Mohon tunggu...
Agus Puguh Santosa
Agus Puguh Santosa Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Menulis adalah jalan mengenal sesama dan semesta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

[Berpegang Pancasila] Merenungkan Konsep "Ekasila" dan Persatuan Indonesia

31 Mei 2020   15:34 Diperbarui: 1 Juni 2020   11:27 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bung Karno dan Pancasila (Sumber foto: diolah dari https://www.balchibara.com dan https://www.detik.com )

Dalam pidatonya di hadapan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI), Bung Karno pernah menawarkan beberapa nama untuk calon "dasar negara" Indonesia merdeka. 

Ketiga nama tersebut adalah Pantja Sila, Trisila, dan Ekasila. Bahkan Bung Karno juga menjelaskan rincian sila-sila dalam Trisila dan Ekasila yang dipaparkannya sesudah membahas Pantja Sila.

Usai merampungkan semuanya itu, Bung Karno dengan lantang berujar demikian, "Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu. Tetapi djangan lupa, kita hidup di dalam masa peperangan, saudara-saudara semuanja. Di dalam masa peperangan itulah kita mendirikan negara Indonesia, - di dalam gunturnja peperangan!"

Bila mencermati isi pidato Sang Proklamator kita, maka saya tertarik dengan konsep dan rumusan "Ekasila" yang dikemukakan beliau. Konsep Trisila maupun Ekasila pada masa itu ditawarkan kepada semua peserta pertemuan sebagai "alternatif" pilihan selain Pantja Sila yang dibahas di awal pidato.

Ekasila: "Rumusan Ringkas" dari Lima Sila

Dalam pidatonya Bung Karno menjelaskan apabila para peserta pertemuan menghendaki sila-sila dalam Pantja Sila yang dikemukakannya diringkas menjadi satu sila saja atau Ekasila, maka Bung Karno menawarkan "Gotong Royong" sebagai jawabannya.

Menurut Bung Karno, Gotong Royong adalah paham yang dinamis, namun lebih dinamis dibandingkan dengan paham "kekeluargaan". Bung Karno berpandangan, kekeluargaan adalah paham yang sifatnya statis, tetapi gotong royong mampu menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang juga bisa diistilahkan dengan satu karya -- satu gawe!

Melalui paham Gotong Royong ini, Bung Karno mengajak semua pihak untuk menyelesaikan karya, gawe, pekerjaan, dan amal yang dilakukan secara bersama-sama. 

"Gotong-rojong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perdjoangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua," ucap Bung Karno menggelegar yang disambut tepuh tangan riuh para hadirin.

Meski begitu, pada bagian lain pidatonya Bung Karno tampak lebih mengedepankan Pantja Sila sebagai pilihan "terbaik" di antara yang lain. Bung Karno mengisahhkan bahwa dalam perjuangannya sejak tahun 1918 hingga 1945, salah satunya adalah untuk mewujudkan Weltanschauung (dasar negara) bagi Indonesia merdeka yang abadi.

Dalam pandangan Bung Karno, tidak ada satu Weltanschauung-pun di dunia ini yang bisa menjelma dan terwujud dengan sendirinya menjadi sebuah kenyataan, bilamana tidak diperjuangkan. Dan manusialah yang harus melakukan perjuangan itu!

Kata "perjuangan" sangat ditegaskan Bung Karno dalam beberapa bagian pidatonya. "Djanganlah lupa akan sjarat untuk menjelenggarakannja, jalah perdjoangan, perdjoangan, dan sekali lagi perdjoangan."

Bung Karno mengajak semua peserta sidang untuk meyakini prinsip bahwa Indonesia Merdeka tidak dapat datang dengan sendirinya jika seluruh rakyat Indonesia dan para pemimpin-pemimpinnya "tidak berani mengambil resiko," yang dibahasakan indah dalam ungkapan, "tidak berani terdjun menjelami mutiara di dalam samudera jang sedalam-dalamnja."

Kemerdekaan diibaratkan Bung Karno sebagai mutiara yang berada di dalam samudera yang paling dalam. Tentu perumpamaan itu hendak menggambarkan bahwa perjuangan yang harus ditempuh oleh segenap komponen bangsa ini benar-benar tidak mudah dan harus diraih dengan perjuangan secara bersama-sama dan terus-menerus demi meraih "Indonesia Merdeka" yang menjadi cita-cita bersama.

Baca juga : [Hari Lahir Pancasila] Pantja Sila yang Menjadi "Jembatan Emas" Semua untuk Semua!

Situasi Pandemi dan Relevansi Sila Persatuan Indonesia

Merujuk kepada "pemikiran-pemikiran otentik" Bung Karno di atas, maka sila yang menginspirasi saya dan tepat untuk dijadikan pedoman (dan semoga Anda juga) pada masa-masa pandemi covid-19 seperti ini adalah sila ketiga Pancasila yang berbunyi, "Persatuan Indonesia".

Dalam konteks "Persatuan Indonesia", seluruh warga negara diharapkan disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan di seluruh wilayah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), tanpa terkecuali. Baik itu di zona yang masih "hijau", apalagi untuk zona yang kian hari kian membara!

Sila Persatuan Indonesia menjadi sangat relevan karena dalam penjabarannya yang tertuang pada butir-butir pengamalan Pancasila sila ke-3 terungkap dengan rinci dalam 7 butir penjelas.

Pada butir pertama berbunyi, "Mampu menempatkan persatuan, kesatuan serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan."

Di tengah situasi pandemi covid-19 yang serba tidak pasti ini, prinsip tersebut harus dipegang erat-erat oleh semua warga negara -- tanpa terkecuali, untuk tetap melaksanakan imbauan pemerintah secara bertanggung jawab dan terus-menerus.

