Mohon tunggu...
Agus Puguh Santosa
Agus Puguh Santosa Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Menulis adalah jalan mengenal sesama dan semesta.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Ramadanku, Waisakmu, di Indonesia Kita

8 Mei 2020   00:10 Diperbarui: 8 Mei 2020   00:09 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari kisah-kisah yang pernah kita dengar tentang kejayaan berbagai kerajaan di Nusantara, tentu ada banyak narasi yang berusaha menuturkan bagaimana relasi harmonis yang terjalin di antara beragam agama dan kepercayaan yang hidup dan berkembang  di seluruh penjuru negeri.

Narasi-narasi itu dipenuhi kisah-kisah menarik yang dapat kita ceritakan kembali kepada siapa saja yang ingin mengenal kehidupan dan peradaban nenek moyang kita di masa silam. Pemahaman yang baik tentang sejarah peradaban di masa lalu, tidak hanya akan berhenti pada tujun "mengenal" saja; melainkan daripadanya kita dapat belajar dan menimba kebijaksanaan, untuk selanjutnya mewujudkan kehidupan bersama yang lebih baik.

Sekilas Jejak Peradaban Islam dan Buddha di Nusantara

Dalam tulisan yang dipaparkan Ali Romdhoni  di halaman nusantarainstitute.com, disebutkan bahwa Raden Wijaya berhasil menggulingkan kekuasaan Raja Jayakatong dari Singasari pada tahun 1292 M.

Menurut penuturan Gus Dur seperti dikutip Dosen Universitas Wahid Hasyim Semarang ini, Raden Wijaya kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit di Hutan Tarik. Dalam beberapa kesempatan Gus Dur mengatakan, Hutan Tarik--- yang kemudian dibuka oleh Raden Wijaya, dan kelak menjadi kotaraja Majapahit---berasal dari kata thariqat (tarekat).

Artinya, wilayah Hutan Tarik sejak awal sudah didiami oleh sekelompok orang yang mengamalkan ajaran tarekat. Mungkin juga, Kerajaan Majapahit dibangun di atas landasan nilai-nilai sufistik yang bersumber dari ajaran tarekat. Bila benar demikian, sejak awal Kerajaan Majapahit sebenarnya telah menjalankan nilai-nilai keislaman. Bahkan dikisahkan pada abad ke-10 telah ada komunitas Muslim di Gresik, tidak jauh dari Desa Tarik (Hutan Tarik).

Pada abad yang sama, di Pulau Sumatera juga berdiri kerajaan Islam, yaitu Kesultanan Pasai (dikenal juga dengan Kerajaan Samudera Pasai) pada 1128 M dan Kesultanan Perlak pada 1161 M. Dua kesultanan Islam ini membawa pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan agama Islam di daratan Sumatera.

Sesuai dengan catatan sejarah yang dipaparkan historia.id, pada masa Kerajaan Majapahit disebutkan bahwa pemeluk agama Hindu, Buddha, Islam, dan Gramadewata (agama rakyat) hidup sangat rukun. Kendati pada masa itu Islam bukan agama resmi negara, namun bukti kehadirannya dapat kita saksikan pada pemakaman Islam kuno di Desa Tralaya, Trawulan, Mojokerto.

Sementara itu, menurut Babad Tanah Djawi, Babad Demak Pesisiran, dan Babad Pajang, diceritakan bahwa Raja Brawijaya V (raja terakhir Kerajaan Majapahit) juga memiliki istri perempuan Muslim yang merupakan puteri dari Kerajaan Campa.

Hal tersebut kemudian memicu kehadiran imigran asal Campa yang datang ke Majapahit. Menurut detik.com, diantara para imigran tersebut terdapat nama-nama ulama besar, diantaranya Raden Rahmat (Sunan Ampel), ayah Raden Rahmat (Makdum Brhaim Asmara), Raden Santri, Raden Ali Murtolo, dan Raden Burereh. Dari perjalanan sejarah inilah kemudian Islam berkembang dengan pesat di Pulau Jawa.

Pesan Damai Berkibar di Hati

Malam itu, Sabtu, 28 Mei 2016, saya berkesempatan mengikuti Perayaan Waisak di Banjarmasin. Perayaan malam itu dibuka dengan Senam Kasih Semesta Alam dalam iringan musik nyanyian padang rumput. Di saat berikutnya, hadir sekelompok paduan suara yang melantunkan sebuah lagu berkisah tentang kelahiran Sang Buddha.

