Sejarah judicial restraint mulai mendapatkan tempatnya semenjak diperkenalkannya Mahkamah Konstitusi ke dalam sistem peradilan di Indonesia atau paling tidak bersamaan dengan lahirnya kewenangan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945.Â
Persoalan ini tidak terlepas dari bagaimana pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (Salman, 2017: 95). Pengujian Mahkamah Konstitusi apakah akan bergantung pada norma-norma UUD NRI 1945 (judicial restraint) sehingga menahan diri dari pembentukan norma baru (negative legislature) atau bertindak progresif sebagaimana konsep judicial activisme.
Judicial restraint dalam disertasi Salman disebut dengan pembatasan badan peradilan. Pembatasan badan peradilan sebagaimana menurut Posner harus mengedepankan reticence yang berarti diam yang berarti sebagai assumption that judges should not be making policy decisions.Â
Maksud dari pernyataan tersebut adalah bahwa hakim maupun pengadilan menghindari dari pembentukan norma yang memang bukan kewenangannya atau mengedepankan konsep negative legislature. Sehingga, dalam proses judicial ataupun pengujian, pengadilan menahan diri pembentukan peraturan yang memang bukan kewenangannya yang dapat mengganggu prinsip pemisahan kekuasaan
dengan menerapkan asas judicial restraint. Mahkamah Konstitusi berpendapat dengan dua argumentasi kunci. Pertama, Mahkamah Konstitusi mendalilkan bahwa pengaturan Pasal 31A ayat (4) Undang-Undang Mahkamah Agung adalah open legal policy atau kebijakan hukum terbuka.Â
Sehingga tidak memungkinkan bagi Mahkamah Konstitusi menilai hal tersebut kecuali menyatakan hal tersebut konstitusional. Dalam putusan-putusan mahkamah konstitusi, sebenarnya beberapa pengujian terhadap open legal policy selalu di batalkan atau tidak dikabulkan, namun pada Putusan MK Nomor 90 Tahun 2023 memuat perubahan syarat usia minimal capres-cawapres dalam UU Pemilu mk terlihat tidak konsisten dengan putusan open legal policy sebelum-sebelumnya, sehingga menurut hemat penulis dengan perkembangan dinamika hukum yang selalu tidak terlepas dari dinamika politik, maka seharusnya judicial restraint mulai di atur di dalam undang-undang, minimal dengan memberikan kepastian hukum atau limitation yang merupakan Batasan yang dimiliki oleh hakim dalam menilai suatu perkara.
Dalam Putusan Nomor 22/PUU-XV/2017, Mahkamah Konstitusi sejatinya memberikan catatan penting. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa open legal policy dan asas judicial restraint dapat ditinggalkan dengan syarat jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan yang intolerable, bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, serta sepanjang kebijakan tersebut tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang dan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI 1945.Â
Namun, nampaknya Mahkamah Konstitusi tidak berusaha untuk menggeser pendiriannya. Namun dalam perspektif system hukum positif sudah seyogyanya judicial restraint diatur dalam bentuk produk perundang-undangan, mengingat hal tersebut diperlukan sebagai suatu aturan yang mengikat bagi para hakim