalami negosiasi yang panjang dan atas jasa warga Jepang yang bermukim di Bandung, maka secercah harapan pun hadir.
BKD (Bandoeng Koogyo Daigaku) yang merupakan kelanjutan TH Bandoeng, mulai 1 April 1944 dibuka kembali oleh Pemerintah Balatentara Dai Nippon. BKD dipimpin oleh orang Jepang bernama Tuan Isyihara. Selain diisi para pengajar dari Jepang, tercatat 5 orang pengajar asli Indonesia.
Sejak masa pendudukan Jepang inilah, pemakaian Bahasa Indonesia mulai diberlakukan sebagai "bahasa pengantar" di semua sekolah, termasuk di BKD.