Dalam perayaan ini hadir Sekda Provinsi Kalimantan Selatan Muhammad Arsyadi, ME,  Kakanwil Kementrian Agama Provinsi Kalimantan Selatan H. Muhammad Tambrin, Bhante Saddhaviro Mahthera dari Vihara Dhammasoka Banjarmasin, Uskup Keuskupan Banjarmasin Mgr. Petrus Boddeng Timang, Ketua DPD Walubi Kalimantan Selatan Sumpono Kangmartono, jajaran Muspida Tingkat I dan II, para tokoh agama dan masyarakat serta umat Buddha Kalimantan Selatan.

Salah satu sambutan malam itu yang berkesan bagi saya adalah sambutan yang disampaikan Bhante Saddhaviro Mahthera. Beliau berujar demikian, "Waisak menemukan kita setiap tahun. Bukan hanya dengan umat Buddha yang mempunyai aliran berbeda, namun juga bapak-bapak kita dan para tokoh agama dapat saling bertemu."

Bhante Saddhaviro menambahkan, sifat Bodhisatva yang melekat pada diri Pangeran Sidharta Gautama mempunyai kerelaan untuk menderita demi kebahagiaan segala makhluk. Sejurus kemudian, Bhante Saddhaviro menyampaikan sebuah kalimat yang mengajak semua yang hadir untuk merenungi diri sendiri, "Kalau kita ini sebaliknya, kita rela mengorbankan makhluk lain demi kebahagiaan kita sendiri."

"Seikat melati aroma semerbak, gasan dibawa ke pelaminan. Selamat hari suci Waisak, ajaran Sang Gautama teladan," demikian sebait pantun yang disampaikan Kakanwil Kemenag Provinsi Kalimantan Selatan. Kepada semua yang hadir, Muhammad Tambrin berpesan, "Kerukunan umat beragama merupakan dambaan umat manusia di dunia ini.  Jalinan silaturahmi yang baik menjamin kedamaian di bumi Kalimantan Selatan."

Selama beberapa tahun pun, saya berkesempatan menghadiri Perayaan Idul Fitri yang digelar oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Selama beberapa tahun terakhir, Perayaan Idul Fitri selalu dipusatkan di Gedung Mahligai Pancasila Banjarmasin.

Perhelatan ini dihadiiri oleh tamu undangan dan masyarakat Muslim yang bermukim di Kota Banjarmasin dan sekitarnya. Selain itu hadir juga banyak tokoh agama yang tergabung dalam jaringan FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) Provinsi Kalimantan Selatan maupun FKUB Kota Banjarmasin, bersama perwakilan umatnya masing-masing.

Kisah-kisah seperti ini tidak hanya indah untuk diceritakan kepada banyak orang, namun juga menjadi tanda bahwa inilah keberagaman Indonesia yang memang kaya raya sejak zaman dahulu kala. Para tokoh agama yang ada di Kota Banjarmasin telah memberikan teladan yang hidup, bagaimana seharusnya kita hidup bersesama di masyarakat dengan tetap mengibarkan "pesan damai" di hati masing-masing.

Indonesiamu, Indonesiaku, Indonesia Kita

Menyikapi pandemi covid-19 di Indonesia, Kementrian Agama Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha, mengeluarkan imbauan tertanggal 24 Maret 2020 tentang pelaksanaan rangkaian Hari Raya Tri Suci Waisak 2564 BE.

Untuk kegiatan Pujabakti dan Meditasi detik-detik Waisak pada tanggal 7 Mei 2020 dilaksanakan pukul 17.44.51 WIB dan diimbau tidak melaksanakan secara massal dengan mengundang kehadiran umat pada lingkungan rumah ibadah.

Demikian juga untuk pengambilan api dan air yang melibatkan umat Buddha dalam jumlah banyak juga ditiadakan. Umat Buddha sendiri diimbau untuk merayakan Waisak di rumah masing-masing dengan memanfaatkan teknologi media sosial atau mengikuti ibadah secara live streaming.