Karena bila rasa "sehati dan sepenanggungan" belum dimiliki oleh semua orang di negeri ini, di mana masih ada yang dengan egois dan mau menang sendiri mengedepankan kepentingan pribadi atau kelompoknya, maka keberhasilan pelaksanaan protokol kesehatan yang direkomendasikan tidak akan membawa hasil secara maksimal.

Tentu sudah menjadi rahasia umum, di banyak tempat masih ada orang-orang yang keluar rumah meskipun tidak perlu-perlu amat. Mungkin untuk sekedar berjalan-jalan atau istilahnya "membuang" kejenuhan selama berada di rumah.

Bila alasan keluar rumah adalah untuk bekerja atau mencari uang untuk memenuhi kebutuhan dapur, tentu tidak dapat dipersalahkan begitu saja. Bisa saja mereka-mereka ini dan keluarganya belum tersentuh oleh bansos (bantuan sosial) yang diberikan oleh pemerintah.

Karena dalam kenyataannya, sebagian warga masyarakat yang tinggal di daerah tertentu, masih ada yang belum memiliki KTP penduduk lokal yang menjadi "syarat" penerima bansos tersebut.

Barangkali dalam situasi seperti ini, Ketua RW atau Ketua RT perlu rajin-rajin mendata warganya secara rutin, dengan "tetap" memasukkan nama-nama setiap warga yang tinggal di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya - tanpa terkecuali, meskipun belum ber-KTP penduduk lokal di wilayah tersebut. Dengan begitu untuk sementara waktu mereka bisa tetap nyaman dan aman berada di rumah saja.

Per 30 Mei 2020, jumlah kasus positif di seluruh Indonesia sudah mencapai angka 25.773. Jumlah ini naik 557 kasus dari hari sebelumnya, dengan keseluruhan jumlah pasien dirawat sebanyak 17.185 orang, meninggal 1.573 orang, dan sembuh 7.015 orang. Data yang dipaparkan GTPP Pusat menyebutkan bahwa sebanyak 414 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia terkena dampak covid-19 ini.

Meskipun pada tanggal tersebut dilaporkan ada 10 provinsi yang melaporkan "tidak adanya penambahan" kasus baru (Aceh, Jambi, Kalimatan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Riau, Maluku, dan Sulawesi Barat); namun data tersebut bukan berarti bisa dijadikan patokan oleh semua pihak, termasuk warga masyarakat untuk "memperlonggar" pelaksanaan protokol kesehatan. Apalagi dari ke-10 provinsi tersebut, dalam beberapa hari sebelumnya ada provinsi-provinsi yang mengalami peningkatan kasus secara signifikan!

Artinya, dalam situasi demikian, semua pihak harus tetap bisa menahan diri dan disiplin terhadap imbauan yang sudah disampaikan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah jauh-jauh hari sebelumnya!

Sikap demikian sangat sesuai dengan butir kedua pengamalan sila Persatuan Indonesia yang berbunyi, "Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa". 

Pertanyaan yang masih sering muncul dalam benak saya (dan semoga Anda juga) adalah: "Apakah kita semua rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa dalam situasi pandemi ini?" Ataukah kita justru "hanya" rela berkorban bagi kepentingan kita pribadi dengan mengabaikan protokol kesehatan yang diberlakukan di daerah kita masing-masing?

Bila dalam situasi terkepung pandemi covid-19 ini kita dapat secara bersama-sama mengembangkan sikap "Gotong Royong" seperti yang diamatkan oleh Bung Karno dalam konsep Ekasila yang pernah dikemukakan di hadapan peserta sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai; saya secara pribadi optimis (dan semoga Anda juga) bahwa sebagai bangsa kita akan "berhasil" melewati pandemi ini dalam waktu yang sesingkat-singkatnya!

Selanjutnya saya ingin menyampaikan pertanyaan selanjutnya dengan menyitir pertanyaan Bung Karno dalam pidatonya kala itu, "Sekali lagi saja bertanja: mau merdeka dari pandemi corona ini apa tidak? Mau merdeka dari pandemi corona ini apa tidak?"

Dan jawaban yang saya harapkan terserukan dari hati nurani kita semua adalah seperti jawaban semua hadirin pada sidang BPUPKI kala itu yang secara serempak berkata: "Mau!"

Jikalau Indonesia kita dapat segera terbebas dari pandemi ini, maka kita optimis bahwa ke depannya kita juga akan dapat "bahu-membahu" dengan negara-negara lainnya untuk membantu membebaskan negara-negara yang masih dicengkeram oleh pandemi ini agar juga mengalami kondisi yang lebih baik!

Di akhir tulisan ini, saya ingin mengajak pembaca semua untuk merenungkan dalam-dalam secuplik kalimat pidato dari Bung Karno berikut ini, 

"Kita mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnja bulan purnama, tetapi di bawah palu godam peperangan dan di dalam api peperangan. Dan Indonesia Merdeka jang demikian itu adalah negara Indonesia jang kuat, bukan negara Indonesia jang lambat laun mendjadi bubur. Karena itulah saja mengutjap sjukur kepada Allah S.W.T."

Semoga tulisan singkat ini bisa menjadi permenungan kita bersama sekaligus mengingatkan kita akan kekayaan yang terkandung di dalam Pancasila yang menjadi Weltanschauung (dasar negara) kita. Dengan begitu kita semua dengan lantang dapat berseru: "Saya Indonesia, saya Pancasila!"

Catatan :

Ejaan pada kutipan pidato Bung Karno tetap dipertahankan penulisannya sesuai dengan ejaan aslinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun