Menerabas Alas ke Bukit Mijil sebuah tantangan.
Wilayah ini berada 1 mil dari sekolah kami. Lokasi perbukitan kapur yang dulu pernah jadi markas Tentara Nasional Indonesia (TNI) kala menghadapi agresi Belanda II. Disini juga sebagai sumber bahan bangunan. Ditemukan beebrapa bangunan tobong untuk membakar batu. Kami menyebut gamping. Bahan itu campuran untuk membuat labur. Seiring zaman dan digantikan semen maka gamping mulai ditinggalkan.
Kelas V ada even jalan sehat ke lokasi ini. Iqbal memimpin kawannya. Rute yang paling cepat harus menerabas alas. Kami menyebut lahan ladang yang ditanami palawija dengan sebuatan alas. Mengambil rute ini agar tidak jauh melingkar. Bisa dikatakan kita memotong arah.
Pak guru mengajak kelas atas karena lebih tahu medan. Dan meminta agar agak cepat berjalan. Satu jam harus sampai sekolah lagi. Agar tak ketinggalan pelajaran berikutnya. Bila jam ke-3 maka ada waktu istirahatnya lebih lama.
Kelas Iqbal yang telah berhasil menembus alas itu menyebabkan kelas bawah tak mau ketinggalan. “Pak minta ke bukit Mijil!” seorang anak kelas III penasaran seperti kakaknya. “Kau masih kecil,Nak!” Masih saja merengek minta diantarkan.
Nabras alas dilakukan namun dengan sanksi. “Bila tak cukup waktu harus balik sekolah. Nanti bila 30 menit belum tiba maka sampai titik itu kita berhenti dan balik ke sekolah.” Siswa itu siap dan berangkat.
Gembiranya mereka tiba di bukit Mijil. Ada gaya dan keceriaan. “Hore aku tiba!” kala menanjak bukit yang setinggi ratusan meter ini. Impian tiap kelas ingin ke bukit ini. Mereka ditantang untuk datang dan menerabas alas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H