Mohon tunggu...
Agung Yoga Asmoro
Agung Yoga Asmoro Mohon Tunggu... Dosen - Conquer yourself rather than the world

Aku tidak peduli diberi kesusahan atau kesenangan, karena aku tidak tahu mana yang lebih baik dari keduanya, agar aku dapat lebih bertakwa kepada Allah

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

"New Normal" Pariwisata untuk Siapa?

14 Juni 2020   14:00 Diperbarui: 14 Juni 2020   14:02 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

New normal di bidang pariwisata sudah mulai marak digaungkan baik dalam skala global, regional, nasional maupun lokal.

Berbagai protokol new normal pariwisata pun sudah mulai didengungkan.

Mulai dari protokol untuk airport, airlines, hotel, shopping, tour operators dan industri MICE semua dicantumkan dengan rinci.

Sungguh hebat, teliti dan komprehensif.

Protokol-protokol ini meliputi:
1. Aspek Kesiapan Operasional dan Staf;
2. Aspek Memberikan Rasa Aman;
3. Aspek Membangun Ulang Kepercayaan & Kepercayaan Diri; dan
4. Aspek Implementasi Kebijakan
dengan berbagai poin-poin dan penjelasan yang menyertainya.

Tentunya protokol-protokol ini tidak serta merta langsung diimplementasikan di Indonesia, karena untuk menjadi sebuah produk hukum yang mengikat – ini semua harus dituangkan dalam bentuk peraturan atau perundang-undangan yang berlaku.

Entah nantinya ini semua akan diterbitkan dalam bentuk perpres, atau permen, pergub. Siapa yang tahu?!

Yang pasti akan ada semakin banyak zoom meeting, banyak webinars, web FGD antara Kementerian Parekraf, Kementerian Kesehatan, Kemenko terkait, Pemprof, Pemkot, Pemkab, sebelum palu diketok tentang pemberlakuan protokol pariwisata new normal.

Ini artinya orang-orang penting di negara ini akan semakin sibuk dengan tugas mulia. Pejabat, profesor, doktor, ketua asosiasi, dan para perwakilan pemangku kepentingan berkumpul untuk menguras pikiran, demi menyelamatkan kepariwisataan Indonesia dari keterpurukan.

Kesibukan ini tentu akan diikuti dengan munculnya berbagai pemberitaan di media.

Maka beberapa pihak akan memiliki panggung dan mendapatkan kesempatan tampil untuk menyuarakan optimisme kepariwisataan “new normal” ini.  

Sementara di lain tempat pada waktu yang tidak jauh berbeda, para pemandu wisata di Banyuwangi masih harus tetap mencangkul sawah sembari menunggu jatah untuk mendapatkan kartu prakerja yang tak kunjung disetujui.

Tour Guides di Gili Ketapang Probolinggo terkantuk-kantuk menunggu ikan menyambar kailnya untuk dapat dibawa pulang ke rumah sebagai lauk makan hari itu.

Ratusan jip di Bromo masih tetap menganggur terparkir, jika tidak menjadi besi tua.

Dan Pak Ngurah, seorang ex-hotelier setiap sore masih jongkok mengipasi sate lilit khas Bali, di Sempidi Bali.

Bagi segelintir orang, “new normal” pariwisata adalah tentang meeting dan lobbying terkait dengan implementasi berbagai protokol kesehatan dalam industri pariwisata.

Namun bagi mayoritas pelaku pariwisata, “new normal” pariwisata selama 3 bulan lebih ini adalah berbagai kenangan akan keindahan masa lalu yang entah kapan akan kembali datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun