Sekilas ketika mendengar nama Universitas Brawijaya yang terlintas di pikiran kita ialah salah satu kampus dengan ke identikan kemewahan. Gedung-gedung menjulang tinggi dengan megahnya, fasilitas nya sendiri terbilang cukup lengkap. Akan tetapi dibalik hal tersebut masih banyak kerancuan yang ada di dalam lingkungan Brawijaya sendiri.
Brawijaya sendiri berasal dari nama seorang pendiri Kerajaan Majapahit yakni Raden Wijaya. Di banyak literatur kuno mengatakan kerajaan Majapahit dibawah pimpinan Raden Wijaya sangat lah tentram dan dibalik kesuksesan dari Raden Wijaya memimpin Majapahit sendiri terdapat peran dari seorang perempuan yakni Gayatri, tak ayal hal ini menyebabkan Gayatri sangat disayangi oleh Raden Wijaya dibanding Istri-istri nya yang lain. Dari kisah singkat ini kita bisa mengetahui dibalik kesuksesan seseorang terdapat peran perempuan yang selalu senantiasa mendampingi orang tersebut, sehingga sudah seharusnya kita memberikan yang terbaik untuk seorang perempuan.
Hal ini justru berlaku sebaliknya di kampus Brawijaya, menurut data yang di keluarkan oleh Kementerian P3 EM UB pada tahun 2020 yang lalu, di lingkungan Universitas Brawijaya masih terdapat kasus kekerasan seksual yang terjadi. Walaupun kita sedang mengalami pandemi dan perkuliahan dilaksanakan secara daring akan tetapi hal tersebut tidak mengurangi angka kekerasan seksual yang terjadi di kampus yang terkenal dengan jargon "kita satu Brawijaya nya".Â
Dari adanya hal tersebut sudah seharusnya Universitas Brawijaya memfokuskan dirinya untuk mengatasi masalah tersebut. Inisiatif yang baik dari birokrat UB sendiri sempat terlihat titik terang nya saat mengeluarkan Peraturan Rektor Nomer 70 Â tahun 2020. Namun jika kita melihat pengimplementasiannya sungguh ironi ibaratkan peraturan ini hanya sekedar formalitas belaka tanpa adanya aktualisasi yang nyata. Hal ini dikarenakan di dalam peraturan tersebut menjelaskan kalau pelayanan terhadap korban kekerasan seksual dan perundungan dilakukan oleh Unit layanan terpadu Kekerasan seksual dan perundungan (ULTKSP).
Suatu hal yang menjadi ironi di peraturan ini ialah belum ada tanda-tanda yang menunjukan ULTKSP akan di bentuk di masing-masing Fakultas. Hal ini lah yang menjadi penguat terkait apakah birokrat UB serius dalam penanganan masalah kekerasan seksual yang terjadi di lingkungannya. Sudah seharusnya pelayanan terhadap kekerasan seksual dan perundungan menjadi fokus utama.Â
Hal yang urgensi di analogikan oleh birokrat UB saat ini ialah bahwa mahasiswa UB adalah anak-anak mereka sendiri yang dimana seharusnya diberikan perlindungan dengan niat dan kesungguh-sungguhan dan diberikan kenyamanan dalam menempuh kenyamanan pendidikan. Mungkin untuk menutup tulisan kali ini, penulis memberikan puisi yang dadakan ditulis;
"Hati Nurani Pun Mati" Â
Teruntuk engkau ayah kami semua.
Dimana kah engkau saat ini berada.
Kami membutuhkan perlindungan dan kemurahan hati mu segera.
Apakah engkau rela melihat wajah yang manis nan cerah ini menjadi muram nan gelap gulita.