Menindaklanjuti surat imbauan di atas, pada tanggal 4 Mei 2020, disampaikan rincian daftar kegiatan Lembaga/Majelis Agama Buddha pada hari ini, Kamis, 7 Mei 2020. Kegiatan dimaksud ada yang ditayangkan melalui saluran medsos, aplikasi teleconference, hingga siaran televisi nasional, dengan jam tayang bervariasi.

Edaran yang dikeluarkan oleh Dirjen Bimas Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia di atas juga sejalan dengan edaran yang dikeluarkan selama bulan Ramadan, yang meniadakan salat tarawih dan kegiatan buka puasa bersama di masjid.

Dalam situasi pandemi corona saat ini, sikap untuk disiplin dann taat pada imbauan pemerintah pusat adalah kunci keberhasilan kita semua untuk menghentikan pandemi ini dalam waktu sesingkat-singkatnya. Semua warga negara Indonesia harus bahu-membahu dan saling mendukung untuk mewujudkan physical distancing dan mencegah terjadinya kerumunan dalam kehidupan sehari-hari.

Atas dasar itulah mengapa imbauan beribadah dari rumah pun kemudian disosialisasikan kepada masyarakat luas. Dengan imbauan tersebut, kegiatan peribadatan di rumah-rumah ibadah pun ditiadakan dan diganti dengan ibadah dari rumah atau ibadah melalui jejaring sosial (medsos), live streaming, siaran televisi, dan radio.

Semua langkah ini ditempuh agar seluruh anggota masyarakat mau bekerjasama dengan pemerintah pusat maupun pemerintah daerahnya masing-masing untuk memutus penularan virus covid-19. Di sinilah rasa cinta tanah air dan semanggat nasionalisme kita diuji sebagai sebuah bangsa: "Bangsa Indonesia." Apakah kita akan taat? Ataukah kita memilih untuk bersikap masa bodoh dan tidak mengikuti imbauan pemerintah?

Tentu tidak seorang pun yang ingin kejadian-kejadian di negara-negara Eropa atau Amerika akibat pandemi covid-19 juga terjadi di Indonesia, bukan? Sebagai salah satu warga negara ini, saya sadar sepenuhnya bahwa bagi sebagian anggota masyarakat kita, memilih untuk tetap di rumah adalah sesuatu yang sulit karena berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarganya.

Bisa jadi mereka-mereka ini memang belum tersentuh bantuan sosial (bansos) dari pemerintah. Yang menjadi pertanyaan besar adalah, ternyata masih ada anggota masyarakat kita yang tidak mematuhi imbauan pemerintah daerah setempat untuk alasan-alasan yang tidak dibenarkan.

Malam ini sepulang menggantar istri yang dinas di sebuah rumah sakit, saya mendapati serombongan anak muda yang nonkrong asik di sebuah warung ronde di sebuah tikungan jalan. Mereka tampak santai dan bercanda dengan teman-teman sebayanya. Tanpa physiical distancing, tanpa maskker, dan masih kelayapan di atas jam malam (pukul 21.00 Wiita). Padahal di Kota Banjarmasin ini sedang diterapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).

Dalam hati saya bertanya-tanya, apakah mereka tidak pernah membaca berita terkini yang menyatakan bahwa kasus positif corona di kota ini terus meningkat dari hari ke hari? Apakah mereka belum tahu kalau PSBB di Kota Banjarmasin diperpanjang untuk tahap kedua hingga 27 Mei 2020 mendatang? Apakah mereka tidak tahu bahwa hari ini perayaan Hari Raya Waisak dilaksanakan dari rumah-rumah para pemeluknya?

Rasanya aneh sekali bila sekumpulan anak muda itu mengaku anak kekinian tapi pura-pura tidak mengetahui situasi terkini di kota ini. Dalam situasi ini saya kemudian mengamini ungkapan Bhante Saddhaviro di atas, "Kita rela mengorbankan makhluk lain demi kebahagiaan kita sendiri."

Ini Indonesiaku, Indonesiamu, Indonesia kita. Dengan semangat Ramadan dan Waisak, mari kita lawan corona. Ingat, saat ini Indonesia membutuhkan saya, Anda, dan kita semua untuk sama-sama bekerjasama memerangi pandemi ini agar Indonesia segera pulih dan sehat kembali!

Sabbhe satta bhavanthu sukhitatta, semoga semua makluk berbahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun