Mohon tunggu...
Agung Webe
Agung Webe Mohon Tunggu... Konsultan - wellness coach di Highland Wellness Resort

Makan dengan makanan yang kita olah sendiri dengan bumbu organik tanpa perasa dan bahan kimia, dapat menyembuhkan hampir semua penyakit.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Adzan, Sholawatan dan Speaker Masjid

19 Desember 2024   20:27 Diperbarui: 19 Desember 2024   20:27 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Pengeras suara azan (via Deutsche Welle)

Pernahkah Anda merasa bingung dengan suara-suara yang keluar dari speaker masjid di luar waktu adzan? Saya ingin berbagi sedikit pengalaman pribadi tentang hal ini, bukan untuk mengkritik, tetapi lebih kepada mengajak kita semua untuk merenung bersama.

Saya pribadi sangat mendukung suara adzan yang berkumandang dari masjid pada jam-jam tertentu. Adzan adalah panggilan suci yang mengingatkan kita untuk berhenti sejenak dari rutinitas duniawi dan kembali mengingat Tuhan. Suara adzan yang menggema di waktu subuh, Dhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya adalah bagian dari identitas budaya dan spiritual masyarakat kita. Namun, bagaimana dengan suara-suara di luar itu? Misalnya, doa sebelum adzan atau sholawatan yang sering terdengar cukup keras antara maghrib dan isya?

 

Di beberapa daerah, tradisi sholawatan atau pengajian melalui speaker masjid menjadi hal yang lazim. Ada masjid yang memilih hanya menggunakan speaker dalam ruangan untuk aktivitas ini, sehingga suara tidak terdengar ke luar. Namun, tidak sedikit pula masjid yang mengumandangkannya ke luar melalui speaker dengan volume cukup keras. Saya sering bertanya-tanya: apakah ini benar-benar perlu? Apakah tidak ada cara lain yang lebih mempertimbangkan kenyamanan bersama?

Sebagai seseorang yang tinggal di lingkungan yang cukup padat, saya sering mendengar berbagai aktivitas masjid yang menggunakan speaker luar. Tentu, ada rasa syukur karena suasana religius selalu hadir di sekitar kita. Namun, di sisi lain, tidak bisa dipungkiri bahwa suara-suara tersebut kadang mengganggu, terutama bagi mereka yang sedang butuh istirahat, belajar, atau mungkin mereka yang memiliki bayi atau orang tua sakit di rumah. Situasi ini sering membuat saya berpikir: bagaimana kita bisa menemukan keseimbangan antara menjalankan tradisi keagamaan dan menjaga kenyamanan masyarakat secara umum?

 

Sebagai panduan, Kementerian Agama sebenarnya telah mengatur penggunaan pengeras suara di masjid melalui Surat Edaran Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam No. B.3940/DJ.III/Hk.00.7/08/2021. Dalam surat ini dijelaskan bahwa pengeras suara luar digunakan hanya untuk adzan sebagai penanda waktu sholat. Untuk kegiatan lain seperti ceramah, doa, dan sholawatan, disarankan menggunakan pengeras suara dalam ruangan. Tujuan aturan ini adalah agar pelaksanaan ibadah tetap berjalan tanpa mengganggu ketenangan masyarakat sekitar.

Namun, pelaksanaan aturan ini di lapangan tentu berbeda-beda. Ada masjid yang mengikuti panduan ini dengan ketat, tetapi ada pula yang sepertinya masih belum menerapkannya secara optimal. Mungkin karena tradisi atau kebiasaan yang sudah berlangsung lama, sehingga sulit untuk diubah begitu saja.

 

Menurut saya, solusi terbaik adalah dialog. Masjid sebagai pusat kegiatan keagamaan tidak hanya melayani jamaahnya, tetapi juga menjadi bagian dari komunitas yang lebih luas. Maka, penting untuk mendengarkan masukan dari masyarakat sekitar, terutama mereka yang mungkin terdampak oleh aktivitas masjid, termasuk penggunaan speaker luar.

Sebagai contoh, bagaimana jika doa atau sholawatan antara maghrib dan isya hanya disiarkan melalui speaker dalam? Dengan begitu, mereka yang ingin mendengarkan tetap bisa menikmatinya, sementara masyarakat sekitar yang membutuhkan suasana tenang tidak terganggu. Selain itu, teknologi saat ini memungkinkan kita untuk menyiarkan aktivitas masjid secara online. Jadi, jamaah yang ingin mengikuti dari rumah tetap bisa melakukannya tanpa perlu mengandalkan speaker luar.

Hal lain yang bisa dilakukan adalah mengatur volume suara. Speaker masjid tidak perlu diatur terlalu keras, cukup terdengar di lingkungan terdekat saja. Dengan cara ini, tradisi tetap berjalan, tetapi kenyamanan masyarakat juga terjaga.

Kita semua tentu ingin hidup berdampingan dalam harmoni. Agama, apapun bentuk dan manifestasinya, seharusnya menjadi sumber kedamaian, bukan sebaliknya. Maka, penting bagi kita untuk selalu mengedepankan empati. Memahami bahwa tidak semua orang memiliki kebutuhan yang sama, dan berusaha mencari solusi yang saling menguntungkan adalah langkah yang bijaksana.

Bagi saya, pertanyaan tentang penggunaan speaker masjid ini bukan sekadar persoalan teknis, tetapi juga cerminan dari bagaimana kita mempraktikkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Apakah tindakan kita membawa manfaat dan kedamaian bagi orang lain? Atau sebaliknya, malah menciptakan ketidaknyamanan?

 

Sebagai umat beragama, kita memiliki tanggung jawab untuk menjaga harmoni, baik dengan sesama umat maupun dengan masyarakat secara umum. Penggunaan speaker masjid adalah salah satu aspek kecil, tetapi berdampak besar, yang perlu kita kelola dengan bijak. Mari kita renungkan bersama: bagaimana tradisi yang kita jalankan bisa tetap bermakna tanpa mengorbankan kenyamanan orang lain? Dengan dialog, empati, dan pemahaman, saya yakin kita bisa menemukan jalan tengah yang membawa kebaikan untuk semua.

Salam damai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun