Jika boleh kusebutkan, ada lima hal yang menjadi tujuan pendirian Budi Utomo. Pertama, menyadarkan kedudukan masyarakat Jawa, Sunda, dan Madura pada diri sendiri. Menumbuhkan kesadaran ini di kalangan masyarakat zamanku tidaklah mudah. Saat itu belum ada yang namanya Instagram, facebook, twitter, WhatsApp, atau beragam jenis media sosial lainnya. Sementara pertemuan-pertemuan yang kami adakan sangatlah dibatasi Belanda.
Kedua, berusaha meningkatkan kemajuan mata pencaharian serta penghidupan bangsa dengan memperdalam kesenian dan kebudayaan. Sebagai salah satu pendiri Budi Utomo, aku merasa senang karena sampai saat ini masih banyak masyarakat di Indonesia yang mau mempelajari sekaligus melestarikan budaya, tradisi, dan adat istiadat daerahnya. Meskipun aku sebenarnya juga merasa kecewa akibat segelintir anak bangsa yang lebih "mengagung-agungkan" bahasa dan budaya milik bangsa asing. Secara tidak sadar mereka mungkin tidak pernah merasa bahwa dirinya sudah "dijajah" bangsa lain! Coba seandainya mereka-mereka ini pernah hidup di zamanku, pasti mereka akan mengalami bagaimana rasanya dijajah itu. Sungguh tidak enak!
Tujuan ketiga adalah menjamin kehidupan sebagai bangsa yang terhormat. Semangat inilah yang sebenarnya membakar kami para pelajar STOVIA yang tergabung dalam Budi Utomo untuk mencari jalan bagi terwujudnya kemerdekaan Indonesia. Logikanya sederhana sekali, situasi dan kondisi sebagai "bangsa terjajah" tidak pernah menjadikan bangsa kami dihormati oleh bangsa lainnya di dunia ini. Orang-orang di luar Indonesia hanya tahu bahwa Indonesia adalah Hindia Belanda, negara jajahan sejak zaman VOC dahulu. Titik!
Nah, tujuan keempatnya adalah fokus pada masalah pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan. Menurut hemat kami, bila rakyat Bumiputera dapat berkemajuan di bidang pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan sekaligus, maka semua itu bisa menjadi "pintu awal" untuk menyatukan visi, misi, dan semangat kebangsaan kita untuk menjawab pertanyaan, "Mau dibawa kemana bangsa ini?"
Dan tujuan kelima perkumpulan Budi Utomo adalah membuka pemikiran penduduk Hindia  seluruhnya (baca: Indonesia Raya) tanpa melihat perbedaan keturunan, kelamin, dan agama. Sejak zaman nenek moyang kita dahulu, Indonesia itu memiliki keunikan dan kekayaan yang tidak dimiliki oleh bangsa manapun di dunia ini.
Sebagai organisasi pelajar STOVIA, Budi Utomo pada zaman itu selalu dimata-matai Belanda. Bahkan saudara-saudari kita para bangsawan yang menjadi penguasa birokrasi dan "kong-kalikong" dengan Belanda, menganggap kami sebagai "ancaman". Mereka takut dan khawatir, bila usaha-usaha Budi Utomo nantinya akan memberangus kekuasaan dan kemapanan yang mereka alami selama ini sebagai pemberian dari Pemerintah Hindia Belanda.
Karena pada zaman itu belum ada medsos dan internet, maka kami hanya memanfaatkan majalah stensilan kami yang terbit bulanan. Majalah itu kami beri nama "Goeroe Desa" yang dijiwai oleh niat kami untuk memajukan kaum Bumiputera di bidang pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan.
Dalam kesempatan ini aku juga ingin membagikan kisahku tentang STOVIA. Para pelajarnya adalah anak muda usia 14-15 tahun dan merupakan murid-murid berprestasi di sekolah sebelumnya. Pada zamanku, kebanyakan pelajar di STOVIA ini "bukan" berasal dari keluarga bangsawan atau ningrat, namun merupakan anak kaum "priyayi rendahan."
Mungkin nama Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tidak asing lagi di zaman ini. Dan STOVIA ini adalah cikal bakal keberadaan fakultas tersebut. Juga nama RSPAD Gatot Subroto Jakarta yang pastinya sangat terkenal se-Indonesia. Dulunya rumah sakit ini bernama Weltevreden yang berkedudukan di Batavia yang menjadi Ibukota Hindia Belanda.
Setelah menamatkan pendidikan di STOVIA, seorang Bumiputera akan mendapatkan gelar kedokteran yang disebut Dokter Jawa. Gelar itu berubah menjadi Inlandsch Arts (Dokter Bumiputera) dan kemudian diubah lagi menjadi Indisch Arts (Dokter Hindia).
Sekolah STOVIA yang berdiri tahun 1851 ini, sejak 1890 hanya menerima siswa dari tamatan sekolah dasar Belanda (Europesche Lagere School); karena dipandang mempunyai kecakapan berbahasa Belanda. Aturan ini berlaku hingga tahun 1915.